BOSSY BOSS

Chapter 80 - New Ring On Me



Chapter 80 - New Ring On Me

0Aku tidak tahu kenapa aku bisa semarah ini dengan Raja. Mungkin juga karena betapa beraninya Raja mengungkit perihal kami melakukan seks itu. Caranya berbicara benar-benar membuatku terluka dan aku bersumpah tidak akan berbicara padanya jika bukan dia yang memulainya.     
0

Dalam satu hari ini Raja benar-benar memperlihatkan sikap tak sukanya pada orang yang tidak menyukai Reina. Raka benar, Raja benar-benar diluar kendali ketika sedang marah.     

Sekarang aku berada di pusat mal menunggu munculnya Ama. Rencanaku ingin beristirahat hari ini gagal. Tadinya aku ingin beradaptasi dengan rumah baru, batal begitu saja. Beruntung lagi Raka tidak melihat pertengkaran itu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi nantinya jika Raka sampai melihat dan marah terhadap Raja.     

Ama muncul dengan kekasih barunya. Namanya Gilang. Ia hanya mengantar Ama dan mereka berpisahan setelah Ama mencium tangannya. Aku yang melihatnya jadi sedikit canggung sampai Gilang pergi dari hadapan kami.     

Aku dan Ama pun berkeliling mal. Sebenarnya aku tidak punya tujuan juga ke mal mau membeli apa. Ide ini hanya muncul begitu saja saat aku diliputi rasa kecewaku pada Raja. Ama sendiri selalu memiliki tujuan ketika ke tempat-tempat seperti ini. Jadi, aku tidak terkejut dan selalu mengikutinya dari toko ke toko. Kesannya seperti dia yang butuh, tapi aku tidak masalah selama hal ini bisa mengalihkan pikiranku.     

Sepanjang kami berkeliling, ponselku tidak berhenti bergetar dari panggilan tak terjawab dari Raja. Aku langsung memblokir nomornya karena ia cukup menggangguku. Sebaiknya aku memang jauh-jauh darinya. Beruntungnya aku hanya sekali melakukan seks dengannya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika kami sudah terlalu jauh hingga menimbulkan masalah. Baru sekali melakukan saja, Raka sudah berani mengatakannya seperti itu.     

"Mukamu kusut, kenapa lagi?" tanya Ama saat kami memilih untuk duduk sebentar di bangku panjang mal.     

"Bosen aja, Ma. Aku mau pulang ke rumah karena mau istirahat, eh tapi di rumah malah saudara tiriku lagi bertengkar."     

"Si kembar yang kamu ceritain?"     

Aku mengangguk. "Makan, yuk? Aku pengen lontong sayur, nih," kataku padanya. Ama dan aku selalu bersemangat jika tentang makanan. Tidak peduli masalahnya apa, kami selalu merasa baikan ketika menemukan makanan untuk dinikmati.     

Food court mal terasa ramai tidak seperti biasanya. Tapi keramaian ini bukan masalah buatku karena aku masih bisa mengatasinya. Yang membuat aku merasa cemas dan panik adalah ketika keramaian itu berada di sekitarku. Sementara jarak keramaian ini benar-benar besar jadi bukan masalah.     

"Dai, kamu masih sering ketemuan sama Zen, nggak? Misalnya secara nggak sengaja, begitu?" tiba-tiba Ama bertanya.     

"Jarang tapi ada beberapa waktu aku ketemu dengannya. Tentunya secara nggak sengaja. Kenapa?"     

Ama memberikan gestur kepalanya ke belakangku dan aku mengikutinya. Aku melihat Zen bersama Rosi sedang makan juga. Kuhela nafasku karena ternyata rasanya benar-benar kecil sekali bumi ini. Di kost kadang aku melihatnya, lalu di sini dengan wanita itu. Aku pikir mereka berpisah atau semacamnya. Tapi jika dilihat-lihat rasanya Rosi tidak tahu tentang apa yang Zen lakukan di belakangnya.     

"Biarin aja," kataku pada Ama sebagai respons.     

"Perasaanmu gimana sih, kalau ketemu dia?" tanya Ama ingin tahu.     

"Nggak karuan, Ma. Gimana ya, namanya mantan, apalagi mantan suami, aneh gitu."     

"Ada semacam perasaan cemburu nggak kalau lihat begitu? Aku kan, belum pernah punya mantan, jadi sekalian pengen tahu, Dai."     

