BOSSY BOSS

Chapter 82 - Made Love & Short Story



Chapter 82 - Made Love & Short Story

0Entah jam berapa saat ini, yang jelas aku terbangun di kostku yang masih gelap. Hanya lampu kecil sebagai penerangan. Aku melihat jam menunjukkan pukul dua dini hari. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku dihadang preman-preman dan Zen menyelamatkanku.     

Di mana ia sekarang?     

"Daisy, kamu terbangun?" suara parau miliknya yang kucari ternyata adai di dalam kostku. Aku melihat sekilas wajahnya dalam cahaya lampu kecil. Ia masih dengan pakaiannya, hanya saja sekarang Zen tidak dengan jasnya. Kedua lengan kemejanya ia lipat hingga siku.     

Zen masih tampan dengan wajahnya yang tidak berubah. Lalu pandangannya… aku bisa melihat dan merasakan pandangan kerinduan padaku.     

"Kamu di sini?" tanyaku memastikan lagi. Bisa saja aku hanya berhalusinasi.     

"Ya, aku di sini. Apa kamu mau minum?" tanyanya.     

Aku mengangguk dan Zen memberikanku segelas air mineral. Untuk saat ini aku tidak bisa memberikan tatapan kebencianku padanya. Ia sudah menyelamatkanku dan menjagaku untuk memastikan aku baik-baik saja. Sekarang, apakah sebaiknya ia harus pergi dari kostku?     

"Apa yang kamu butuhkan sekarang? Apa kamu sekarang baik-baik aja?"     

"Ya… aku baik-baik aja dan terima kasih untuk bantuanmu," ujarku.     

Jemarinya memegang sehelai rambutku dan menaruhnya di belakang terlingaku. Sentuhannya benar-benar mirip sekali dengan Jeremy. Bedanya, Zen bisa membuatku merasa ingin untuk bercinta dengannya. Aku tahu pikirak ini gila, tapi itulah yang aku rasakan.     

Aku berjanji tidak akan bercinta atau merasa tergoda dengan Raja. Tapi aku tidak berjanji terhadap Zen, bukan? Entah kenapa sentuhan itu menggetarkan tubuhku.     

"Aku nggak tahu kalau tadi aku nggak datang, apa yang akan terjadi padamu, Daisy?" lirihnya menatapku.     

Nafasku tersengal-sengal. Zen mengkhawatirkanku segitunya. Walau ia benar-benar laki-laki yang brengsek, aku tidak bisa menolak sentuhannya di saat kami sedang berdua di ruangan yang sama.     

"Maaf, membuatmu khawatir," kataku.     

"Kamu meminta maaf untuk hal yang nggak kamu lakukan?"     

Aku menggangguk. "Aku yang seharusnya meminta maaf. Sedari awal aku sudah salah dan sekarang aku merasa semua sudah terlambat," katanya. Yah, aku tahu pada akhirnya dua orang yang pernah mencinta, maka sudah pasti akan membahas masa lalu.     

Jemarinya masih bermain di rambutku ketika ia berbicara. Lalu turun menuju tengkuk leherku yang membuatku merasa berhasrat. Kupejamkan mataku untuk merasakan sentuhannya. Sebisa mungkin aku mengontrol hasrat ini walau rasanya sulit. "Aku tahu kamu menginginkan aku, Daisy," katanya.     

"Please, jangan…" bibirku dan otakku benar-benar bertolak belakang. Aku tidak menghindar sama sekali, malahan aku memberikan gestur untuk jangan berhenti menyentuhku.     

"Dan aku sangat ingin berada di dalammu," lirihnya. Ya, aku pun sama. Aku ingin ia ada di dalamku dan memberi kenikmatan.     

Di tempatku berada, aku masih diam. Tangannya turun menuju kancing kemeja kerjaku dan membukanya satu persatu dengan lamban.     

"Sialan!" kesalku dan aku langsung naik ke atasnya dalam posisi duduk. Persetan dengan janjiku. Dinding pertahananku jebol begitu saja karena Zen benar-benar membuatku tinggi.     

Ia pun langsung menggerakan kedua tangannya untuk melucuti pakaianku. Aku pun juga dan kami saling tidak bisa mengontrol diri. Bibirnya sudah ada di bibirku. Mencumbuku, melumatku dengan kasar. Dan sialnya, aku merindukan ini. Sangat merindukan ini lebih dari apa pun.     

"Kamu semakin liar," katanya menilaiku.     

