BOSSY BOSS

Chapter 89 - Resign



Chapter 89 - Resign

0Aku tahu kebanyakan kalian menunggu bagian cerita aku dan Jeremy selama di Thailand. Tapi tidak akan kuceritakan secara detai. Yang pasti berita utamanya adalah aku akhirnya berpacaran dengan Jeremy. Perasaan untuknya benar-benar nyata saat akhirnya aku menyatakannya dari lubuk hatiku yang paling dalam.     

Jeremy senang dan bahagia karena akhirnya penantiannya terjawab. Semangat kerjanya semakin meninggi karena ia ingin serius padaku. Aku mengikuti saja apa yang dikatakannya walau aku bersikap tidak begitu antusias. Tapi aku tahu aku akan bahagia.     

Aku sudah kembali lagi ke Indonesia. Lucu sekali saat aku akan terbang ke Indonesia, itu adalah kali pertamanya aku menangis karena harus meninggalkannya. Dulu saat bersama Zen, aku tidak menangis, kalau sedih sudah pasti. Pelukan Jeremy bahkan masih terasa pada tubuhku.     

Asal kalian tahu, Jeremy sama hebatnya di ranjang. Tapi dia bukan seorang yang kecanduan akan seks. Baginya, seks hanya penambah bonus dalam sebuah hubungan. Yang terpenting dalam hubungan baginya adalah komunikasi, kejujuran dan kepercayaan. Dan aku tahu, itulah yang tepat dalam sebuah hubungan.     

Seks memang bekerja dalam sebuah hubungan, tapi bukan berarti lantas kamu harus selalu melakukan sesk. Tidak! Tiga hal di atas tadi adalah yang terpenting dan aku setuju untuk itu.     

Ah, aku juga ada kabar untuk kalian. Aku akan berhenti bekerja dari hotel. Jeremy menyarankanku untuk berjualan online shop. Idenya sangat bagus. Di samping aku pernah jualan online shop dan cukup tahu pasarannya, jadi kenapa tidak aku coba saja? Toh, aku masih ada tabungan yang lebihd dari cukup. Jadi hari ini aku buat surat pengunduran diri dan besok aku ke hotel hanya akan mengantar ini.     

Jeremy tahu bahwa aku tidak nyaman dengan Gruda, jadi itu juga salah satu alasannya menyarankanku untuk berhenti. Dan sebenarnya aku memang mau keluar sebelum Jeremy memberi saran. Hanya saja aku butuh dukungan seseorang. Dan seseorang itu adalah Jeremy. Aku tidak mungkin menceritakan ini kepada Winda mengingat Winda kenal Gruda. Dan aku tidak bisa seterbuka Winda dalam menceritakan rahasa-rahasianya.     

Perlu kalian tahu, tidak semua rahasia bisa kamu ceritakan pada orang yang membuka rahasia padamu. Kalau mereka membukanya di depanmu, artinya mereka nyaman dan percaya. Sementara aku atau sebut saja kamu, perlu seseorang untuk bisa kamu percayai memegang rahasiamu atau sama sekali kamu simpan sendiri.     

Tentang aku berpacaran dengan Jeremy, aku tentu harus mengatakannya pada Winda. Jadi, saat aku sampai kost dan menata semua barang-barangku, aku langsung menuju kamar Winda yang sudah terbuka entah sejak kapan. Sepertinya Winda selalu membuka kamarnya sekarang.     

"Winda?" panggilku.     

"Hei! Masuk!" kepalanya menongol sedikit sepertinya ia sedang menonton sesuatu. Jadi aku masuk dan membawakan sedikit oleh-oleh yang kubeli di Thailand.     

"Ini buat kamu," kataku menyerahkannya padanya. Winda menerimanya dengan senang dan ia membukanya.     

Aku memang membeli beberapa dress cantik dan unik yang kupikir akan cocok untuk Winda. Ia langsung mencobanya dan meminta penilaianku. "Bagaimana? Bagus? Aku suka banget, Dai!" katanya berseru.     

Aku tersenyum karena melihatnya begitu ceria. Sepertinya ia sudah agak baikan sejak masalah itu. Wajahnya juga sudah tidak selebam terakhir kulihat.     

"Aku udah menduga akan cocok di tubuhmu," kataku.     

"Terima kasih! Aku langsung pakai aja, deh," ucapnya dengan terkekeh.     

