BOSSY BOSS

Chapter 81 - Dia Menyelamatkanku



Chapter 81 - Dia Menyelamatkanku

0Aku menceritakan semua pada Jeremy. Tidak ada yang kututupi atau kutambahi. Jeremy mendengarkanku tanpa memutuskan obrolan dan aku senang melihatnya seperti itu. Yang paling aku senangi adalah ia tidak kelihatan cemburu atau marah. Ia benar-benar pengertian terhadap apa yang aku alami.     

"Aku mau bilang sesuatu sama kamu. Mungkin ini kedengarannya aneh, tapi saat aku perhatikan, ada yang aneh sama Raja," kata Jeremy merespons.     

"Apa itu, Jer?"     

Jeremy diam dan ia menatapku kemudian fokus lagi pada kemudinya. Aku melihatnya menghela nafas seolah yang ingin ia katakan itu adalah sesuatu kesalahan. Tapi aku akan tetap mendengarkannya. "Apa kamu nggak merasa dia… menyukaimu, Dai?"     

Aku terdiam dan meresapi ucapannya. Raja menyukaimu? Tidak mungkin. Lagi pula itu tidak akan terjadi sampai kapan pun.     

Kugelengkan kepalaku karena tidak bisa mencerna dengan kepala sehat. "Nggak mungkin, Jer. Dia udah punya pacar, dan lagi orang tua kami menikah. Kenapa juga dia harus menyukaiku?"     

"Perasaan nggak ada yang tahu, Dai. Mungkin karena kamu dan dia terlalu dekat? Atau mungkin karena… kalian pernah melakukan seks bersama?" timpal Jeremy.     

Tidak ada yang salah dari apa yang dikatakan Jeremy. Semua bisa jadi benar. Apalagi tentang perasaan, kita tidak bisa menyuruh seseorang untuk tidak memiliki perasaan pada kita. Tapi rasanya aku masih belum bisa terima jika Raja memang memiliki perasaan padaku.     

"Sebaiknya aku benar-benar menjauh darinya. Dari pertengkaran ini pun aku bilang sama dia jangan ajak aku bicara lagi. Tapi kalau pun darurat, aku terpaksa," kataku memberitahu.     

"Lakukan yang menurutmu benar, Dai. Yang barusan menurutku sudah benar, tapi kamu nggak bisa begitu terus kan, di hadapan keluarga kalian?" Jeremy kembali mengacak-acak rambutku untuk mendukung keputusanku dan menasihatiku juga.     

Dia benar, aku tidak bisa terus menerus seperti ini di depan Ibu atau Om Thomas. Mungkin di depan Raka, bukan masalah. Tapi aku juga tidak ingin nantinya mereka bertanya kenapa aku dan Raja seperti menjaga jarak. Atau lebih tepatnya kenapa aku menjaga jarak dari Raja.     

"Iya, aku tahu. Sementara biar begini dulu. Oh ya, besok mau antar aku ke hotel? Aku masuk siang dan aku nggak ingin Raja atau pun Raka nanti yang mengantarku," kataku.     

"Dengan senang hati, Cantik," jawabnya dan aku tersenyum malu.     

Jeremy berhenti tepat di depan rumah Om Thomas, termasuk rumahku juga. Ia tidak mampir karena hari memang sudah malam. Jadi aku langsung masuk sementara Jeremy menungguku sampai aku benar-benar masuk ke dalam rumah.     

Saat aku berbalik, aku melihat Raka di ruang tamu membaca buku. Aku langsung menghampirinya dan menaruh kantung MCD di depannya. "Untukmu," kataku padanya.     

Matanya langsung teralihkan dan ia melihat isiannya. Kulihat bukunya ia taruh di sisi kantung MCD dan ternyata Raka pembaca sebuah novel.     

"Tumben? Dalam rangka apa?" tanyanya menatapku.     

"Teringat aja. Yah, hitung-hitung aku membelikan saudaraku oleh-oleh walaupun cuma MCD. kamu suka, kan?" tanyaku.     

"Terima kasih, Daisy. Lain kali sebaiknya begini," katanya tertawa.     

Raka langsung memakannya di depanku dan aku mengamatinya untuk beberapa saat sampai aku melihat Raja baru saja masuk ke rumah. Tangannya dimasukkan ke kantungnya dan menatapku juga menatap Raka. Ia mendekat dan alisnya terangkat satu.     

