BOSSY BOSS

Chapter 88 - Kejutan Untuk Jeremy



Chapter 88 - Kejutan Untuk Jeremy

0"Bagaimana kalian saling mengenal?" tanyaku. Entah kenapa rasa penasaranku menuntutku untuk bertanya lebih jauh padanya. Padahal aku tahu, mendengar namanya saja masih membuatku kesakitan.     

Winda bahkan menawariku untuk mencoba hal itu bersama Zen. Mengatakan bahwa Zen sangat hebat dan membuatnya senang, aku bisa merasakan api cemburuku.     

"Dia melakukannya bersamaku sudah dua tahun lebih, kalau aku tidak salah. Rutin mengirimiku uang dan yah, kami selalu melakukan seks sesuai kemauannya, Dai. Dia sangat bossy dan aku suka karakter yang seperti itu," jelasnya.     

Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Winda bilang mereka sudah melakukan itu dua tahun lebih. Artinya, saat bersamaku pun, Zen masih sempat melakukannya dengan Winda dan aku sama sekali tidak tahu.     

Tidak ada air mata yang keluar dari mataku, tapi perasaanku terasa sakit. Winda sendiri sepertinya memang tidak tahu kalau Zen sering kali masuk televisi dan beredar beberapa berita yang mana ada aku di dalamnya. Winda tidak tahu itu.     

"Dan bagaimana dengan Gruda? Nama itu terlihat sangat aneh," tanyaku sedikit tertawa agar tidak menimbulkan curiga.     

"Dia sama halnya seperti Zen. Tapi Gruda hanya memakaiku di saat ia sedang emosi. Seperti nanti malam, kami akan bertemu di hotel yang ia janjikan," katanya memberitahu.     

Emosi. Apakah Gruda sedang emosi karena aku? Apakah aku harus membatalkan mereka? Kenapa sih, aku harus kenal dengan laki-laki itu?     

"Mana yang membuatmu senang, Win?"     

"Keduanya. Aku nggak bisa memilih, Dai. Bahkan aku bisa beberapa kali merasakan kenikmatan itu bersama mereka," timpalnya.     

Aku mencoba tertawa dengan caraku lalu berpura-pura pamit ke kamar karena aku merasa mengantuk. Winda memperbolehkan dan aku pun segera ke kamar, mengunci diri dan benar-benar terbaring.     

Sebenarnya apa yang diketahui Winda? Dia tidak mungkin tidak tahu apa pun tentang Gruda dan aku. Maksudku, Winda tahu di mana aku bekerja. Dan tentang Zen… masa ia benar-benar tidak tahu? Rasanya tidak mungkin sekali.     

Daripada mengurus itu, lebih baik aku mandi untuk menyegarkan diriku. Dan aku sebaiknya melakukan panggilan video dengan Jeremy setelahnya.     

Setelah mandi, aku langsung menghubungi Jeremy dan ia langsung menjawab panggilanku. Kami bertatapan dalam beberapa saat dan kemudian Jeremy tersenyum padaku.     

"Kamu cantik," katanya memuji.     

"Kamu tampan," balasku.     

Jeremy terkekeh dan ia menyeruput secangkir kopi di hadapanku.     

"Ceritakan apa yang terjadi, Jer," tanyaku. Biasanya kami saling bercerita tentang kejadian apa yang terjadi di hari itu atau kemarin. Maka dari itu aku jarang sekali bertukar kabar dengannya karena inilah pentingnya saat melakukan panggilan, kita jadi punya bahan pembicaraan yang banyak.     

"Masa kerjaku di sini di potong satu bulan, artinya aku hanya lima bulan di sini, Dai. ternyata Thailand menyenangkan. Seandainya kita besok tinggal di sini…" katanya.     

Aku senang mendengar bagian masa kerjanya yang dipotong satu bulan itu, lalu aku merasa pipiku memerah ketika ia menyebutkan bagian kalimat terakhir. "Oh, kita? Apa kita berencana tinggal di sana?" tanyaku memancing.     

"Iya, besok nikahin kamu, kita stay here," katanya sudah dengan Bahasa Inggris.     

"Kalau aku nggak mau?"     

"Aku bisa menunggu lama, Daisy. Kamu tahu kan, aku vampir," katanya dengan tawaan yang aku juga mengikutinya tertawa.     

Lalu percakapan kami bersambung dengan ceritaku. Aku menceritakan semuanya pada Jeremy. Bahkan tentang Winda. Tidak peduli jika ia melanggar privasi, tapi aku memang butuh seseorang untuk mendengarkanku.     