Cemburu… aku tidak tahu apa itu cemburu atau tidak ketika aku melihatnya bersama wanita lain. Seperti saat ini dan seperti saat bersama Winda. Hal-hal yang teringat kebanyakan hanyalah rasa sakit dan luka.     

"Nggak. Nggak ada perasaan itu lagi setelah aku yakin bercerai darinya, Ama," akhirnya aku menjawab seperti itu pada Ama. Aku tidak ingin membuat Ama kepikiran dengan kata "rasa cemburu" setelah putus dari kekasih, misalnya. Setidaknya aku tidak mau membuatnya merasa beban nantinya.     

"Sedikitpun, Dai? Aku pikir masih ada rasa itu dan kamu ingin kembali, aku berpikirnya begitu."     

"Jangan sesekali meminta kembali setelah kamu sendiri yang mengambil keputusan, Ama. Apalagi saat kamu tahu kesalahan hanya ada di dia dan nggak ada pikiran untuk berubah. Zen kan, seperti itu," jelasku.     

Ama mengangguk mengerti dan matanya kembali menatap ke arah Zen dan Rosi. Aku memilih tidak melihat ke belakang. Sekalipun nantinya jika harus bertemu, maka aku tidak boleh menghindar.     

Ponselku bergetar menampilkan notifikasi pesan Raka. Dahiku berkerut karena ia bertanya mengapa aku tidak menjawab-jawab panggilan Raja. Sial! Begini rasanya berada di posisi setengah takut. Aku takut Raja membongkar bahwa kami pernah bercinta. Walau sekali, tapi efeknya pasti menyakitkan juga bagi keluarga, terutama bagi Raka.     

Aku memilih mematikan ponselku dan tidak menjawab. Tidak sekarang, tidak di saat aku ingin menikmati waktu liburku.     

Sampai rumah aku melihat ada mobil Jeremy. Aku terkejut karena aku tidak tahu ia akan ke rumah. Walau kemarin aku mengatakan akan ada di rumah. Tapi bisa jadi Jeremy menghubungiku sementara ponselku kumatikan sejak Raka mengirimku pesan.     

Kulihat Jeremy duduk di teras bersama Raka. Kelihatannya semua baik-baik saja. Aku juga tidak melihat mobil Raja di halaman, artinya ia sedang pergi dan aku bisa bernafas lega.     

"Dai, ponselmu nggak aktif?" tanya Jeremy langsung berdiri.     

"Iya, maaf, aku matikan ponsel karena tadi lagi sama Ama. Ada apa kamu ke sini, Jer?" tanyaku.     

"Aku masuk dulu," ujar Raka meninggalkan kami. Kali ini aku duduk di tempat Raka tadi dan Jeremy kembali ke tempatnya.     

"Aku cuma mau lihat kamu," kata Jeremy dengan senyuman. Rasanya hangat sekali saat melihatnya sepert ini. Aku pun tersenyum dan menyuruhnya masuk saja agar lebih enak dari pada di luar kedinginan.     

"Sebenarnya, apa nggak apa-apa kamu keluar lagi sama aku?" tanyanya saat kami berdiri akan masuk ke dalam.     

Sebenarnya hari belum malam juga. Dan aku bisa merasakan Jeremy membutuhkan ruang privasi untuk kami. Aku pun tidak mempermasalahkannya dan mengiyakan ajakannya.     

"Apa kamu udah makan?" tanyanya saat kami di mobil.     

"Belum. Aku tadi hanya makan lontong sayur dengan Ama. Apa kamu udah makan?"     

"Ya, udah, kita ke MCD, bagaimana?" tawarnya.     

"Iya, aku ayo saja."     

Cara Jeremy menggenggam tanganku seperti benar-benar menunjukkan bahwa aku adalah miliknya dan tak seorang pun yang boleh mencoba mengambilku darinya. Aku menyukai caranya walau kami belum memiliki status yang jelas. Jeremy juga sepertinya tidak memerdulikan masalah status.     

Kami duduk berhadapan sebelum memulai makan. Jeremy menatapku lekat. Tatapan itu adalah tatapan yang melelehkanku. Belum pernah ada yang menatapku sedemikian dalam. Kemudian tangannya meraih tanganku dan tiba-tiba ia memasukkan sebuah cincin di jari manisku.     

Aku menoleh ke segala arah untuk memastikan adakah yang melihat kamu atau tidak. Aku terkejut dan menatapnya dengan pandangan "apa ini?"     

"Aku ingin selalu memberikan hal-hal yang bikin kamu ingat aku terus, Dai," katanya menjelaskan.     

