BOSSY BOSS

Chapter 94 - Everyday Before Departure



Chapter 94 - Everyday Before Departure

0Aku diam. Bukan aku terkejut tapi karena aku tidak ingin benar-benar mencampuri urusan mereka. Aku dan Raja bahkan diam bukan karena kami ada suatu masalah, tapi yang menjadi masalah utama adalah kami pernah bercinta sekali dan itu menjauhkan kami. Itu pun aku dan Raja bertengkar karena Reina dan ya, Raja mengungkit-ungkit masalah seks itu hingga membuatku emosi.     

"Setidaknya sampai ia benar-benar lupa akan Reina," tambah Raka.     

"Raka… aku… nggak bisa," tolakku halus.     

"Aku yakin dia akan baik-baik aja kalau sama kamu, Dai."     

Aku menutup wajahku karena sedikit frustrasi. Mungkin benar kata Raka, tapi aku tahu pada akhirnya kami akan melakukan itu lagi. Seks selalu bekerja untuk melupakan beberapa hal. Dan aku tahu, Raja dan aku tidak bisa mengontrolnya jika kami berdua setelah kami sudah melakukannya.     

Sesuatu yang sudah pernah dilakukan, kelak akan dilakukan lagi. Entah kenapa aku yakin sekali. Dan kalau pun aku menyetujuinya, artinya aku harus terbang ke New York, salah satu kota di US, di mana mereka tinggal.     

"Aku nggak bisa, maaf Raka," tolakku dan aku langsung masuk ke dalam rumah. Aku masuk ke dalam kamarku dan mengunci diriku di sana.     

Akhir-akhir ini emosiku tidak stabil. Sedikit rasa cemas dan frustrasi menyergap diriku dan membuatku harus meminum obat penenang. Padahal kalau dipikir Raka hanya meminta itu. Kelihatannya dan kedengarannya mudah, tapi aku mencoba mengontrol diriku.     

Sejak mengenal seks, aku benar-benar kecanduan. Ada keinginan untuk berubah dan itu pun hanya berapa persen. Di dalam diriku, aku benar-benar butuh itu. Seperti obat dalam kehidupanku untuk beraktivitas normal.     

Mungkin Raja akan memberi kepuasan. Tapi saat ini aku hanya ingin Sean saja yang memberikan itu. Kalau aku melakukannya dengan banyak laki-laki, aku yakin ada yang salah dengan diriku. Atau katakanlah tidak ada yang salah, tapi aku memang menginginkan itu. Aku sekarang cukup tahu laki-laki seperti apa yang cocok untuk bercinta denganku. Zen, Raja dan Sean adalah salah satunya. Sementara bersama Jeremy, aku mencintainya dan seks tidak begitu penting untukku dengannya.     

Malamnya, tiba-tiba Ibu memanggilku untuk berkumpul di ruang keluarga. Ada Om Thomas, Raka dan Reina… padahal aku tidak mau melihat wanita itu, tapi ia ada di sini rupanya.     

"Ada apa?" tanyaku pada yang lainnya karena pandangan mereka ke arahku semua.     

"Daisy, Om sudah mendengar Raka meminta bantuanmu tentang Raja. Sejujurnya Om juga khawatir dengan dirinya di sana. Seseorang harus bisa mengontrol emosinya yang sedang nggak stabil," jelas Om Thomas tanpa basa-basi.     

Aku menghela nafas dan menatap Raka dengan pandangan kesalku.     

"Kami setuju jika kamu mau membantu, Daisy," tambah Om Thomas.     

"Apa yang membuat kalian yakin Raja akan mendengarkanku?" tanyaku pada mereka. Kedua tanganku terlipat di dada dan pandanganku sepertinya tidak enak untuk dipandang.     

"Nak, kalian dekat. Ibu tahu Raja dan kamu sangat dekat sejak awal kenal," Ibu menambahi dan membuat emosiku menurun.     

Sialan, kalau ada Ibu begini aku tidak bisa benar-benar berontak. Menolak pun rasanya sungguh tidak enak. Apalagi pandangan Ibu menyiratkan permohonan dan harapan padaku. Aku sampai harus di sidang seperti ini hanya karena satu wanita.     

Aku langsung menatap Reina dengan pandangan tak sukaku. "Kalau bukan karena keluargaku, aku nggak akan melakukannya," kataku dengan kebencian padanya. "Oke, aku mau," ujarku kepada yang lain.     

