BOSSY BOSS

Chapter 90 - Love Makes You Blind



Chapter 90 - Love Makes You Blind

0Ini sudah seminggu aku berjualan online shop. Masih berproses dan sudah ada beberapa yang memesan. Aku senang sekali menjalani ini. Benar-benar aku tidak memiliki tekanan dari atasan saat bekerja ikut orang. Yang ada aku hanya menerima kritik saran dari pembeliku.     

Jeremy dengan sabar menjadi marketingku. Ia pandai dalam hal mendesain di sela-sela pekerjaannya. Ia juga memasari marketku pada beberapa e-commerce yang kupakai. Bekerja seperti ini tidak kubilang mudah begitu saja, tapi setiap prosesnya menjadikan semuanya mudah. Selama ada niat dan usaha juga doa, jadi terasa mudah untuk dilakukan.     

Lalu, hari ini adalah hariku kembali ke kost. Aku sudah seminggu di rumah dan aku harus menepati janjiku sendiri untuk kembali ke kost setelah seminggu di rumah. Jadi, aku benar-benar mencoba membagi waktuku untuk di rumah dan di kost.     

Saat sampai kost, aku melihat kamar Winda terasa sepi. Kulihat tidak ada rak sepatu atau sandal maupun alas keset di sana. Ini aneh, aku baru meninggalkan kost selama seminggu tapi saat kembali aku menemukan kamarnya seperti ia sudah pindah.     

Aku mendekat dan melihat bahwa jendelanya tidak ada gorden. Lalu aku melihat sekeliling dan benar, kosong. Tidak ada peralatannya atau benda di dalam kostnya.     

"Winda pindah, Dai," tiba-tiba suara susi muncul dari kamarnya.     

"Oh, kenapa dan ke mana? Kamu tahu?" tanyaku.     

"Dia kelihatan buru-buru dan wajahnya sedih gitu, sih. Nggak sempat bicara juga karena kayaknya dia benar-benar kacau," jawabnya.     

Aku mengangguk dan berterima kasih lalu menuju kamarku. Apa aku harus menghubunginya? Bertanya ke mana ia pindah dan ada apa? Atau sebaiknya tidak usah mengingat ia sendiri tidak memberiku kabar?     

Sebaiknya tidak usah saja. Aku takut jika aku ikut campur, Winda akan merasa tidak nyaman. Jadi, aku menunggu saja jika suatu saat ia muncul atau memberiku kabar.     

Seminggu kost aku tinggalkan, sudah kotor saja. Ventilasi memang membuat para debu masuk jadi, aku sedikit tidak nyaman jika begini. Aku akhirnya membersihkannya sampai debu-debu itu tidak kelihatan. Karena aku punya alergi debu, seperti jika hidungku mencium debu itu, aku akan flu. Maka dari itu penting sekali masker untuk melindungi hidungku dari debu dan kotoran.     

Setelah merasa semuanya rapi, aku baru beristirahat. Membuat es teh manis dan meminumnya.     

Seseorang mengetuk pintu kamarku dan aku membukanya. Aku terkejut karena melihat siapa yang datang. Padahal aku baru dari rumah tapi aku tidak diberitahu apa-apa. Dan sekarang dia muncul.     

"Hai, Daisy," sapanya.     

"Raka…"     

Aku terkejut. Lalu aku melihat arlojiku untuk melihat pukul berapa. Kemudian aku melihatnya lagi. "Ini kamu?" tanyaku seraya meraba pipinya.     

"Kenapa? Kaget? Aku langsung ke sini, loh, dari bandara," katanya.     

Aku langsung sadar bahwa Raka belum aku persilakan masuk. Jadi kusuruh ia masuk dan aku menuangkan es teh yang kubuat ke gelas untuknya. "Loh, emangnya orang rumah nggak tahu?" tanyaku.     

Raka menggeleng dengan wajah yang serius. Aku rasa kedatangannya tiba-tiba dan sesuatu terjadi. "Ada apa?" tanyaku.     

"Begini, jangan bilang orang rumah aku pulang, oke? Bahkan Raja tahunya aku menginap di apartemen temanku. Ada hal yang harus kuselesaikan di sini tanpa mereka tahu," jelasnya.     

Aku menaikkan satu alisku karena ingin lebih tahu maksudnya. "Reina… dia, ingin bertemu denganku tanpa Raja tahu. Ada hal dan sesuatu yang ingin ia beritahu dan lakukan denganku," katanya lagi.     