"Gue mau dong, boleh?" tanyanya tiba-tiba. Raka langsung menatapku meminta jawaban. Aku langsung berdiri dan meninggalkan mereka berdua ke kamar.     

***     

Belum pukul lima aku sudah terbangun. Aku langsung keluar kamar sudah lengkap dengan pakaian olahragaku. Aku harus berolahraga. Semalam aku sama sekali sulit tidur. Bisikan Raja di depan pintu kamar cukup mengganggu. Ia berulang kali meminta maaf lalu meminta izin untuk masuk ke dalam. Kalau sampai ia masuk ke dalam kamarku, aku yakin sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi, dan aku tidak mau.     

Ketika memastikan yang lain belum terbangun, aku langsung keluar rumah dan mulai berlari seperti biasa. Keadaan masih gelap namun udara cukup dingin. Aku melihat beberapa tetangga komplek perumahan juga berlari dan aku sedikit mengikuti ke arah mana mereka berlari, sebab rata-rata semuanya menuju arah yang sama.     

Rupanya arah yang dituju adalah taman komplek. Di sini sudah banyak sekali orang-orang dengan berbagai macam. Bahkan ada juga makanan dan minuman yang sudah buka. Mungkin si penjual tahu jam berapa taman akan ramai. Untungnya aku bawa uang, jadi ketika nanti aku ingin sarapan, aku tinggal beli saja.     

Kuputari lapangan taman dengan headset terpasang di telinga. Perlahan-lahan aku berlari karena nafasku mulai tidak bisa diajak kompromi. Dan akhirnya aku memilih berdiri dan bersandar pada batu besar. Kuluruskan kakiku dan mengatur nafasku senormal mungkin.     

"Air?" suara yang kukenal dan tak kusangka akan di sini membuatku terkejut.     

Kutatap tangannya yang menawari air botol mineral dan melihat senyumnya yang bijak itu.     

Raka.     

Padahal tadi aku sudah memastikan bahwa orang rumah masih tidur, tapi ternyata aku salah. Raka ada di sini. Bahkan ia sudah kelihatan basah dengan keringatnya itu. Entah sejak kapan, tapi yang jelas aku tahu bahwa ia lebih dulu ke sini.     

Kuraih air itu dan berterima kasih padanya. Kuteguk hingga habis dan tak tersisa. "Ups, maaf aku menghabiskannya. Omong-omong, sejak kapan kamu di sini?" tanyaku.     

"Sejak sebelum kamu ke sini pastinya," jawabnya yang sudah kuduga dari tadi. Raka ikut bersandar di sisiku.     

"Berapa putaran?" tanyanya tanpa menolehku.     

"Dua, kalau aku nggak salah hitung."     

"Dan kamu udah kayak orang asma? Ck! Apa pernafasanmu bermasalah?" tanyanya.     

Aku mengedikkan bahuku. Aku tidak tahu apakah pernafasanku bermasalah, aku pikirnya mungkin karena aku jarang berolahraga. "Mungkin karena aku jarang olahraga," jawabku sekenanya.     

"Apa selalu begitu?" tanyanya lagi.     

"Apanya yang selalu begitu?" tanyaku tak mengerti.     

"Setiap kamu olahraga dan kamu merasa lelah juga seperti asma?" jelasnya sedikit ragu.     

Pembicaraan ini entah kenapa jadi membicarakan masalah kesehatanku. Tentu saja aku langsung menghindar dan mengalihkan dengan topik yang lain. Bukan karena apa, aku hanya merasa risi jika harus membicarakan kesehatanku yang aku sendiri tidak tahu.     

"Sejak kapan kamu sering ke sini?" tanyaku padanya.     

Raka tampak diam sejenak. Ia kemudian mengeluarkan Fitbar dan memberikannya padaku satu. Kuterima dan mengatakan terima kasih.     

"Sejak dulu. Aku selalu bangun pagi dan olahraga di sini, Daisy," katanya menjawab.     

Kuanggukkan kepalaku mengerti dan kubuka Fitbar darinya yang aku sendiri kesulitan membukanya. Raka langsung meraih Fitbarku dan membukakannya untukku. Aku sedikit malu karena membuka satu bungkus Fitbar sekecil itu saja kesusahan.     

"Dasar," cemohnya. Aku tertawa meringis dan memakan satu gigitan.     

"Apa kamu selalu bawa makanan kecil begini?" tanyaku penasaran.     

"Iya. Buat jaga-jaga."     