Aku langsung berdiri dan meninggalkan mereka. Selanjutnya biar mereka yang menyiapkan semuanya. Aku tidak peduli dengan urusan-urusan dokumen untuk menuju New York. Yang jelas aku akan menyiapkan identitasku jika mereka memang butuh.     

Aku langsung menelepon Sean dan membicarakan hal ini. Ia punya jadwal denganku dan aku harus meralatnya sebelum berangkat ke New York.     

"Kangen?" suaranya langsung menggetarkan telingaku ketika panggilanku ia terima.     

"Dalam waktu dekat aku harus ke New York," kataku memberitahu.     

"Apa? Kenapa?"     

"Saudara tiriku, dia membutuhkan aku di sana. Yah, sedikit melakukan hiburan biar dia nggak sedih," jelasku tanpa detail.     

"Oke. Lalu kamu mau ralat jadwal kita?"     

Aku diam sejenak. Aku tidak tahu kapan aku akan pergi, tapi aku membutuhkan sesuatu mendamaikan emosiku. "Ya. Setiap hari. Jemput aku di tempat yang aman jam dua belas siang. Setiap hari," tegasku dan menutup panggilan dengan sepihak.     

Jantungku berdegup kencang ketika aku mengajukan ralat jadwalku. Benar-benar rasanya menantang diriku sekali. Setiap hari bercinta dengan orang yang sama dan aku tidak bisa menjabarkannya lebih jauh.     

Sejak bersama Sean, aku terus menerus mempercantik diriku. Pakaianku dan riasanku sedikit kutimbulkan agar terlihat menariknya. Aku juga sudah bilang pada keluargaku bahwa saat jam dua belas siang setiap hari dan entah sampai jam berapa, aku akan berada di luar bersama temanku. Semua pekerjaan online shopku juga sudah kuproses sebelum jam dua belas siang.     

Sean tahu tempat yang aman dan aku percaya ia akan membuatku benar-benar aman dan menjaga rahasia.     

Begitu melihatku masuk, ia tersenyum padaku lalu kami berkendara hingga sampai rumah kayu itu.     

"Apa kamu nggak ada jadwal dengan yang lainnya?" tanyaku ingin tahu.     

"Aku akan memakai mereka jika butuh, Daisy. Hanya dengan kamu aja terjadwal," katanya memberitahu. "Dan, mengingat kamu ingin setiap hari sampai keberangkatanmu, aku nggak akan memakai mereka. Lagipula, kamu lebih dari mereka."     

Aku langsung ke kamar dan memakai lingeri berwarna ungu muda. Kami tidak langsung bercinta. Tapi aku merasa nyaman dengan begini bersama Sean. Kami memutuskan menonton sesuatu untuk mengendurkan saraf dan melakukan pendekatan agar tidak terlalu kaku.     

Sean memangkuku ketika kami sedang mengontrol. Ia seolah sengaja mengenai bokongku dengan miliknya sehingga aku bisa merasakan miliknya mengeras. Kutahan senyumku sambil tetap melihat film yang kami putar.     

"Menurutmu, seseorang bisa begitu sangat mencintai kekasihnya? Seperti Rose kepada Jack?" tanya Sean. Kami memang sedang menonton Titanic. Sangat kuno sekali mengingat film itu terlalu populer di setiap hari valentine atau setidaknya mungkin setahun sekali.     

"Maksudmu selamanya?" tanyaku.     

"Ya," jawabnya dan mengecup-kecup bahuku.     

"Bisa saja, Sean. Hanya tinggal menemukan orang yang tepat atau kalau takdir bertindak," kataku. Aku sendiri belum merasakan cinta yang begitu sangat seperti Rose pada Jack. Bahkan dengan Zen saja cinta itu bisa berkurang seiiring berjalannya waktu. Dan dengan Jeremy, aku hanya mencintainya. Aku belum tahu ke depannya seperti apa, tapi Jeremy serius padaku.     

"Aku nggak percaya dengan cinta. Cinta bisa membuatmu jatuh," timpal Sean.     

Aku mendengarkan. Aku rasa Sean punya masalah buruk dengan cinta hingga membuatnya berkata demikian.     

"Tapi aku nggak masalah jika kamu percaya dengan cinta. Setiap pandangan itu berbeda, kan?" katanya.     

"Ya. Berbeda."     

Sean menyampirkan seluruh rambutku ke samping sehingga ia mencium leherku dan menjilatnya. Aku menahan rintihan dan desahanku. Film belum benar-benar selesai tapi Sean sudah memulai memasukkan umpan padaku.     

