BOSSY BOSS

Chapter 95 - Waiting For Nothing



Chapter 95 - Waiting For Nothing

0Hari-hari sebelum keberangkatan, hanya itulah aktivitas yang kulakukan. Mengelola jualanku dan bercinta dengan Sean. Di sela itu juga aku memanfaatkan waktu untuk berkomunikasi dengan Jeremy. Aku tidak ingin ia curiga.     

Segala dokumen penerbangan dan tiket sudah Om Thomas dan Ibu atur. Aku hanya bersiap-siap saja. Untuk jualanku, aku menyuruh Ama untuk sementara mengelolanya sampai aku benar-benar kembali. Jeremy… yah, ia juga tahu keberangkatanku ke New York. Ia terdengar tidak masalah, tapi aku tahu ia pasti berpikir yang aneh-aneh. Dan ya, rasanya memang akan ada hal yang aneh terjadi nanti.     

Tidak ada yang memberitahu Raja tentang kedatanganku. Orang rumah hanya memberikanku alamat dan aku harus mencari sendiri sekaligus mempelajari New York. Aku benci ini sebenarnya karena banyak hal yang akan aku lewatkan.     

Aku tidak bisa bertemu dengan Jeremy nantinya saat aku berada di New York. Dan karena itu, Jeremy menunda kepulangannya demi menungguku kembali ke Indonesia. Tiga hari lagi aku berangkat.     

Aku mencoba menjelajahi maps yang tersedia di ponsel pintar, yah, sekaligus mempelajarinya juga. Kelihatannya mudah, tapi aku merasa berat sekali melakukannya.     

"Daisy," suara wanita yang tidak ingin kutemui muncul saat aku tengah menyendiri di kolam renang.     

Reina datang dan untuk pertama kalinya ia berbicara berdua denganku. Aku hanya diam dan tetap melihat-lihat majalah tentang New York.     

"Terima kasih udah mau melakukan ini. Aku… nggak sempat berbicara berdua denganmu," katanya.     

"Aku tahu kamu nggak suka aku sejak kerumitan ini. Tapi aku akan buktikan bahwa ini adalah pilihan tepat yang aku ambil. Maafkan aku," katanya lagi.     

Kuhela nafasku dan aku tetap mengabaikannya sampai menunggu ia benar-benar pergi dari hadapanku.     

"Saat bertemu Raja nanti, aku mau menitipkan sesuatu untuknya. Ini… cincin pertunangan yang ia berikan padaku. Tolong ya, kamu berikan kepadanya dan aku minta maaf untuk segalanya. Aku sudah mencoba menghubunginya dan dia nggak membalas satu pun pesanku," jelasnya. Reina menaruh cincin itu di hadapanku.     

Aku tidak bergerak sama sekali sampai ia akhirnya pergi dari hadapanku. Di situ aku langsung menoleh ke cincin itu dan meraihnya. Cincin silver atau mungkin perak, aku tidak tahu, tapi terlihat sekali jika cincin yang kupegang ini adalah cincin mahal. Dengan permata yang berkilau di tengah-tengahnya, terlihat cantik.     

Bagaimana nanti ketika aku bertemu dengan Raja? Apa aku harus mencoba menghubunginya terlebih dulu? Bersikap normal dan biasa? Mencari pembicaraan yang mengalihkan pikirannya? Ah, sudahlah… aku hanya perlu bertingkah biasa saja saat aku bertemu dengannya. Sekarang aku harus bersiap untuk bertemu Sean.     

Aku sudah menunggu satu jam di tempat janjian. Tapi Sean tidak muncul sekalipun. Apakah dia lupa akan janjinya atau dia ada sesuatu hal sehingg tidak menghubungiku? Aku malas sekali menunggu seseorang seperti ini. Waktuku jadi terbuang percuma jika begini. Akhirnya aku memutuskan kembali ke rumah saja dan berdiam diri di kamar.     

Tidak akan ada toleransi jika terlambat. Aku sudah menerapkan itu di perjanjian itu jika hal seperti ini terjadi. Bahkan saat aku kembali ke rumah pun Sean tidak menghubungiku. Artinya ketelatannya sudah bulat sampai menjelang sore ia juga tidak memberi kabar.     

Karena aku merasa bosan, aku akhirnya memutuskan untuk pergi ke mal. Mungkin nanti ada sesuatu yang bisa kubeli atau setidaknya mencuci pikiran dan mataku dari waktu yang membunuhku seperti ini.     

