BOSSY BOSS

Chapter 83 - Kehidupan



Chapter 83 - Kehidupan

0Aku menepuk pundak Winda dan mengusapnya. Saat ini dukungan untuk membuatnya semangat sangat berarti walau hanya menyerupai tangan kecilku dan telingaku untuk mendengarnya. Aku tahu bahwa tak sepenuhnya kehidupanku adalah tentang aku. Tentu saja ada orang-orang di dalamnya yang memiliki cerita banyak yang pastinya juga akan berefek ke aku.     

Winda tersenyum mengetahui aku ada di sampingnya. Kadang kala ia menghela nafas. Bahkan terlalu sering hingga aku tak bisa menghitung.     

"Jadi, kamu langsung merasa ilfeel atau semacamnya. Begitu?" tanyaku padanya.     

Ia mengangguk. "Aku lebih ke kaget dan nggak nyangka. Mengenal banyak orang, sekalipun kamu belum menyentuhnya, ternyata banyak menyimpan berbagai misteri yang nggak kami tahu," ujarnya.     

Yah, aku pun juga begitu kalau dipikir-pikir lagi. Mengenal dua saudara kembar itu, Alvon, Zen dan Jeremy… mereka memiliki macam karakter yang aku tidak tahu. Aku sebenarnya juga butuh curhat, tapi aku rasa Winda bukan orang yang tepat. Bukan berarti aku tidak mempercayainya, tapi lebih kepada ia bukan pendengar yang baik.     

"Terus sekarang perasaanmu bagaimana, Winda? Kamu bahkan belum pernah bersentuhan atau berbicara dengannya," tanyaku penasaran.     

Winda tertawa kecil dan berdecak. Kedua tangannya memainkan tali tasnya dengan wajah penuh kesedihan.     

"Itulah yang bikin aku bertanya-tanya. Herannya, aku masih menyukainya walaupun ia melakukan hal buruk padaku. Kamu pernah merasakannya kan, Dai?" Ia bertanya balik padaku.     

Ia benar, seburuk apapun seseorang di matamu atau mata mereka, apabila kamu sudah menyukainya atau mencintainya, maka keburukan dari orang yang kamu suka, bukan apa-apa bagimu. Aku merasakan hal ini pada Zen.     

"Semua orang merasakannya, Win. Mungkin, kamu baru sekarang merasakan ini?" kataku tanpa menjawab pertanyaannya.     

"Benar. Aku baru merasakannya. Selama ini banyak laki-laki yang suka padaku, tapi aku nggak menyukai mereka. Aku lebih senang memanfaatkan mereka karena keadaanku."     

"Jeremy?" tanyaku.     

"Oh, nggak… nggak. Jeremy hanya lebih ke teman. Mungkin sahabat? Aku sama sekali nggak pernah memanfaatkan dia," katanya menjelaskan.     

Winda menghela nafasnya lagi. Kali ini ia merebahkan dirinya di kasurku. Memandang langit-langit kamarku dan berpikir sesuatu. "Aku belum pernah pacaran seserius orang di luar sana, Dai," katanya.     

Kupikir Winda lebih banyak pengalamannya daripada aku. Setidaknya memiliki banyak mantan kekasih di luar sana.     

"Bagaimana rasanya? Apakah jantungmu berdetak lebih cepat saat dekat orang yang kamu cinta? Atau memang begitu? Seperti cerita-cerita di novel romansa?" tanyanya.     

"Jangan bilang kamu pembaca novel juga?" tanyaku padanya.     

"Dai… Dai… sebenarnya kamu nggak boleh loh, menilai seseorang dari penampilan luarnya saja. Kamu belum lihat kamarku yang penuh dengan rak buku, kan?"     

Aku benar-benar merasa tertonjok oleh kata-katanya. Walaupun kesannya bercanda, tapi aku tahu ada nada sarkastik di sana. Hanya saja Winda tidak tersinggung, malahan aku yang merasa malu.     

"Maaf, aku kebiasaan menilai seseorang begitu," ujarku meminta maaf.     

"Jangan lagi. Karena toh, kamu nggak tahu kan cerita di balik penampilan mereka. Bisa jadi hanya topeng, pelarian, iseng-iseng atau terakhir memang begitulah penampilan mereka," jelasnya menasihati.     

Ini penting sekali dalam hidupku untuk tidak menilai seseorang dari luarnya saja. Karena aku masih lemah akan hal itu. Walaupun aku kadang menemukan beberapa benar, tapi Winda benar, aku tidak tahu cerita di balik penampilan mereka atau tidak semua orang seperti penampilan mereka.     