Lalu Winda duduk di hadapanku dan memakan camilannya. "Jadi, bagaimana di Thailand? Apa terjadi sesuatu antara kamu dan Jeremy?" tanyanya dengan kedua alis terangkat berkali-kali. Aku tertawa melihatnya dan setelah itu mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.     

"Apa itu?" Winda antusias sekali mendengarnya.     

"Kami akhirnya berpacaran, Win," kataku memberitahu.     

Winda berteriak senang. Aku pikir caranya berlebihan, saat awal kenal dengannya, tapi aku semakin paham bahwa begitulah caranya mengekspresikan kebahagiannya. Ia langsung menjentikkan jarinya di hadapanku.     

"Aku tahu kalian memang cocok dan akan berpacara," katanya dengan bangga.     

"Begitu menurutmu?" tanyaku ingin tahu.     

"Ya! Aku dari awal sebenarnya udah menilai tapi melihat kamu seperti menjaga jarak, aku cukup paham. Tapi yah, aku yakin kalian akan berpacaran."     

Aku tersenyum mendengarnya. Rasanya senang ada seseorang yang memperhatikanmu secara diam-diam. Tidak peduli laki-laki atau wanita, yang pasti aku merasa itu adalah bentuk dari mereka menyayangi kita.     

"Lalu, ayo, katakan apa yang terjadi di sana. Apa kalian hmm, seks?" tanya Winda lebih. Aku selalu tahu ke mana arah Winda berbicara sekarang. Selalu ada kata seks dalam kamusnya atau dalam pembicaraan dengannya. Tidak bisa dipungkiri, seks memang selalu ada. Dan aku tentu saja mengatakan bagian itu.     

Winda bahkan cukup terkejut bahwa cara kami berpacaran dimulai dengan seks. "Jadi, Thailand panas karena asmara kalian, ya?" godanya seraya ia menenggak wine di gelasnya. Ia selalu minum-minuman beralkohol sepertinya. Tapi aku tidak pernah melihatnya mabuk di hadapanku kecuali ia sedang bersama laki-laki.     

"Mau coba?" tanyanya padaku menawarkan.     

"Bir mungkin lebih bermanfaat buatku sekarang," kataku memberitahu.     

"Di kulkas. Ambillah."     

Aku membuka kulkas dan ini pertama kalinya aku melihat isi kulkas Winda. Minuman alkohol, beberapa susu dan makanan instan yang hanya tinggal dipanaskan. Ia memang jarang membeli di luar, jadi mungkin ini salah satunya ia tetap di kamar.     

Aku mengambil bir Bali Hai dan meminumnya bersama Winda. Aku sudah lama tidak minum minuman seperti ini, jadi saat aku menenggaknya, seperti saat pertama kali minum. Pertama kali aku meminum alkohol adalah saat masih bersama Zen dan aku berpikir itulah yang terakhir bagiku. Nyatanya tidak.     

***     

Aku ke hotel dan memberikan surat pengunduran diri ke ruangan Gruda. Aku duduk di hadapannya dengan tenang sementara ia membaca surat itu dengan serius. Lalu Gruda menatapku dan wajahnya terlihat kacau.     

"Apa ini karena aku?" tanyanya.     

Aku menggeleng. "Bukan, aku memutuskan untuk berjualan online shop. Pacarku menyarankanku untuk melakukan itu mengingat aku berpengalaman di bidang itu."     

"Dan kenapa baru sekarang kamu kepikiran?"     

"Karena yah, seseorang mendukungku penuh," kataku menjawab.     

"Aku nggak bisa membiarkan kamu keluar dari sini, Daisy. Aku-"     

"Gruda… jangan melarangku. Karyawan membuat surat pengunduran diri itu adalah hak. Lagipula, menurut riwayat cerita yang aku dapatkan, kamu biasanya in charge resepsionis sampai menemukan yang baru. Atau menggandakan beberapa karyawan," jelasku.     

Aku sudah tahu semua riwayat itu, maka dari itu aku tidak ragu untuk keluar dari hotel ini. Gruda langsung diam begitu aku menjelaskan semuanya padaku. Aku pun berdiri dan masih menghadapnya. Ia ikut berdiri.     

"Untuk masalah gaji, terserah kamu mau memberiku atau tidak. Tapi aku ingin berterima kasih untuk kesempatan waktu yang selama ini diberikan ke aku dan ilmu yang aku dapatkan. Aku udah pamit sama karyawan yang lain."     

