BOSSY BOSS

Chapter 85 - Gruda



Chapter 85 - Gruda

0Aku langsung mendorong Zen. Pikiranku sibuk terisi oleh Jeremy sehingga aku merasa bersalah sekali jika sampai aku melakukan ini lagi dengan Zen. Seharusnya aku sadar posisiku. Kenapa aku harus tergoda lagi untuk hal seperti ini?     

Zen menatapku dengan pandangan yang menyakitkan. Aku tahu ia marah, tapi seharusnya akulah yang paling marah di sini. Kami sudah beberapa kali melakukan seks saat kami tahu kami sudah cerai. Dan di sini aku tahu, aku yang bersalah karena mengizinkannya.     

"Keluar dan jangan kembali," kataku padanya.     

Zen hanya diam. Aku langsung menyeretnya keluar dan memastikan tidak ada seorang pun yang melihat kami. Kudorong dirinya sejauh mungkin sampai di ujung tangga, lalu aku kembali ke dalam kamarku dengan perasaan yang berkecamuk.     

Dadaku bergemuruh hebat. Gara-gara Zen, rasanya aku enggan melanjutkan aktivitasku untuk membuat kado untuk Jeremy. Rasanya tidak pantas aku merangkainya saat ini di saat aku dan Zen baru saja hampir berhubungan lagi.     

Rasa cemasku timbul begitu saja usai bertemu Zen dan menolaknya. Aku meminum obat penenang dan mencoba merebahkan diri lalu tertidur setelahnya.     

Aku terbangun dalam keadaan segar. Seolah yang kemarin bukan sebuah masalah, aku merasa tenang dan jauh lebih santai     

Hari ini aku tidak berolahraga, aku hanya melakukan sedikit pemanasan di dalam kost saja dan setelah itu berangkat kerja. Aku akan bercerita tentang hal-hal yang terjadi di hotel selama aku bekerja.     

Tugasku sekarang bekerja bersama Hilma. Tingginya setara denganku dan ia memiliki lesung pipi yang manis di kedua pipinya. Aku yang hanya satu saja iri melihatnya yang begitu manis. Hilma menggunakan behel untuk giginya karena sedikit renggang. Pengalaman kerja di hotel ini cuma lama dan ia sangat baik.     

Aku bersyukur karena aku dikelilingi orang baik walaupun aku merasa diriku tidak baik. Di tempat kerjaku, aku lebih sangat berhati-hati dalam membuka identitas. Aku sebenarnya tidak masalah jika mereka mengetahui aku seorang janda, hanya saja ketika mereka mengenalku sebagai karyawan baru dan tidak terkejut, artinya mereka tidak mengenal aku sebagai mantan istri Zen.     

"Dai, Gruda cari kamu," kata Hilma mengedipkan satu matanya padaku.     

Aku tertawa padanya karena gerakan ekspresi itu. "Kenapa harus ngedipin satu mata, Hil?"     

"Gruda single dan dia sering banget nyari kamu. Setidaknya bicarain kamu ke staf lain," katanya tersenyum.     

Ku kedikkan bahuku untuk memilih tidak membahasnya. Kutinggalkan Hilma ke pantri untuk membuat kopi krimer. Kalau Gruda sudah sampai membicarakanku selain tentang pekerjaan, artinya cepat atau lambat aku akan berurusan dengannya.     

Ketika aku keluar dari pantri, aku melihat Gruda ada di depan resepsionis sedang tertawa bersama Hilma. Karena aku sudah terlanjur dilihat olehnya, aku pun melanjutkan langkahku.     

"Dai! Gruda ulang tahun dan dia bawain pizza buat kita sama shift siang nanti," kata Hilma memberitahu.     

"Oh, selamat ulang tahun, Gruda," kataku mengucapkan.     

"Terima kasih, Dai. Makanlah dan nikmati," katanya. Aku mengangguk dan bersikap normal seperti Hilma. Walau aku harus menjaga jarak, setidaknya aku tidak boleh menghilangkan sikap ramahku.     

Gruda pergi menuju ruangannya setelah itu aku bernafas lega. Ia seperti biasa saja terhadapku, tapi kenapa Hilma mengatakan bahwa ia mencariku? Apa hanya akal-akalan Hilma saja?     

"Kamu nggak lihat tatapan Gruda tadi?" tanya Hilma seraya memeriksa OTA hotel.     

"Tatapan apa? Biasa aja, tuh," balasku. Kukeluarkan petty cash untuk menghitung anggaran resepsionis.     