***     

Paginya aku terbangun dan melihat Winda masih di sebelahku. Ia semalam memilih tidur di kamarku dan ingin ditemani. Dan saat ini ia belum terbangun. Wajar sih, ini masih pukul empat pagi.     

Entah kenapa alarm dalam tubuhku selalu membuatku terbangun di jam seperti itu kecuali aku benar-benar lelah dan bangun siang.     

Perlahan aku mencuci wajahku dan bersiap untuk lari pagi. Aku tidak berniat membangunkan Winda karena melihat ia sepertinya sangat lelah dan lagi, pakaian yang seperti itu membutuhkan persiapan cukup lama jika harus berganti dengan pakaian olahraga. Jadi aku berangkat sendiri memilih nanti untuk membeli sarapan untuknya.     

Keluar kost, aku terkejut karena Jeremy ada di depan pintuku. Ia yang akan membuka bibirnya untuk menyapa, aku langsung menutupnya sementara. Kujelaskan saja bahwa di dalam ada Winda dan aku tidak ingin membangunkannya.     

"Kamu pagi-pagi ke sini, ada apa? Nggak bilang dulu, Jer," tanyaku padanya.     

"Lari pagi bareng dong, dan aku mau kasih kejutan sama kamu."     

"Kalau tadi aku nggak bangun bagaimana?" tanyaku.     

"Yah, nunggu sampai kamu bangun, Daisy. Siap?"     

Aku berdecak dan mengangguk. Kami pun berlari beriringan hingga menuju taman.     

Jeremy selalu datang tanpa memberi kabar. Dan memang benar, aku selalu terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba itu. Saat aku bersama Zen, aku tidak tahu apakah saat Zen keluar entah jam berapa, adakah Jeremy saat itu? Pikiranku berkecamuk menjadi satu memikirkan itu.     

Masalahnya, aku tidak tahu persis bagaimana Jeremy ketika marah. Yang aku tahu, ketika ia menahan sesuatu, rahangnya akan terlihat jelas dan mengeras.     

Sebaiknya aku memang menjauh dari hal yang berbau seks yang bukan dengannya. Walau aku tahu, kemungkinan aku dan Jeremy bercinta sangat tipis, tapi memang sebaiknya aku menjauh dari hal buruk itu.     

Aku tidak bisa menyakiti Jeremy lebih jauh. Dengan caranya mencintai dan menungguku. Aku yang telah melakukan seks bersama Raja dan Zen… yang belum ia ketahui.     

"Kamu mikirin apa?" tanyanya membuyarkan lamunanku.     

"Hmm… Winda. Apa kamu nggak pernah jadi teman curhatnya?" tanyaku padanya untuk mengalihkan pikiranku.     

"Nggak banyak yang sering Winda bicarakan tentang hal privasi. Aku juga nggak memaksanya. Mungkin dia menahannya sendiri dan begitulah cara nyamannya," katanya.     

"Menurutmu begitu?" tanyaku memastikan.     

Kami berhenti pada sebuah warung yang menjual nasi uduk. "Memangnya apa yang lagi dia hadapi?" tanya Jeremy.     

"Banyak. Dan tentunya hal-hal yang di luar dugaanku," kataku.     

Jeremy menyentuh tanganku dan menggenggamnya. "Simpanlah hal itu dan jangan sampai kamu cerita ke orang lain, selama Winda nggak mengizinkannya," ujarnya.     

Aku mengangguk. Lagi pula aku memang tidak ingin menceritakan masalah Winda. Hanya itu saja yang bisa kukatakan pada Jeremy. Ia pasti punya pemikiran lain yang tidak kuketahui.     

"Kamu peduli padanya, ya?" tanyaku.     

"Semua orang peduli pada sesamanya, Dai. Hanya bagian perasaannyalah yang berbeda."     

Benar. Peduli di sini bukan konteksnya bisa negatif maupun positif. Ada yang bersifat negatif, seperti menggosipkan orang lain, itu adalah bentuk kepedulian seseorang yang negatif. Yang bersifat positif, tentunya hal-hal yang bermakna positif, seperti mengerti akan masalahnya dan kehidupannya.     

"Oh, kamu jarang mengunjunginya, Jer. Malah lebih sering ke aku," kataku.     

"Yah itu, karena aku fokus untuk mendapatkanmu," balasnya membuatku tersipu malu.     

"Jer… Jer… masih pagi udah gombal," timpalku.     