"Winda?" ucapku saat aku masuk ke mal, aku melihat seorang yang mirip dengannya. Ia datang bersama seorang laki-laki yang membuatku cukup terkejut.     

"Daisy?" kali ini Winda membalasku. Ia langsung memelukku dan aku membalasnya walau tatapanku setelah itu menatap laki-laki yang tidak kusangka akan bersama Winda di luar seperti ini.     

Winda melepas pelukannya dan menatapku dengan bahagia. "Kebetulan kamu di sini, banyak hal yang mau aku ceritakan. Sebentar, ya. Sayang… kamu kan mau ketemu teman, aku sama temanku dulu, ya? Nanti kita ketemu kalau aku udah selesai, oke?" katanya lalu berpaling ke arah laki-laki itu.     

Sayang? Sejak kapan dia punya kekasih? Kupikir ia tidak percaya cinta atau mau menjalin hubungan dengan seseorang seserius itu.     

"Ya… kalau begitu, aku masuk duluan," katanya dan mengecup pipi Winda lalu melaluiku begitu saja.     

Tiba-tiba hatiku… tidak, perasaanku… kenapa rasanya seperti sakit seperti ini? Aku baru saja bertemu dengannya setelah satu jam lamanya hingga saat ini aku menunggu kabarnya dan sekarang aku bertemu dengannya bersama Winda di mal.     

Sean bersama Winda. Mereka berpacaran?     

Winda langsung meraih tanganku untuk masuk ke dalam mal dan aku langsung sadar akan lamunanku. Kami akhirnya berhenti di kopi store Espresso dan duduk di sana untuk berbincang-bincang.     

"Kamu apa kabar, Daisy? Ya ampun, maafin aku nggak mengabari kamu!" tanyanya antusias dan merasa bersalah.     

"Baik. Sangat baik. Jadi, apa kamu mau cerita semuanya?" tanyaku penasaran. Pasti ada cerita antaranya dengan Sean yang saat ini menjadi pusat dari rasa penasaranku.     

Winda menceritakan semuanya padaku. Ia tampak bahagia, tidak seperti saat terakhir aku melihatnya masih dengan kesedihan. Ia juga mengatakan bahwa ia berhenti dari pekerjaannya itu. Lalu ia bercerita tentang Sean.     

"Dia… entah mungkin takdir, dia menemukanku di jalan saat aku lagi berjalan sendirian. Berkenalan dan kami akhirnya dekat. Lalu lama-lama, kami berpacaran dan dia memintaku tinggal dengannya di apartemennya," jelasnya.     

Bagian yang itu membuat jantungku berdetak tak keruan. Ia benar-benar bahagia dengan hubungannya bersama Sean. Sementara aku, aku tidak tahu mana yang harus kupercaya. Rasanya aku seperti dipermainkan Sean.     

"Katakan lebih detail," godaku untuk mencari tahu. Aku berusaha bersikap normal dan mencoba untuk menunjukkan bahwa aku tidak mengenal Sean.     

Winda tertawa malu. Sepertinya Winda benar-benar jatuh cinta padanya. Wajahnya berseri-seri saat ia menyebut nama Sean di setiap pembicaraan kami.     

"Dai… kamu tahulah ketika orang dewasa saling suka, dan seks bekerja di dalamnya. Dan yah, begitulah kami sampai sekarang," ujarnya dengan senyuman.     

Aku menatapnya sambil tersenyum. Cukup senang aku melihat Winda merasa bahagia daripada kemarin.     

"Apa? Kenapa senyum begitu?" tanyanya malu.     

"Kamu jatuh cinta, Winda. Aku senang melihatmu begini," kataku.     

"Ya… aku bahagia dan aku mencintainya, Dai. Dia bisa membuatku merasa sangat dihargai. Nggak seperti Andi."     

Aku yakin Sean memang baik. Tapi apa yang ia lakukan padaku… rasanya aku tidak akan meneruskan perjanjian itu. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan temanku dan aku rasa ada sesuatu yang tidak beres dengan perasaanku. Jadi, aku harus menyelesaikan ini.     

"Oh, aku ke toilet sebentar, ya," kataku pada Winda.     

