BOSSY BOSS

Chapter 86 - Luka Winda



Chapter 86 - Luka Winda

0"Aku Marina, maaf nggak memperkenalkan diriku lebih awal. Dan terima kasih untuk kebaikanmu meyakinkanku," ujarnya.     

Aku menatap Marina dengan perasaan sedikit bersalah. Kalau kedatanganku dari awal adalah sebuah kesalahan bagi perasaan seseorang, sebaiknya tadi aku tidak usah datang saja. Tapi inilah kenyataan yang harus dihadapi. Keadaan terjadi karena memang begitulah seharusnya.     

"Aku rasa aku nggak perlu memperkenalkan diriku," balasku.     

"Yah, Gruda bercerita sedikit tentang kamu pada kami," katanya dengan senyuman sedih.     

Kuhela nafasku dan menegakkan tubuhku. "Marina, aku benar-benar udah punya pacar. Oke? Aku nggak mau kamu merasa sedih karena hal itu. Maaf kalau kedatanganku salah," jelasku.     

Marina menundukkan kepalanya dan menggeleng dengan cepat. "Oh, maaf, aku nggak bermaksud membuatmu merasa bersalah, Daisy. Aku hanya sedikit… cemburu," katanya.     

Aku tahu. Kecemburuan membuat seseorang hilang akal dan buta. Tapi kecemburuan Marina sangatlah wajar. Laki-laki yang disukainya, sepertinya tidak menyukainya. Marina menjelaskan bahwa Gruda menyukaiku, walaupun, ia tidak menyebutkan bagian itu, tapi dari caranya berbicara aku cukup paham dan mengerti.     

Dulu aku sama sekali tidak paham ketika laki-laki menyukaiku. Bahkan saat bersama Reza pun, ia perlu waktu yang cukup panjang untuk meraih hatiku, untuk aku agar mengerti bagaimana perasaannya.     

Dan sekarang aku tahu. Itu pun aku sangat paham sejak bersama Zen. Tapi jika seorang wanita menyukai seorang laki-laki yang tidak membalasnya balik, ada kalanya ia harus memusnahkan perasaan itu dan menemukan yang pasti.     

Aku tahu kedengarannya mudah. Atau mungkin kalian tidak sependapat. Well, aku juga tahu bagian tersulitnya adalah ketika memusnahkan perasaan itu. Setiap hari harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan dan berujung sangat perih sampai yakin perasaan itu benar-benar hilang.     

"Kayaknya aku harus pulang, Mar… udah malam," ujarku berdiri untuk mengakhiri pembicaraan.     

"Kamu pulang bukan karena merasa nggak nyaman sama pembicaraan kita, kan?" tanya Marina. Terlihat jelas di wajahnya raut cemas.     

Aku menggeleng walaupun sebenarnya aku memang sedikit tidak nyaman. Tapi aku tidak ingin membuatnya khawatir lantaran Marina bersikap baik padaku walau diawal kelihatannya seperti tidak.     

"Aku harus membuat sesuatu untuk pacarku. Hmm, kado," kataku memberikan alasan.     

"Oh, dia ulang tahun juga?" tanyanya.     

"Yah, pertengahan bulan sebenarnya."     

"Semoga berhasil kalau begitu," katanya tersenyum. Aku tersenyum dan berterima kasih. Tanpa berpamitan pada Gruda, aku mengendap keluar menuju parkiran. Besok, tinggal aku memberikan alasan padanya.     

Di sepeda motor, perutku berbunyi. Yah, makanan di restoran itu tidak mengenyangkan perutku. Sepertinya restoran mahal selalu begitu. Atau akunya saja yang kurang menikmati? Sepertinya iya. Jadi kuputuskan sekali beli nasi goreng kambing yang pernah aku datangi dengan Jeremy saja.     

Aku benar-benar rindu Jeremy. Ternyata semenyakitkan ini berada jauh dari orang yang berpengaruh pada hidupmu. Tapi aku menahan diri untuk tidak berkomunikasi setiap hari, agar kalau bertemu, setidaknya ada topik yang menyenangkan untuk di bahas.     

Sampai kost, aku mendengar suara yang keras dari arah kamar Winda. Seperti bantingan dan lemparan barang. Beberapa anak kost juga ada di sekitar situ. Buru-buru aku menghampiri mereka dan bertanya tentang apa yang terjadi.     

"Ada apa ini?" tanyaku pada mereka.     

"Itu Winda, kayaknya dipukulin sama cowok, deh. Pengen bantu tapi nggak berani," ujar salah satu dari mereka.     