"Jaga-jaga apa? Kenapa aku curiganya agar kamu bisa memberikan pada cewek lain, ya? Misalnya posisi cewek itu kayak aku sekarang?" ejekku menggodanya.     

***     

Tidak banyak yang aku dapatkan di rumah baru. Aku berhasil menghindari Raja dan yah, Jeremy benar-benar menepati janjinya untuk mengantarku bekerja.     

Saat aku dan Jeremy diam di mobil, aku teringat akan pagi tadi saat bersama Raka di taman. Ia ternyata benar-benar membawa Fitbar dan air mineral demi agar bisa bertemu wanita. Katanya, ia sedikit berharap agar bisa setidaknya melakukan pendekatan dengan beberapa wanita setelah Reina. Nyatanya Raka tidak bisa.     

Lebih tepatnya Raka belum pernah bertemu wanita seperti aku tadi pagi. Matanya tentu melihat banyak wanita di taman. Tapi tidak ada yang menarik baginya. Raka juga mengatakan dengan jujur bahwa Reina masih menarik di matanya walau ia juga membencinya.     

Saat aku sampai hotel, aku langsung melakukan tugasku tanpa ada kegiatan yang istimewa hingga jam kerja selesai. Di malam seperti ini aku memilih pulang sendiri. Jadi aku tidak membebani Jeremy untuk menjemputku walau pun ia khawatir, tapi aku sedikit bohong padanya bahwa aku pulang dengan temanku.     

Jalan kaki saja sudah bisa langsung sampai kostku, jadi memang jaraknya sangat dekat. Tiba-tiba ada kumpulan laki-laki yang kupastikan adalah preman, berada di dekatku. Aku pikir di daerah sini aman dan tidak ada hal seperti ini. Tapi ternyata tidak, atau malah mereka memang sedang berkeliaran di sini.     

"Cantik, mau diantar?" salah satunya menawari tumpangan dengan nada yang benar-benar membuatku takut. Sebisa mungkin aku terlihat biasa dan tetap berjalan melewati mereka. Namun satu tanganku dicekal hingga aku bersentuhan dengan preman itu dan kami saling berpandangan.     

Tubuhku terkunci dan aku baru merasa kepanikan menyergapku. Kuusahakan sebisaku untuk terlepas darinya dan tidak bisa. Salah satu preman itu mencoba untuk menciumku namun aku berusaha meronta sebisaku.     

"Lepas!" seruku kesal.     

"Kamu teriak juga nggak ada yang mendengar, Cantik," katanya dengan suara mengerikan.     

Preman itu mengunci kedua tanganku. Sekarang hanya tinggal sisa dua kakiku yang bisa kumanfaatkan untuk menendangnya. Dan aku benar-benar menendangnya hingga aku lolos kabur. Tapi sayangnya kekuatan mereka berlari ternyata cukup cepat.     

Nafasku tersengal-sengal dan berbagai macam pikiran masuk ke dalam otakku. Aku tidak ingin mati atau diperkosa ditangan mereka. Tapi aku tidak tahu lagi harus berbuat apa karena ini sudah malam sekali dan tidak ada siapa pun di sini.     

"Lepasin dia!" tiba-tiba suara yang kukenal datang entah dari mana. Ia masih berpakaian selayaknya dirinya. Zen. Mantan suamiku ada di sini.     

Semua preman teralihkan padanya dan aku sedikit mundur karena merasa diriku bergetar hebat. Aku sudah tidak ingat apa yang Zen lakukan pada mereka hingga aku tidak melihat preman-preman itu. Yang aku lihat dan aku rasakan Zen sedang menopang diriku yang sedang merasa lemas. Aku menatap matanya yang menyiratkan kerinduan. Ia sedikit memelukku karena aku terhuyung-huyung.     

"Daisy, kamu baik-baik aja?" tanyanya.     

"Aku… aku… takut," jawabku padanya. Mendadak aku teringat terakhir kali aku diculik oleh Alvon.     

"Aku di sini, oke? Aku di sini. Ayo, aku antar kamu."     

Zen mencoba membawaku berjalan namun aku benar-benar lemas tak berdaya. Aku hampir terjatuh dan aku bisa merasakan Zen sedikit kewalahan.     

"Wow, oke… kamu yakin bisa berjalan?" tanyanya. Aku mengangguk namun ternyata aku salah. Aku selalu akan jatuh hingga akhirnya Zen membopongku. "Aku rasa nggak. Oke, tenanglah, Daisy," katanya lebih kepada dirinya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.