Aku menatap diriku di cermin. Untungnya toilet wanita ini sepi. Mendadak mataku memanas dan tanganku mengepal dengan sendirinya. Memikirkan tentang Sean membuatku bergetar seperti ini. Sepertinya ini karmaku karena bermain di belakang Jeremy.     

Kubasuh wajahku dan mengusapnya dengan tisu. Setidaknya aku tidak seperti kelihatan menangis. Kucoba minum pil penenangku yang selalu kubawa. Perlahan rasa cemas itu hilang dan berganti dengan rasa yang biasa.     

Saat aku keluar toilet, Sean di depanku. Kedua tangannya di kantung celananya dan menatapku dengan intens. Mendadak aku tidak bisa bergerak dan malah menatapnya balik.     

"Maaf, Daisy. Aku dan Winda, kami hanya…"     

"Berpacaran?" sambungku. "Perjanjian dibatalkan. Tolong anggap kita nggak kenal sama sekali. Oke?"     

"Daisy…" Sean menggenggam tanganku dan menghentikanku. Aku tidak berani menoleh ke arahnya. Air mataku sudah terjatuh. Kalau Sean melihat ia pasti berpikir aku sudah jatuh cinta padanya. Tidak mungkin juga aku mencintai dua orang sekaligus, kan? Atau, katakanlah mungkin, tapi aku mencoba untuk memercayai ini.     

"Apa kamu menungguku tadi?" tanya Sean. Kini ia berdiri di hadapanku dan terlihat sudah wajahku yang sudah banjir dengan air mata     

"Please, jangan nangis. Please… maafkan aku. Aku mohon, Daisy." Sean mengusap air mataku dan aku mundur selangkah darinya. Aku tidak ingin ada sentuhan darinya.     

"Nggak penting aku menunggumu atau nggak. Kita selesai. Tolong bilang ke Winda kalau aku sakit dan harus kembali ke rumah. Ingat, kita selesai dan nggak saling kenal," kataku dan berhasil meninggalkan Sean.     

Aku berjalan cepat untuk menghindar dari Winda atau pun Sean. Aku harus segera mengambil dokumen itu dan membakarnya. Aku tidak ingin seseorang melihat dokumen itu apalagi mengenal namaku. Selagi Sean sedang bersama Winda, setidaknya aku masih mampu menjangkau rumah itu walau jaraknya dari mal sedikit jauh.     

Sudah lama aku tidak menangis. Tapi seorang yang brengsek sepertinya membuatku menangis lagi. Ini seperti saat aku menangkap basah Zen dengan Rosi. Menyakitkan. Dan bahkan saat aku berada di taksi, aku masih menangisi laki-laki itu. Padahal dia bukan kekasihku, tetapi kenapa semenyakitkan itu?     

Hancur sudah keinginanku untuk mencuci pikiranku di mal saat melihatnya. Aku rasa aku juga tidak bisa bertemu dengan Winda lagi untuk sementara waktu. Sepertinya pergi ke New York adalah langkah yang benar untuk saat ini.     

Aku sudah sampai di rumah kayu itu. Kubiarkan taksi menungguku sampai aku mendapatkan dokumen itu. Masuk ke dalamnya membuatku teringat momen di mana aku dengan Sean bercinta. Setiap sudut rumah ini memiliki kenangan yang indah.     

Kutahan air mataku untuk tidak terjatuh, tapi aku menangis terus di setiap langkahku mencari dokumen itu. Kuacak-acak ruangan khusus milik Sean. Sejenak aku melamun karena meja di ruangan kerjanya ini pernah menjadi tempat di mana aku dan Sean bercinta dengan hebat.     

Aku berusaha menarik nafasku dan menghembuskannya sampai aku benar-benar mendapatkan dokumen itu. Tidak peduli seberapa kacau ruangannya kubuat, aku keluar dari ruangannya dengan tergesa-gesa sebelum Sean ke sini.     

Tapi terlambat, di depan pintu Sean berdiri. Tubuhnya yang menjulang tinggi seperti pagar untuk menahanku di sini. Matanya nanar menatap aku memegang dokumen itu. Aku mundur selangkah demi selangkah ketika ia melangkah maju mendekatiku.     

"Aku sudah yakin kamu akan ke sini, Daisy. Taksimu udah kusuruh pergi. Sekarang hanya kita berdua di sini. Kamu tahu kan, artinya apa?" katanya dengan nada mengancam yang menyiratkan penyesalan pada matanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.