Aku tidak tahu kenapa Reina jadi begitu. Membuat seseorang terbang jauh dengan status yang tidak jelas. Well, bukan tidak jelas, bahkan ia dan Raka sudah putus. Lalu, Raka juga… demi hal dan sesuatu yang tidak kutahu, mengapa ia mau-mau saja jauh-jauh terbang ke sini?     

"Aku tahu aku terkesan menjilat ludahku sendiri. Tapi di telepon… Reina menangis-nangis," ujarnya.     

Oh, aku mulai berpikir dan paham bahwa Raka lemah terhadap tangisan wanita. Apalagi jika tangisan itu berasal dari mantan kekasihnya.     

"Terus kamu stay di mana sekarang?" tanyaku.     

"Hotel. Dai, kamu nggak akan bilang, kan?" tanya Raka lagi.     

Aku memejamkan mataku dan menggeleng dengan cepat, "aku nggak ada urusan untuk melapor. Aku hanya berpikir aku nggak nyangka kamu mau melakukan hal sejauh ini demi Reina," tegasku.     

Raka menunduk malu. Kemarin ia kelihatan bijak di mataku, tapi tidak sebijak itu. Ia bahkan terjatuh karena wanita yang masih ia cintai.     

"Maafkan aku," katanya.     

Kuhela nafasku dan menarik kepalanya ke atas untuk kutatap. Wajahnya terlihat kacau. Entah hal apa yang Reina sedang rencanakn. Aku jadi ingin tahu sebenarnya. Tapi sepertinya Raka tidak tahu hal itu.     

"Dia bilang apa aja?" tanyaku untuk memastikan.     

"Dia bilang, ingin melakukan sesuatu yang selama ini kita nggak lakukan. Dia rindu aku dan dia ingin aku ada di dekatnya. Perasaan dengan Raja… katanya, hanya bersifat nafsu aja," jelasnya.     

Raja… kalau dipikir saat bersamanya pun aku hanya memikirkan seks. Walaupun hanya sekali bersamanya, tapi keinginan untuk melakukan lagi itu ada. Hanya saja sekarang aku memang sedang tidak baik dengannya.     

Tapi tunggu, Reina bilang ingin melakukan sesuatu yang dia dan Raka belum lakukan? Entah kenapa pikiranku berkelana ke mana-mana.     

"Raka… kamu tahu kan, kamu nggak beda jauh sama Raja kalau begini. Aku wanita, aku paham kalau wanita itu racun buat laki-laki," nasihatku.     

Raka mengangguk mengerti. Kalau ia mengerti dan tetap ia lakukan, artinya laki-laki ini benar-benar masih mencintai Reina. Atau ia memang ingin tahu hal itu, adalah kemungkinan yang kedua.     

"Berapa lama kamu di sini?" tanyaku.     

"Tiga hari. Selama tiga hari itu juga Reina bersamaku. Katanya, ia berharap bisa memperbaiki hubungan kami jika kemungkinan itu ada setelah melakukan itu."     

Ini kenapa aku kedengarannya seperti hal yang berbau seks, ya? Apakah Reina pikir seks bersama mantan kekasih bisa memperbaiki keadaan ketika ia sendiri memacari adik mantan kekasihnya itu?     

Aku tahu bahwa seks akan bekerja ketika dua pasangan sedang dalam pertentangan. Tapi… tidak! Aku tidak bisa menilai seseorang seolah aku ini suci dan sempurna. Aku bahkan pernah bersama Raja. Jadi, sudahlah, biarkan menjadi urusan Raka.     

"Nanti malam Reina akan ke hotel," katanya memberitahu.     

Aku mengangguk dan tidak ingin berkomentar. Kubiarkan Raka dengan pikirannya sendiri sementara aku mengambil beberapa foto produkku yang baru untuk kujual di e-commerce. Menandai ukuran, mendata, dan mengemasinya dengan plastik.     

"Apa kamu ada ide atau pikiran apa yang Reina lakukan?" tanya Raka tiba-tiba.     

"Seks. Bercinta? Itu yang aku tangkap dari informasimu." Kulihat Raka yang membeku ketika aku mengatakannya.     

"Tapi… Reina bahkan sejak awal pacaran denganku dia nggak mau bercinta dan aku menghargainya," katanya seolah menolak fakta.     

Aku mengedikkan bahuku tanpa melihatnya. "Mungkin Raja membawa pengaruh itu sehingga ia ingin bercinta denganmu."     