"Aduh, kok nggak sadar-sadar sih, Dai? Gini ya, bukan cuma aku yang merasa, tahu. Fandi dan Arda juga merasakannya."     

Aku terkejut karena mengetahui mereka ternyata membicarakanku di belakangku. Tapi sebenarnya bukan masalah besar juga. Jadi aku tidak terlalu sensitif.     

"Aku nggak tahu apapun tentang itu, Hil. Menurutku tatapan Gruda itu biasa. Tatapan yang ia lihat ke kamu, Arda maupun Fandi. Sama saja," kataku mempertegasnya.     

Hilma mulai menatapku dan memicingkan matanya seolah aku menyimpan sesuatu yang membuatnya curiga. Ia benar-benar seolah menilaiku dari atas hingga ke bawah. Lalu aku menatapnya yang menganggukkan kepalanya sendiri.     

"Ada apa? Apa ada yang salah?" tanyaku seraya menatap penampilanku sendiri.     

"Jangan bilang kamu nggak tahu ciri-ciri cowok suka sama cewek itu seperti apa?" tanyanya mencurigaiku.     

"Aku memang nggak tahu," jawabku bohong. Lebih baik hidup dalam apa adanya daripada berekspektasi sendiri.     

Belum sempat Hilma membalas ucapanku, telepon hotel berdering dan Hilma menjawabnya. Lalu ia menyerahkan telepon itu kepadaku. Aku tanya siapa, dia hanya terkikik dan aku disuruhnya segera berbicara.     

"Halo, Daisy. Ini aku, Gruda," suara Gruda terdengar di telepon. Aku segera menjauh dari Hilma karena tadinya ia menguping ke arah telepon.     

"Hmm, ya? Ada apa?" tanyaku canggung.     

"Tenang saja, Hilma nggak tahu kalau aku yang menelepon, aku cuma bilang kalau aku adalah pengagum rahasiamu," katanya. Kutelan ludahku susah payah ketika mendengarnya berbicara di bagian akhir kalimat.     

Aku diam dan menunggu ia melanjutkan pembicaraannya. Lalu ia berdeham seperti mencoba mengatur suaranya.     

"Nanti malam, apakah kamu mau ikut acara makan malam bersama aku dan beberapa teman dekatku?" tanyaya mengajakku.     

***     

Begitu jam kerjaku selesai, aku langsung pulang. Sebenarnya aku membeli makanan dulu untuk di kost dan baru aku ke kost setelahnya. Aku ingin melanjutkan pembuatan kado untuk Jeremy. Tiket sudah kubeli dan aku berhasil mengambil hari libur cukup lama, menurutku. Gruda hanya bertanya aku akan ke mana dan aku tidak ingin ia membahas lebih detail. Jadi setelah aku menerima konfirmasi darinya, saat itu juga aku langsung keluar dari ruangannya.     

Oh ya, aku menerima tawaran Gruda untuk makan malam bersamanya dan teman dekatnya itu. Kata Jeremy, aku harus menerima kebaikan seseorang walaupun ia memiliki maksud tertentu. Jeremy mengatakan bahwa aku tidak perlu mempermasalahkan perasaan seseorang selama aku sendiri bersikap selayaknya orang normal.     

Aku masih punya waktu beberapa hari sampai hari libur lamaku tiba. Setidaknya aku mencicil beberapa kertas sampai benar-benar terkumpul sesuai banyaknya hari dalam setahun.     

Sesekali aku sambil memilih pakaian yang pantas untuk acara makan malam dan aku tidak tahu harus memberinya kado apa. Mungkin sebuah buku? Aku suka menulis buku harian dan aku mau siapapun, menuliskan apa yang terjadi padanya hari ini dan kemarin di buku harian itu. Tapi ide itu sedikit tidak rasional mengingat sepertinya Gruda bukan tipikal orang yang menulis.     

Tiba-tiba ide membeli sebuah dasi terbesit dalam benakku. Gruda hampir setiap hari mengenakan dasi saat di hotel yang ia sepadankan dengan kemeja panjangnya yang kedua tangannya terus ia gulung ke atas.     

Aku pun mencari dasi itu di online shop karena waktuku sangat sedikit. Setelah dapat, aku membayarnya dan membiarkan pengiriman hari ini berjalan sebelum waktunya tiba.     