Aku tahu. Ini semua karena aku menahannya. Aku ingi melepaskan sesuatu dari diriku atas perbuatannya.     

"Buat. Aku. Puas. Zen!" seruku melirih ke telinganya.     

***     

Jam delapan pagi aku terbangun dalam keadaan tanpa pakaian namun tubuhku terselimuti. Aku tidak menemukan Zen di sisiku. Apakah ia pergi sekarang?     

Aku beranjak dan melihat secarik kertas di sisi kasur. Tulisan tangan Zen yang mengatakan bahwa ia kembali lebih awal karena tidak ingin menimbulkan masalah untukku. Kurobek kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah agar tidak ada yang menemukannya.     

Lalu aku bercermin pada cerminku. Aku masih mengenakan selimut yang membalut tubuhku dan membayangkan kejadian semalam. Ciuman yang Zen daratkan pada setiap jengkal tubuhku membuatku tersenyum sendiri. Semalam ada seks yang hebat bersamanya. Mungkin karena aku sangat menginginkannya, atau aku merindukannya, aku tidak tahu. Yang jelas, semalam membuatku merasa adiktif pada setiap gesekan dan sentuhan yang ia berikan.     

Aku tidak tahu apakah bersamanya akan terulang lagi? Atau aku dan Zen harus berada di ruangan yang sama tanpa kesengajaan?     

Kutatap kasurku yang berantakan dan aku merapikannya. Kubuang semua hal yang berbau akan Zen. Baik itu tisu mau pun kusemprotkan pewangi ruangan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Lalu setelah itu aku mandi.     

Saat aku selesai mandi dan hanya mengenakan handuk, aku terkejut karena ternyata Raja ada di kamarku. Entah kenapa ia bisa masuk, aku rasa, aku lupa mengunci kost ketika aku habis membersihkan kamarku.     

Kuambil pakaianku dan mengenakannya di kamar mandi. Aku tidak ingin ada seks lagi bersamanya.     

"Untuk apa kamu mengganti pakaian di sana? Kayak aku nggak pernah lihat kamu telanjang aja," timpalnya dengan mulutnya yang tak sopan itu.     

Aku mengabaikannya hingga aku terlihat rapi dan meraih tas kecilku untuk keluar membeli makan. Raja mengikutiku sampai aku menutup pintu kostku.     

"Ayolah, Dai… mau sampai kapan kamu marah sama aku?" tanyanya.     

Aku berbalik dan menatapnya dengan pandangan datarku. "Aku udah bilang kan, jangan ajak aku bicara. Sebaiknya kamu pergi!" usirku padanya.     

"Dai… aku minta maaf tentang hal itu. Aku tahu mulutku memabg kurang ajar, tapi aku menyesal dan aku minta maaf."     

"Pergi!" sekali lagi aku usir dirinya dengan suara kecil. Aku tidak mau tetangga kostku melihat kami dan menjadikan pertengkaran ini enak dipandang mereka.     

Raja tidak bersuara lagi sampai akhirnya ia benar-benar pergi melewatiku. Aku berbalik dan memastikan ia benar-benar pergi dengan mobilnya sejauh mungkin. Aku kembali masuk ke dalam kostku dan merasa sangat tidak berselera untuk makan.     

Kucemil saja makanan kecil yang selalu tersedia di kostku. Padahal sebenarnya aku ingin makan nasi, tapi aku sangat malas untuk sekadar turun. Tadi Raja sudah membuat seleraku hilang, dan sekarang rasa malasku membuatnya menjadi tambah tidak selera.     

Pintu kostku terketuk dan aku menyuruh siapa pun yang bertamu, buka saja pintunya. Ternyata Winda yang datang dan ia masuk. Kulihat ia membawa sekantung kresek yang dari aromanya kucium adalah makanan.     

"Hai! Tadi aku lihat kamu nggak jadi keluar, jadi ini aku pesan makan double, deh," katanya dan duduk di lantai.     

Aku beranjak dan menatapnya sepersekian detik. Winda sepertinya benar-benar berharap aku bisa menjadi teman dekatnya. "Makan bersama, yuk?" ajaknya.     

"Aku merepotkanmu dong, Winda?" tanyaku.     

Winda mengibaskan tangannya di depan wajahnya. "Kalau berbagi bukan merepotkan namanya, tapi ya karena ingin berbagi. Yuk!"     