"Apa kamu pikir Reina bercinta dengan Raja?" tanya Raka.     

Aku merasa gemas sekali mendengar dan melihat Raka bertanya seolah ia memang polos dan kaku juga tidak tahu apa-apa. Reina dan Raja bahkan berani berciuman di depan rumah saat ia tidak sengaja melihatnya.     

Sepertinya Raka hanya tahu bahwa mereka berpacaran dengan normal tanpa ada unsur seks di dalamnya.     

"Kita lihat nanti malam, oke? Apa yang akan Reina lakukan," kataku.     

Raka hanya diam dengan kerutan di dahinya. Aku pun bertanya padanya. "Kenapa? Kamu nggak siap?"     

"Bukan itu. Aku jadi terbayang bagaimana mereka berdua bisa bercinta sementara aku merasa masih terpuruk pada masa lalu," katanya.     

"Raka… apa kamu memang nggak ada pikiran ke sana? Apa yang kamu pikirkan sebenarnya?" tanyaku.     

"Aku pikir, dia mau mengatakan bahwa ia masih mencintaiku dan mungkin melakukan sesuatu seperti makan malam di hotel yang memang nggak pernah kami lakukan sejak dulu."     

Kuhela nafas dan menatapnya dengan penuh iba. "Dan, apa yang kamu harapkan dari itu? Kamu… nggak… maksudku, nggak mungkin kalian kembali di saat dia masih pacaran sama Raja, kan? Ayolah, Raka, di mana rasionalmu itu? Kenapa hanya dengan tangisan Reina lantas kamu begitu luluh dan jatuh?"     

Tiba-tiba Raka mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Benda bulat berwarna biru dongker dengan bahan beludru, lalu membukanya di hadapanku. "Bahkan aku berani melamarnya jika ia meminta kembali."     

Aku menutup mulutku tidak percaya. Raka seolah benar-benar buta. Ini tidak benar, menurutku. Ia akan merusak segalanya seperti Raja juga merusaknya.     

"Cincin ini sudah lama aku persiapkan saat masih bersamanya dan belum sempat aku melamarnya karena ia sudah bertemu Raja," jelasnya. Aku tidak tahu harus berkata apa karena rasanya ternyata juga lelah menasihati seseorang yang jalurnya sudah berbeda.     

Aku menyilangkan kedua tanganku di dadaku. "Sudah berapa lama kalian berkomunikasi?" tanyaku padanya. Tidak mungkin hanya dalam sehari, kan, Raka berubah seperti ini?     

"Ada apa memangnya?"     

"Jawab saja, Raka."     

"Sejak aku kembali ke US, dia mengirimiku kabar lebih dulu," katanya. Aku berdecak. Tentu saja Raka merasa kacau karena waktu yang cukup lama dengan perasaan yang lebih lama juga, membuatnya jadi tak karuan seperti ini.     

"Lepaskan dia, Raka. Kamu pantas dapat yang lebih baik," kataku akhirnya.     

"Pada akhirnya aku nggak bisa."     

"Kamu cuma belum mencobanya."     

Raka menggeleng dan menutup kembali tempat cincin itu dan memasukkan dalam sakunya. Lalu ia berdiri dan aku pun ikut berdiri. "Aku harus kembali ke hotel," katanya.     

"Raka… aku yakin yang dia mau cuma itu," kataku memperingatkannya.     

Raka menatapku dengan tatapan sendunya. "Aku nggak percaya sampai membuktikannya sendiri, Dai."     

Kemudian Raka menatapku lagi saat ia akan pergi dari kostku. Beberapa saat ia terdiam dan menatap jam dindingku. "Ada apa? Kamu berubah pikiran?" tanyaku.     

Dia menggeleng. "Aku ingin kamu ada di hotel. Kamu bisa membuktikan sendiri bahwa omongan kamu itu salah, Dai."     

"Hah? Maksud kamu?" tanyaku tidak mengerti.     

"Jam delapan malam, ke hotel. Nanti alamat dan nomor kamarku, akan kuberitahu. Kamu bisa menguping di sana membuktikan bahwa omonganmu salah semua."     

"Dan bagaimana kalau aku benar, Raka?" Aku rasa Raka benar-benar tidak suka dengan gagasanku mengenai Reina.     

"Aku nggak tahu. Aku pergi," katanya dan berlalu dari hadapanku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.