Aku langsung mendelik ngeri. Kuberanikan diri untuk membuka pintu kamar Winda dan melihat apa yang terjadi.     

Aku tercengang, semuanya tercengang. Wajah Winda sudah babak belur dengan pukulan dari laki-laki yang tidak kutahu namanya. Laki-laki itu melihatku dengan marah dan menhampiriku.     

"Siapa lo, hah? Mau ikut campur?" tanyanya marah.     

"Jangan, Andi! Jangan marahi dia! Aku aja!" tiba-tiba Winda memohon di kaki laki-laki itu.     

"Ap-apaan ini? Winda, kamu kenapa?" tanyaku langsung ke arahnya. Tapi belum sempat aku menyentuh Winda, laki-laki itu menendangku dan beberapa penghuni kost membantuku.     

"Andi! Berhenti! Ini urusan kita, dia nggak ikut campur!" Winda berteriak. Yang lain hanya diam dan aku sedikit sulit bergerak karena aku ingin mencoba menghentikan kekeran ini.     

"Panggil polisi," bisikku pada teman kostku. Ia mengangguk dan keluar sementara aku berusaha berdiri.     

Aku mulai mendekat ke arah Andi. Winda memberikan kode padaku untuk tidak mendekat ke arahnya. Tapi aku mengabaikannya. Aku cukup bisa membela diri saat Zen mengajariku caranya. Walaupun saat bersama preman-preman dulu aku tidak bisa karena aku dikelilingi mereka, setidaknya saat ini aku berani.     

"Jangan sakiti dia!" seruku.     

"Lo mau gantiin dia, hah?!" tanya laki-laki dengan lantang. Tapi sebelum ia benar-benar memukulku, kupukul kemaluannya dengan keras hingga ia mengaduh dan membungkuk kesakitan. Setelah itu kutarik Winda untuk menjauh darinya dan agar penghuni kost membantunya.     

Aku mendekat lagi. Tidak peduli seberapa garangnya Andi. Yang pasti, seorang lak-laki tidak pantas memukul wanita.     

***     

Sebenarnya aku masih merasa terpukul melihat keadaan Winda yang babak belur dipukuli oleh laki-laki. Tapi aku menguatkan hatiku bahwa aku akan baik-baik saja mengurus semua ini. Polisi juga sudah datang dan membekukan Andi. Tinggal sekarang aku mengurus Winda di kamarnya. Penghuni lain sudah kembali kamarnya masing-masing.     

Winda terbaring lemah. Badannya berwarna lebam. Ada bekas pukulan ikat pinggang dan beberapa luka darah yang membuatku meringis. Ia sendiri tidak ingin di bawa ke rumah sakit karena merasa masih bisa mengontrolnya.     

Air matanya terus mengalir deras. Mungkin karena rasa sakit atau karena lagi malangnya nasibnya. Saat ini aku tidak ingin bertanya kenapa bisa sampai seperti itu. Yang terpenting sekarang adalah Winda diobati terlebih dahulu.     

"Maafin aku, Dai," katanya terisak. Aku hanya diam dan tetap mengobatinya.     

"Apa kamu marah?" tanyanya menatapku.     

Aku langsung menatapnya dan dengan gelengan kepalaku, aku memberi jawaban padanya. "Nggak. Aku lagi konsentrasi sama lukamu. Untung aja nggak ada yang perlu dijahit. Kalau ada, aku terpaksa bawa kamu ke rumah sakit," jelasku.     

"Dia pacar aku. Maaf selama ini aku menyembunyikannya darimu dan mengatakan bahwa aku hanya sendiri," katanya memberitahu.     

Sebenarnya aku terkejut karena ia mengatakannya di saat seperti ini. Tapi bukan masalah untukku. Hanya saja, aku tidak suka melihat wanita dipukuli laki-laki. Rasanya sangat hina sekali laki-laki itu di mataku.     

"Aku… aku ingin putus sudah sejak lama. Tapi Andi selalu menahanku. Dia cuma ingin seks denganku dan dia nggak mau putus. Ini sudah sekian kalinya aku memintanya putus hingga aku berontak padanya. Dan… pukulan ini bukan sekali saja, tapi sudah sering," jelasnya lagi.     

Mataku mulai memanas. Mengetahui ini bukanlah pukulan pertamanya membuatku tidak berpikir dengan wajar. Kenapa harus memukul sementara bisa saja berbicara dengan baik-baik?     