Kerutan di wajah Jeremy terlihat jelas. Aku tahu ia terkejut dengan bagian Winda yang itu. Karena dipikirnya Winda terlihat baik-baik saja dan tidak terjadi masalah apa pun. Tapi dengan aku membuka semua cerita, Jeremy jadi mengerti.     

"Lalu, apa kamu baik-baik saja soal Zen?" tanya Jeremy.     

"Ya, aku baik-baik aja. Kenapa juga aku harus nggak baik-baik aja?"     

Jeremy mengedikkan bahunya. "Tapi kalau kamu memang merasa baik-baik aja, syukurlah kalau begitu."     

Aku tersenyum. Kami berdua sekarang dalam posisi terbaring. Aku di dalam kostku, dan Jeremy di sana, di kasurnya sendiri.     

"Oh ya, lusa kamu pulang jam berapa, Jer?" tanyaku. Ia tidak tahu aku akan ke sana dua hari lagi. Aku ingin membuatnya terkejut.     

"Jam delapan, karena aku ada acara makan-makan dengan staf. Yah, staf party gitu. Ada apa?"     

Untungnya aku selalu bertanya jam pulangnya tanpa menimbulkan kecurigaan. Jadi Jeremy terlihat sangat biasa saja.     

"Soalnya aku mau video call sama kamu mungkin jam setelah kamu selesai. Kalau aku nggak tanya kan, nanti malah aku ganggu kamu," kataku.     

"Sebenarnya aku nggak merasa terganggu, Dai. Tapi kamu benar, memang sebaiknya tanya dulu agar nanti nggak menimbulkan kecurigaan sama kamunya, kan. Aku nggak mau kamu curiga padaku."     

Kuanggukan kepalaku menyetujui ucapannya. Lihat sendiri, kan? Bersama Jeremy, semua hal terasa positif. Aku sendiri sangat senang karena ia memberikan efek yang baik padaku.     

"Terima kasih, ya," kataku.     

Jeremy terlihat bingung. "Untuk?"     

"Kamu selalu memberikan dampak yang baik buat aku, Jer. Pikiranku seperti dicuci bersih sama kamu, istilah seperti itu," ujarku dan kami pun tertawa bersama karena kalimat terakhirku.     

***     

Dua hari itu tiba. Aku sudah sampai di Thailanda dan rasanya benar-benar asing berada di negara orang. Aku jadi merasa seperti turis yang datang ke Indonesia. Untungnya aku sampai sore hari di Thailand. Jadi, aku bisa menunggu Jeremy sebentar di hotel sampai ia benar-benar sampai di dorm-nya.     

Tidak banyak yang kulakukan di Thailand selain berkeliling daerah hotel dan kembali lagi seperti itu di kamar. Membaca novel yang sengaja kubeli dan mencoba pakaian-pakaian yang terbilang murah untuk kubeli.     

Sudah pukul tujuh malam dan aku saat ini duduk di tepi kolam renang hotel. Menikmati pemandangan malamnya yang gemerlap. Cahaya yang kupastikan tidak akan mati hingga pagi hari. Thailand benar-benar kota yang ramai. Baru beberapa jam di sini, benar seperti yang dikatakan Jeremy, di sini menyenangkan.     

Aku sudah melihat lokasi dorm Jeremy dari hotel menuju ke sana. Tidak terlalu jauh, jadi aku berjalan kaki saja. Banyak yang bilang lebih baik jika ingin berkeliling hemat, menggunakan kakimu. Karena memang di Thailand banyak pejalan kaki yang berlalu lalang. Bahkan semakin malam maka semakin ramai.     

Sesekali aku mampir ke toko untuk membeli minuman dan beberapa barang yang kulihat antik dan cantik. Tapi kadang juga aku berhenti karena merasa lelah.     

Kulihat jam sudah menunjukkan pukul delapan. Menurut yang aku tahu, Jeremy tidak ada kendaraan di sini jadi ia mungkin sampai di dorm-nya kurang lebih tiga puluh menitan. Aku tidak sabar bertemu dengannya.     

Sekarang aku sudah ada di dorm-nya. Aku memilih menunggu di suatu tempat sampai ia kelihatan muncul. Tiba-tiba seorang wanita duduk di sisiku, di tempat aku menunggu sekaligus bersembunyi.     

"Boleh duduk di sini?" tanyanya dalam Bahasa Indonesia.     

"Eh? Kamu tahu aku orang Indonesia?" tanyaku. "Dan, ya… silakan."     

"Wajahmu terlihat Indonesia banget. Namaku Lucy," katanya seraya mengenalkan dirinya.     