"Apa kalung ini belum cukup?" tanyaku seraya menyentuh kalung darinya yang menggantung dileherku.     

Jeremy menggelengkan kepalanya. "Nggak akan cukup sampai kamu benar-benar menjadi milikku. Ini belum seberapa."     

Aku menutup bibirku dengan pandangan terkejut. Kutatap cincin yang tersemat di jari manisku dan betapa indahnya cincin itu.     

"Jer, ini berlebihan," kataku.     

"Aku tahu. Tapi siapa yang peduli? Aku suka melihat kamu memakai barang pemberianku," ujarnya berkeras.     

Manis. Sangat manis. Jeremy adalah laki-laki idaman siapapun. Sayangnya aku belum bisa begitu serius padanya. Mengingat masa lalu terkadang membuatku teringat kembali akan kesakitan-kesakitan yang tak mau kuulangi.     

"Apa… apa kamu mau hubungan ini seserius yang kamu inginkan?" tanyaku perlahan.     

"Nggak… jangan salah sangka, Daisy. Aku nggak mau memaksa kamu. Aku hanya suka ada sesuatu dariku di milikmu. Menjaga kamu dari hal-hal negatif. Itu yang aku mau."     

Jeremy tampak merasa bersalah ketika aku bertanya itu. Tapi ia mencoba menjelaskan keinginannya padaku sehingga aku tidak perlu memikirkannya begitu dalam.     

Lalu kami berakhir dengan makan pesanan kami yang sudah berada di depan mata dari tadi. "Wah, wah… kalian di sini juga, ya? Kenapa bisa selalu pas, ya?" suara Raja membuatku sedikit terkejut ketika ia muncul dari belakangku. Aku tidak menoleh ke arahnya tapi Jeremy menatapnya dan yang aku lihat Jeremy mencoba bersikap biasa.     

"Kami boleh gabung?" tanya Raja.     

"Ya, silakan," jawab Jeremy.     

Aku bisa merasakan Reina ada di sisiku dan Raja ada di sebelah Jeremy. Mendadak rasa laparku jadi hilang karena kedatangan mereka. Raja bahkan terlihat seperti tidak merasa bersalah atau apa pun yang terlihat di wajahnya. Ia hanya bersikap seperti biasanya.     

"Hai, Daisy," sapa Reina.     

Aku menolehnya dan memberikan senyum paksaku padanya. Lalu tangan Jeremy menggenggamku dan aku melihat Raja menoleh ke arah tanganku.     

"Oh ya, Jer… tadi Raka udah makan belum, ya? Seharusnya tadi kita ajak aja dia," kataku membuka pembicaraan. Raja dan Reina diam. Kalau saja Raka ada di sini, tidak mungkin Raja dengan sengaja mau bergabung. Terlebih ada Reina di sisinya.     

Jeremy yang tadinya tidak mengerti maksudku ia pun akhirnya paham. "Mungkin belum. Apa sebaiknya kita bawakan buat dia?" tanyanya.     

"Iya, biar aku yang pesan. Aku sekalian cuci tangan, aku udah nggak lapar soalnya," kataku dan lekas berdiri. Kutatap Reina dengan pandangan tidak sukaku begitu pun Raja. Kubiarkan keduanya makan dengan perasaan tidak enak sebagaimana mereka mengacau makan malamku bersama Jeremy.     

Beberapa menit kemudian aku muncul dengan membawa kantung pesanan untuk Raka. Sebenarnya ini hanya alibi, tapi aku tetap akan memberikannya nantinya. Aku duduk lalu merapikan nampan MCD untuk kubawa ke bagian pembuangan tapi Jeremy memilih untuk membersihkannya, jadi aku hanya diam dan menunggu sampai kami benar-benar selesai mengaturnya sebersih mungkin.     

"Udah?" tanyaku pada Jeremy.     

"Iya. Kita pulang sekarang?"     

"Iya. Yuk!" Aku dan Jeremy berdiri. Jeremy memilih dengan sopan berpamitan pada Raja dan Reina, sementara aku tidak dan kami pun keluar dari MCD dengan Jeremy menggenggam tanganku.     

Saat di mobil Jeremy pun menatapku. "Tadi itu apa, Dai? Apa kamu dan Raja sedang ada masalah?"     

Aku tidak bisa membohonginya. Mungkin kalau Jeremy tidak bertanya atau kami bertemu seperti tadi, aku tidak akan menceritakannya. Tapi aku harus menceritakannya padanya sekarang. Seperti janji yang sudah terucap.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.