Aku paham bagian seseorang yang tidak ingin putus karena masih sayang atau alasan lain, tapi seks… menurutku sangat, sangat, sangat biadab. Aku bahkan tidak melihat rasa kasihan pada wajah dan mata Andi tadi. Yang ada di wajah dan matanya hanyalah amarah dan rasa puas memukul Winda.     

"Sejak tahu dia memukulku untuk pertama kali, aku langsung minta putus, tapi kamu tahu sendiri cerita selanjutnya," ucap Winda.     

"Seharusnya kamu pindah kost yang mana dia nggak akan tahu lokasimu, Win," ucapku.     

"Udah… tapi Andi selalu punya cara menemuiku. Dan kost ini… anggaplah yang terakhir yang aku jadikan tempat sembunyi namun gagal."     

Setelah selesai mengobati Winda. Aku duduk di sisinya kasurnya. Tidak heran sebenarnya jika ia kurus seperti ini. Mungkin Winda merasakan tekanan batin juga. "Tapi, bagaimana pekerjaanmu? Tentang bersama cowok lain?" tanyaku penasaran.     

"Dia nggak melarang. Bahkan dia memujinya. Karena dia nggak melarang dan aku tahu bahwa dia benar-benar nggak mencintaiku, aku pun memainkan peranku di sana. Aku nggak peduli dengan siapa aku melakukan seks. Karena percuma."     

"Dan laki-laki yang kamu suka? Yang tempo hari kamu ceritakan padaku?" tanyaku.     

Winda diam sejenak dan menatapku. "Lagi-lagi itu Andi. Aku… aku sedikit mengarang pada bagian aku belum mengenalnya sama sekali, padahal sebenarnya itu Andi," jawabnya dengan perlahan.     

Kuhela nafasku dan ikut berbaring di sisinya. Ternyata kisah Winda rumit. Ia mencoba menutupinya dariku. Bersikap seolah dia baik-baik saja. Dan ternyata saat aku tahu keseluruhannya hingga saat ini, dia terluka parah. Baik fisik maupun batin.     

"Apa kamu mencintainya?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. Kutatap langit-langit kamarnya yang bersih putih itu dengan nafasku yang menderu memikirkan yang telah terjadi.     

"Aku mencintainya. Walau begitu, aku tetap harus melepaskannya kan, Dai?"     

"Harus. Yang seperti itu harus kamu lepaskan, Win. Dan sekarang kamu benar-benar sudah lepas," kataku tegas.     

"Kita belum tahu hukuman apa yang akan Andi dapatkan, Dai. Andi… punya kenalan dan segalanya untuk meringankan hukumannya. Dan jika dia kembali ke aku…"     

"Aku nggak akan biarin dia mukulin kamu lagi!" kataku memotong ucapannya.     

Tidak ada lagi obrolan dan kulihat Winda sudah tertidur lelap. Kutatap wajahnya yang cantiknya sudah tertutup dengan luka lebam. Aku kasihan padanya, bagaimana bisa orang sebaik Winda diperlakukan seperti ini?     

Mungkinkah Jeremy tahu? Tapi sepertinya tidak. Jeremy tidak pernah membahas hal sepeerti ini atau semacamnya padaku.     

Kubiarkan Winda di kamarnya dan aku kembali ke kamarku. Aku rasa akan aman jika membiarkannya sendiri. Mungkin aku akan mengunci pintu kamarnya dan meninggalkan pesan di sisinya agar tidak perlu khawatir.     

Saat di kamar, beban berat rasanya seperti hilang. Cerita Winda sangat menyedihkan dan sangat rumit.     

Kulihat ponselku dan di sana Jeremy mengirimi pesan. Beberapa pesan yang tidak kubalas karena tadi aku sedang mengurus Winda, juga beberapa panggilan tak terjawab darinya. Karena aku tidak ingin mengganggu, jadi aku membalas pesannya saja.     

Kemudian aku melihat nomor asing juga mengirimiku pesan. Ketika aku membuka profil fotonya, aku tahu bahwa itu adalah Gruda. Dia mencariku dan mengatakan mengapa aku pergi tanpa memberitahunya.     

Kubiarkan pesan Gruda tanpa kubalas karena besok toh, aku bakalan bertemu dengannya. Tidak perlu membalas sesuatu yang tidak penting. Karena pasti efeknya akan panjang. Seperti, jika dia mengirimiku pesan, lalu aku balas, kemudian dia balas lagi, dan begitu seterusnya jika aku memakan umpannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.