Setelah keluar dari ruangan, aku langsung menuju parkiran motor. Tidak ada yang penting di sini jadi aku sudah menuntaskan semuanya. Tidak peduli dengan sikap Gruda, karena aku dan dia tidak akan bertemu lagi. Sebaiknya sekarang aku menuju rumah Ibu.     

Ibu terlihat sedikit gemuk. Mungkin inilah yang dinamakan kebahagiaan dengan kehidupannya yang baru. Beliau sedang memasak sesuatu ketika aku datang ke rumah. Kami berbicara banyak dan aku tahu aku sangat merindukan Ibu lebih dari ini.     

"Ibu di sini nggak kesepian?" tanyaku padanya.     

"Memangnya kalau Ibu kesepian, kamu mau temani Ibu?" tanyanya balik seolah menyindirku. Aku tertawa kecil. Sebenarnya sebaiknya aku sering di rumah untuk mendekatkan diri lagi pada Ibu dan mungkin pada Om Thomas.     

"Aku memang mau di sini Ibu. Mungkin seminggu di sini, seminggu di kost. Tapi aku hari ini mau belanja dulu untuk memulai online shop-ku," kataku memberitahunya.     

Ibu menatapku dengan pandangannya yang teduh. Dia selalu memiliki emosi yang berlebih. Mungkin karena sifat keibuannya dan kadang aku berdecak karena ia selalu berhasil membuatku ikut merasa dramatis.     

"Kamu yakin mau di sini?" tanya Ibu.     

"Jangan buat aku berubah pikiran, Bu. Aku pergi dulu, ya? Sekalian aku kembali ke kost untuk mengambil beberapa barang untuk di kamarku."     

"Ibu akan rapikan kamarmu. Hati-hati, ya, Nak.     

Setelah dari rumah, aku sebenarnya langsung ke kost. Aku ingat kalau Jeremy menawarkan diri untuk memesan pakaian-pakaian dari Bangkok untuk dikirim ke Indonesia. Karena di Bangkok pakaian-pakaian termasuk murah, jadi Jeremy mau membantu modal pertamaku.     

Tapi saat aku berbicara dengan Jeremy, ternyata ia sudah memproses semuanya jadi aku tinggal menunggu barangnya datang saja. Padahal tadinya aku belum menyetujuinya, tapi Jeremy bergerak lebih cepat daripadaku.     

"Aku mau menjadi orang yang membantumu untuk sukses, Daisy. Jadi, jangan pernah bilang kalau kamu merepotkanku, ya?" katanya menasihatiku.     

"Tapi Jer… kamu udah banyak membantu dalam segala hal," kataku.     

"Aku senang membantumu, Sayang," katanya tersenyum.     

Jantungku berdetak cepat saat kata 'Sayang' itu terdengar ke telingaku. Aliran darahku berdesir dan aku merasa bersemangat karenanya.     

"Untuk nama toko, e-commerce apa yang mau kamu pakai, harga yang ingin kamu berikan, dan lain-lainnya itu hakmu. Aku cuma mensuplai produk dari sini aja. Oke? Kita ambil bagian."     

Aku mengangguk. Ia benar, di sini aku dan Jeremy mengambil bagian. Apalagi ide ini darinya. Aku harus menggunakannya sebaik mungkin.     

"Lalu, bagaimana dengan Gruda?" tanya Jeremy menatapku di layar ponsel. Aku belum menceritakan bagian Gruda padanya jadi ia bertanya dan berhak tahu.     

"Dia, nggak terima aku keluar. Tapi yah, aku nggak peduli. Aku tembak aja pakai riwayatnya yang sering in charge saat nggak ada karyawan dan menggandakan jadwal karyawannya. Dia langsung diam."     

"Tapi dia nggak mengancam kamu, kan?" tanya Jeremy.     

Aku berpikir sejenak. Wajah Gruda memang kelihatan tidak ramah dan marah, tapi aku rasa tidak ada ancaman apa pun darinya. Jadi aku menggelengkan kepalaku dengan tegas.     

"Daisy, tetap hat-hati, oke? Kalau ancaman datang, dari siapa pun saat aku nggak ada di sana, kamu harus bisa membela dirimu sendiri," nasihat Jeremy. Dia benar, aku tidak bisa selalu mengandalkan orang. Aku harus mulai berlatih membela diri, melawan musuh, atau hal yang paling sepele, menyiapkan bubuk merica di botol kecil dan taruh di setiap jaket yang kupakai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.