"Itu bukan gombal, itu bagian dari fakta yang lagi aku kerjakan," katanya membenarkan sekaligus mengedipkan satu matanya padaku.     

***     

Aku kembali ke kost dan melihat Winda sudah tidak ada di dalam. Langsung saja aku menuju kamarnya yang setengah terbuka dan aku mendengar lantunan lagu barat yang mengalun. Aku langsung mengetuk pintunya.     

"Hei, Daisy! Masuklah! Kamu belum pernah masuk, kan?" katanya menyuruhku masuk.     

Sebenarnya aku sekilas melihatnya bersama Zen. Di ranjang itu, ranjang yang saat ini aku lihat dengan jelas.     

Aku sedikit iri melihat kerapian kamarnya dan wangi yang semerbak timbul di indra penciumanku. Sepertinya aku harus mencontohnya, agar siapa pun yang datang, merasa nyaman karena wangi ruangan kamarku.     

"Aku bawa sarapan buat kamu," kataku seraya menyerahkannya.     

"Duh, repot-repot. Tapi, makasih ya. Hmm… mau minum apa?"     

Aku tercengang karena Winda menawariku ingin minum apa sementara di kostku saja hanya tersedia air mineral.     

"Aku ada sirup, cokelat, susu, kopi, dan-"     

"Air mineral aja, Win," jawabku memotongnya cepat.     

Winda tersenyum padaku dan ia mengambil air mineral di galon. Kupikir aku memang sebaiknya mencontoh hal-hal seperti ini darinya.     

Mungkin karena Winda sudah lama di sini jadi ia menyiapkannya dari nol. Atau mungkin juga beginilah karakter Winda?     

Aku sendiri memang kalau untuk jamuan minuman, aku lebih sering memberikan air mineral, karena memang itu saja yang tersedia. Dan di samping itu, semua karena aku memang penyuka air mineral.     

"Wah, nasi uduk, ya?" tanyanya melihat isi dari bungkusan yang aku bawa.     

"Aromanya kuat, ya?" tanyaku karena memang aroma nasi uduk itu sangat kuat. Jadi sebelum membukanya pun, Winda sudah tahu.     

Winda mengangguk dan ia mengambil sendok beserta piring. "Pasti kamu udah sarapan, ya?" tanyanya.     

"Iya. Karena ada Jeremy tadi, jadi aku sarapan bersamanya."     

"Oh, udah lama dia nggak ke sini. Apa dia antar kamu sampai depan kamar?"     

"Nggak, Winda. Dia harus segera bekerja katanya."     

"Dan apa semalam kamu udah janjian sama dia makanya pagi-pagi kamu keluar?" tanyanya lagi.     

Aku mencoba menghela nafasku dan memperlihatkan bahwa aku sedang tidak merasa kesal padahal sebenarnya aku sedikit kesal.     

Kujelaskan saja semuanya padanya hingga ia mengerti keseluruhannya.     

"Sejak aku berteman dengannya, dia belum pernah seperti itu dengan wanita. Apa dia suka kamu?" tanyanya.     

Aku mengedikkan bahuku. Aku lebih memilih tidak menceritakan bagian-bagian atau semua hal yang kujalani bersama Jeremy padanya. Mungkin karena aku dan Jeremy sendiri belum resmi berpacaran? Bisa jadi.     

"Kamu nggak tahu? Serius? Masa kamu nggak tahu ciri-ciri laki-laki suka sama cewek itu seperti apa?"     

"Yah, aku nggak banyak pengalaman dengan cinta dan nggak pernah memikirkannya seserius itu, Win."     

Winda mengangguk paham dan ia menyendokkan nasi uduk itu ke mulutnya.     

"Sepertinya Jeremy suka kamu. Dan kalau dilihat-lihat, kalian cocok," katanya menilai.     

Diluar dugaanku, ternyata Winda mendukung hal seperti ini. Kupikir ia menyukai Jeremy sehingga bertanya banyak hal tentangnya padaku. Tapi lagi-lagi aku salah.     

"Kalau pun suka, aku lagi nggak ingin ke tahap itu, Win," kataku padanya.     

Kali ini gantian Winda yang mengedikkan bahunya padaku. "Yah, semua orang punya sejarah, kan? Kamu dengan sejarahmu, dan aku dengan sejarahku."     

"Maaf Win, aku belum berani mengatakannya padamu," kataku.     

"Santai, Dai. Nggak semua cerita harus diceritakan, kok. Hihihi."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.