***     

Ada hal-hal di mana aku merasa bersalah terhadap Jeremy. Seperti saat ini di tengah aku sedang menyendiri. Sepulang kerja, aku merasa benar-benar sendiri dan kesepian. Lalu momen itu adalah saat di mana berhasil merusak pikiranku dengan sebuah penyesalan. Penyesalan yang akhir-akhir ini aku lakukan. Tentu saja itu adalah hal negatif.     

Jeremy… dengan tulus dan kesabarannya, ia mau menunggu jawaban dariku. Sementara aku, masih dengan pikiranku yang sudah teracun dengan hal-hal kotor yang membuatku merasakan nikmat walau hanya bersifat duniawi.     

Pagi hingga malam terakhir aku bekerja, aku ditemani oleh orang yang memberikan efek padaku. Baik dan buruk dan aku tidak merasakan kesepian ini. Tapi ketika aku seperti saat ini, aku merasakannya jauh lebih dalam, jauh lebih menyakitkan.     

Aku tahu jika suatu saat nanti Jeremy mengetahui bahwa aku masih berhubungan dengan mantan suamiku, ia sudah pasti akan selalu memaafkan dan akan memberikan padaku waktu lagi. Seharusnya aku tidak sepantas itu untuknya.     

Aku juga sudah menolaknya secara halus. Tapi ternyata pikiran tentang aku membutuhkannya, tidak bisa enyah begitu saja. Jeremy… jika setiap hari aku bersamanya, tentu ia akan memberikan dampak kebaikan padaku. Sayangnya kami memang tidak bisa bertemu serutin itu. Ia dengan kesibukannya, dan begitu pun aku.     

Aku… aku sendiri terkadang bingung dengan jalan pikiranku. Padahal pelajaran kehidupan cinta selalu aku dapatkan di sekitar, tapi terkadang aku begitu buruk dalam melakukan segala hal. Ini semua memang bermula sejak aku mengenal Zen dan isi-isinya.     

Tapi aku tahu ini adalah hal yang memang seharusnya terjadi padaku. Aku tahu nantinya ada fase-fase atau tahap-tahap di mana aku akan bersikap sepositif Jeremy. Nyatanya, saat ini aku hanya bisa bersikap positif ketika orang-orang positif di sekitarku.     

Ketuka pintu kostku membuatku langsung menatap ke arah pintu. Tidak tahu siapa yang malam-malam berkunjung, tapi ia berhasil membuatku lupa akan kesepianku.     

"Dai… ini Winda," suara Winda membuat aku merasa lega. Aku pun membukanya dan ia masih dengan pakaiannya yang seksi itu. Tampilannya benar-benar berantakan dan beruntungnya ia tidak mabuk.     

Winda langsung terduduk di lantai. Kesedihan jelas sekali terlihat di matanya. Saat tadi makan bersamanya di pagi hari, wajahnya terlihat ceria. Dan sekarang, aku baru pertama melihat wajahnya seperti itu.     

"Kamu mau minum?" tanyaku menawarkan.     

"Ya. Yang dingin, ya? Aku butuh sesuatu buat mendinginkan otakku." Sepertinya Winda ada masalah dan ia benar-benar sedih untuk itu.     

Kutaruh air mineral di depannya dan Winda langsung meneguknya sampai habis. "Terima kasih," katanya.     

"Ada apa, Win? Kamu kelihatan…"     

"Berbeda?" tanyanya menyambungkan. Winda lalu tertawa dan melepaskan ikatan rambutnya dengan kesal. Beberapa kali ia mengembuskan nafasnya sebelum siap menjelaskan.     

"Seorang cowok dalam sehari kenapa bisa bikin kita berantakan, ya?" tanyanya. Aku diam tak merespons. Maksudku adalah agar ia bercerita hingga selesai.     

"Aku ketemu laki-laki yang aku suka di bar. Sebenarnya dia udah sering ke bar itu, tapi sepertinya dia belum pernah melihatku bekerja di sana," jelasnya perlahan.     

"Dan baru kali ini aku melihatnya datang bersama cewek lain. Mereka berciuman dan aku… aku yang bukan siapa-siapanya bisa merasakan sakit. Heran, kan?"     

"Lalu, apalagi?" tanyaku.     

"Aku dengan sengaja melaluinya dan menumpahkan wine di baju cewek itu. Dan cowok yang aku suka, marah padaku. Bahkan mengatakan hal buruk padaku. Di situ aku baru sadar… bahwa yang keliatan tampan, belum tentu hatinya tampan," jelasnya membuat hatiku terenyuh.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.