"Kenapa kamu sangat seksi, Daisy?" tanyanya.     

"Aku… nggak… tahu," jawabku dengan nafas memburuku.     

"Aku selalu ingin bercinta denganmu. Sangat keras, cepat dan benar-benar keras." Ancamannya benar-benar terdengar nikmat di telingaku. Menggetarkan seluruh tubuhku hingga rasanya aku ingin berbalik dan memberikan payudaraku padanya.     

"Menungginglah," perintahnya. Dan aku melakukannya. Di sofa. Memegang erat kepala sofa dan membiarkan Sean melakukan apa yang harus ia lakukan.     

Sean beraksi di belakangku. Bergerak lamban dan membuatku frustrasi. Kenapa ia sengaja memperlambat gerakannya? Aku ingin cepat. Aku ingin ia bergerak dengan buas. Tapi aku suka jika ia memerintahku. Seperti Zen memerintahku untuk melakukan apa yang ia mau.     

Aku bisa merasakan kedua tangan Sean yang memegang pinggangku dengan erat. Perlaha-lahan lamban hingga ia bergerak cepat mencapai ketinggiannya. Tapi tidak sampai situ. Sean tidak membiarkanku lebih dulu merasakan puncak itu. Aku rasa Sean sedang mencoba mengalihkan sesuatu dalam dirinya dengan bercinta denganku. Tidak masalah selagi aku benar-benar menimatinya.     

Kemudian Sean menyuruhku berdiri dan berbalik pada dinding kayu. Aku melihat di atas tergantung sebuah ikatan yang aku tahu dan aku tebak itu untuk mengikat kedua tanganku. Ia benar-benar mengikatku dan kembali bermain di belakangku. Aku sedikit kesusahan karena berjinjit mengikuti ikatan yang sedikit lebih tinggi dariku. Namun walau begitu Sean akhirnya mengangkat pahaku dan ia mulai bergerak dengan nyaman.     

"Bagaimana?" bisiknya mengecup leherku.     

"Sangat… enak," nafasku memburu.     

"Apa kamu sudah diperintah begini, Daisy?" tanyanya.     

Kuanggukan kepalaku dan ya, Sean bergerak cepat lagi. "Tetap kuat karena kita akan bercinta lebih dari kemarin."     

Oh, ya… rasanya terdengar menyenangkan. Tapi aku tidak sabar untuk aku bergerak di atasnya.     

Baru dua kali gaya, aku sudah merasa lelah. Sean membopongku ketika ia sudah selesai. Lalu membawaku ke atap rumahnya yang aku belum jelajahi. Ternyata ada kolam renang dan kursi rebahan di sana.     

Ia menaruhku di sana dan menyuruhku untuk menungging lagi. Sepertinya ia lebih senang bergerak di belakangku. Udara sejuk dan angin yang menerpa membuat keringatku menjadi dingin. Sean tetap bergerak dengan dua tangan memegang payudaraku.     

"Apa aku boleh berteriak?" tanyaku tidak tahan karena rasanya aku juga akan keluar.     

"Sekencang apapun, itu akan membuatku semakin bernafsu." Aku bisa mendengar nafasnya memburu juga. Dan ya, aku berteriak dengan lengkingan kenikmatanku dan ambruk di kursi itu ketika aku mengeluarkannya dan Sean juga.     

Sean mengecup keningku dan membalikkan tubuhku di kursi itu. Ia meraih handuk besar yang ada di samping dan menutup tubuhku. "Tidurlah. Setelah itu kita akan bercinta lagi. Aku akan berenan," katanya.     

Aku memejamkan mataku dan membiarkan angin membuatku tertidur.     

Untuk beberapa jam, jika aku tidak salah, aku sudah tertidur cukup nyenyak. Sedikit lelahku hilang dan aku menoleh ke sebelahku bahwa Sean sedang memainkan ponselnya. Ia menoleh ke arahku setelah tahu aku bangun.     

"Minum dulu, Daisy," ujarnya.     

Aku meraih orange jus dan meminumnya hinga habis. Kulihat Sean hanya mengenakan handuk. Sepertinya ia sudah selesai berenang karena tubuhnya sudah tidak basah.     

"Apa kamu siap kita bercinta di kolam renang?" tanya Sean menggodaku.     

"Sangat siap," jawabku tersenyum.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.