"Aku Daisy."     

"Baru atau liburan?"     

"Oh, liburan. Kamu?" tanyaku balik.     

"Liburan juga. Aku sebenarnya tadi hanya menebak kamu orang Indonesia. Mungkin karena aku orang Indonesia juga, jadi merasa kayak punya firasat," kata Lucy dengan senyuman.     

Aku akhirnya memilih berbicara dengan Lucy sambil menunggu kemunculan Jeremy. Setidaknya aku bisa mengisi waktu bosanku. Dan hebatnya, Lucy juga tinggal di hotel yang sama denganku.     

Ternyata Lucy liburan seorang diri sepertiku. Hanya saja aku punya tujuan datang ke sini untuk memberi kejutan. Kukatakan saja bahwa kejutan itu untuk kekasihku. Memang akan menjadi kekasihku, kan? Aku di sini juga berniat menyatakan perasaanku pada Jeremy. Aku ingin membalas perasaan Jeremy.     

"Kamu pulang jam berapa?" tanya Lucy menatap arlojinya.     

Aku juga ikut menatap Arlojinya dan melihat waktu hampir menunjukkan pukul sembilan. Dan di saat itu juga aku melihat Jeremy berjalan menuju dorm-nya.     

"Aku nggak bisa memastikan. Hmm, Lucy, kayaknya aku harus pergi. Pacarku udah kelihatan," kataku sekalian pamit.     

Lucy mengangguk dan kami berpisah diri. Aku pun segera menuju ke arah Jeremy. Mengikutinya dari belakang seraya menyalakan kue tart yang sudah kubeli dengan bentuk mini. Hari ini ulang tahunnya dan aku memang seharian ini tidak mengucapkannya, tidak juga menghubunginya atau membalas pesan-pesannya.     

Langkahku semakin dekat menuju punggungnya. Jeremy benar-benar tidak sadar akan kedatanganku. Aku menahan senyumku dan degupan jantungku. Lalu tiba-tiba Jeremy berhenti. Menatap ke arah kanannya yang mana bayanganku terlihat jelas. Kemudian Jeremy berbalik dan aku tersenyum padanya.     

"Happy birthday!" ucapku dengan gembira.     

Jeremy terlihat terkejut. Ia membeku dan tersenyum. Momen itu membuatku menangis karena aku merasakan terharu. Aku tidak tahu kenapa aku menangis di hari ulang tahunnya, tapi ini bukan air mata kesedihan.     

"Tiup lilinnya, dong," kataku bergetar.     

Jeremy langsung meniup lilinnya dan memelukku dengan erat. Sekali lagi kuucapkan selamat ulang tahun di telinganya dan ia mengecup bibirku sesaat.     

"Kamu ke sini?" tanyanya tak percaya. Aku mengangguk dengan senyuman.     

"Astaga, ba-bagaimana kalau kamu tadi tersesat? Astaga, Daisy!" Jeremy benar-benar terlihat syok dan aku tertawa kecil.     

"Dan aku nggak tersesat, oke?"     

Sekali lagi Jeremy memelukku. Ia kemudian mengambil semua bawaanku dan mengajaknya masuk ke dalam dorm-nya.     

Aku sudah melihat beberapa barang Jeremy di video call dan sekarang aku melihat keseluruhan kamarnya. Rapi dan tak tercela. Aku juga duduk langsung di kursi depan mejanya dengan perasaan canggung. Jeremy sibuk membuat sesuatu dan aku menghampirinya dengan membawa kadoku.     

"Kadomu," kataku memberikannya.     

Jeremy melirikku dan ia menaruh gelas berisi teh panas padaku. Jeremy langsung mencium bibirku lagi dengan lembut dan memagutnya. Sangat lembut dan aku jatuh pada hatinya. Tidak salah lagi, aku memang mencintainya.     

Kubalas ciuman itu lebih sedikit nakal dan aku bisa merasakan Jeremy mulai memberanikan tangannya menyentuh bokongku dan payudaraku. Nafas kami memburu dan aku menggiringnya ke kasur.     

Aku ingin menjadi milik Jeremy saat aku sudah mengatakan perasaanku. "Aku mencintaimu, Jer. Aku mau jadi hidupmu," bisiku kepadanya.     

Jeremy melepaskan ciumannya dan menatapku dengan serius. "Katakan sekali lagi."     

"Aku mencintaimu dan aku mau menjadi bagian dalam hidupmu," kataku tegas dan kemudian Jeremy menciumku lagi hingga kami mulai bercinta untuk pertama kalinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.