Satu jam kemudian pesananku tiba dan aku langsung membungkusnya. Di sini tidak ada terselip sebuah perasaan atau apa pun itu. Aku hanya harus memberinya kado di saat seseorang mengundangku.     

Omong-omong, tadinya Gruda ingin sekali menjemputku, tapi aku melarangnya. Aku katakan padanya bahwa aku akan datang sendiri dengan sepeda motorku. Aku tidak masalah pergi sendiri. Lagian, aku bukan tipikal yang manja. Dan di samping itu, aku tidak ingin Gruda mengetahui lokasi kostku.     

Pukul tujuh aku berangkat. Acaranya memang jam tujuh, tapi aku sedikit memperlambat diriku karena aku tidak ingin menjadi satu-satunya orang yang datang di awal. Lebih baik seperti itu, menurutku.     

Restoran yang kudatangi ternyata mewah. Tidak heran sebenarnya, mengingat Gruda adalah pemilik hotel yang kujadikan tempat kerjaku.     

Dari satu sisi, aku melihat Gruda dan teman-temannya yang sedang berkumpul. Baguslah, kalau begitu, pikirku. Hanya saja kedua kakiku sedikit bermasalah ketika aku akan melangkah. Seperti tidak ingin tapi harus. Aku sedikit enggan untuk hadir di saat aku tidak mengenal siapapun di sana. Kecuali Gruda, tentu saja.     

"Daisy?" tiba-tiba suara Gruda terasa nyaring di telingaku. Ternyata ia melihatku dan aku sedikit bergeser untuk memperlihatkan diriku. Dengan senyuman kaku aku menatapnya.     

Bagian termalu adalah ketika semua teman-temannya memandangku dari atas ke bawah. Aku tahu penampilanku tak sekeren mereka. Aku hanya mengenakan celana panjang hitam dengan atasan yang menurutku cukup pantas untuk pergi ke pesta. Jaket kulit wanita dengan di dalamya tank top. Semua pakaianku serba hitam. Memang, rasanya sangat tidak sopan, tapi yah, inilah gayaku yang sedang ingin kuterapkan pada diriku.     

"Kemarilah," kata Gruda memerintahku.     

Aku mendekat dengan perlahan dan mengabaikan tatapan teman-temannya itu. "Selamat ulang tahun, sekali lagi," ucapku padanya dan memberikan kado itu padanya.     

Gruda menatap kado itu dan tersenyum. Ia menerimanya. "Padahal kamu nggak perlu membawa kado, Daisy. Ayo, duduk di sebelahku. Kami menunggumu."     

Oke baiklah, mereka memang terlihat sudah berkumpul semua. Tapi ternyata Gruda membuat mereka agar menungguku. Memalukan sekali.     

Aku duduk di sampingnya dan sedikit berbicara bisik pada Gruda. "Apa pakaianku salah?" tanyaku.     

"Nggak. Kamu lebih cantik begini, menurutku," puji Gruda.     

"Ayo, kita mulai makan, guys!" ujar Gruda mengumumkan.     

Aku tidak memperkenalkan diriku karena Gruda sudah memperkenalkan diriku. Jadi, aku hanya diam dan sesekali membalas tatapan beberapa orang.     

Setelah kami makan-makan, semua mulai bersantai sambil meminum sesuatu atau memakan makanan kecil yang sudah disediakan. Aku sendiri memilih duduk di kursi seorang diri seraya memainkan ponselku. Tiba-tiba seorang wanita mendekatiku dan duduk di hadapanku.     

"Apa kamu ceweknya Gruda?" tanyanya.     

"Oh, bukan. Aku… aku udah punya cowok," jawabku sedikit bohong.     

"Syukurlah kalau begitu. Tapi kenapa sepertinya kamu spesial di mata Gruda?"     

"Spesial? Maksudnya bagaimana?" tanyaku tidak mengerti.     

"Kamu… maksudku, cara Gruda menatapmu. Kamu terlihat spesial. Nggak seperti aku, dia melihatku seperti melihat yang lain," katanya terdengar menyedihkan.     

Aku menatap Gruda dan mengalihkan pandanganku pada wanita di hadapanku. "Aku dan Gruda tidak ada hubungan khusus. Lebih tepatnya aku adalah karyawannya di hotelnya. Dan aku termasuk baru di sana. Lagipula, kalau pun Gruda menyukaiku, aku akan menolaknya. Kamu tenang aja. Aku punya pacar," jelasku pada wanita yang tak kuketahui namanya. Aku harus meyakinkannya karena memang aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Gruda.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.