BOSSY BOSS

Chapter 79 - Bertengkar Dengan Raja



Chapter 79 - Bertengkar Dengan Raja

0"Oke. Kalau itu udah menjadi keinginanmu. Aku hanya ingin menyarankan yang terbaik," balas Raka.     

"Makasih, tapi aku udah sama keputusanku, Raka."     

Aku tahu semua orang menginginkan yang terbaik buatku. Tapi aku juga tahu bahwa menurut mereka baik, belum tentu nantinya aku akan merasa begitu. Aku, entah kenapa, walau menyukai Jeremy, aku masih ingin sendiri. Benar kata Winda, sendiri itu menyenangkan. Apalagi aku ingin meraih sesuatu yang belum kuraih.     

"Raka, Ibu nggak tahu kan, tentang aku yang semalam sakit?" tanyaku padanya.     

"Nggak. Jeremy benar-benar tahu apa yang kamu mau, dia cuma percayain ke aku dan minta tolong nggak bilang ke Ibumu," jelasnya.     

Aku bisa bernafas lega kalau begitu. Berkat pengertian Jeremy, aku masih aman. Tapi ia juga membuatku merasa berpikir terus. Aku takut lebih menyakitinya dengan statusnya dan aku yang tidak jelas ini.     

Raka dan aku turun dari mobil saat kami sampai rumahnya, rumah Om Thomas, Papanya yang juga menjadi Papaku. Kuhela nafasku karena malam ini adalah malam pertamaku menginap di rumah ini bersama mereka.     

Senyuman merekah terlihat jelas pada bibir mereka saat melihatku. Aku bersalaman dan mencium tangan mereka sebagai tanda menghormati. Mataku memandang ke beberapa arah untuk mencari keberadaan Raja. Aku sama sekali tidak melihatnya di sini.     

"Nikmati seperti di rumah sendiri ya, Daisy. Om harus ke kantor dulu," ujar Om Thomas padaku.     

"Iya, Om," jawabku sekenanya. Walau Ibu menyuruhku memanggilnya Ayah atau Papa, tapi aku belum bisa, aku belum terbiasa. Om Thomas juga tidak masalah dengan hal itu, jadi setelah itu tidak ada yang memaksaku untuk memanggilnya apa.     

Aku berkeliling ke segala tempat hingga berhenti di sebuah kolam renang yang luas. Aku tidak berpikir bahwa ada kolam renang di rumah ini. Karena aku memang butuh ketenangan, jadi kutaruh dua kakiku di dalam air dan aku duduk di tepinya.     

Pemandangan kolam rupanya sejuk dan asri. Tanaman-tanaman hijau yang membuat keadaan terlihat asri dan adem. Aku jadi teringat momen di mana aku berciuman bersama Jeremy di kolam renang. Membuatku tersenyum dan jadi salah tingkah.     

"Woi!" tiba-tiba teriakan Raja membuatku terkejut.     

Kulihat ia seperti baru bangun tidur dan hanya bertelanjang dada dengan boxer yang menutupi bagian bawahnya. Kulitnya tampak cokelat dan bersinar dengan sinar matahari yang memantulnya.     

"Duh, ngagetin aja!" kesalku.     

"Lagian senyum-senyum sendiri. Senyumin apa?" tanyanya ikut nimbrung di sisiku dan ia mulai menyalakan sebatang rokok.     

"Jeremy. Kamu baru bangun?"     

"Jadi hubunganmu sama Jeremy gimana?" tanyanya.     

Aku tidak ingin membahas hal ini pada siapapun setelah Raka bertanya. Jadi, aku mengalihkan pembicaraan. "Kamu mau berenang?" tanyaku. Melihatnya hanya berpakaian seperti itu sebenarnya sudah kuduga ia akan berenang.     

Raja mengisap rokoknya lalu memandangku dengan lekat. Mungkin ia sadar bahwa aku mengalihkan pembicaraan. "Iya, tapi satu batang rokok dulu," jawabnya. Bagus, Raja paham yang aku mau.     

"Omong-omong, aku belum sarapan. Bisa bawain makanan ke sini? Sekalian buat kamu biar bisa sambil nyemil," ujarnya meminta tolong.     

Jika aku sibuk maka akan sangat bagus bagiku, jadi aku mengangguk dan tidak bertanya-tanya apa pun. Aku ingin mengeksplor rumah ini seorang diri sehingga nantinya aku akan mulai terbiasa dan tahu beberapa letak barang.     

Aku melihat meja makan yang sudah tertutup tudung saji. Kubuka dan aku melihat ada lauk pauk di sana. Ini sudah pasti masakan Ibu. Jadi kuambil nasi putih dengan ayam rica-rica kemangi beserta sayur sup. Aku juga menemukan apel di lemari es yang langsung saja aku potong menjadi beberapa bagian. Lalu terakhir aku menuangkan jus jeruk di gelas.     

"Eh, mau ke mana?" tanya Raka yang melihatku dan berhenti di hadapanku ketika aku akan membawa nampan untuk Raja.     

"Ini makanan buat Raja," jawabku.     

Raka langsung meraih nampan itu dan ia membawa nampan itu menuju kolam dengan cepat. Aku pun mengekorinya karena rasanya Raka marah padanya.     

"Jangan nyuruh-nyuruh. Lo punya kaki sama tangan, kan?" Raka langsung meletakkannya di sisi Raja dan sudah kuduga ia akan marah padanya. Raja langsung berdiri dan mematikan rokoknya. Ia tidak membalas ucapan Raka dan malah menatapku kemudian meninggalkan kolam begitu saja.     

Apa aku jadi bersalah di sini? Tatapan Raja seolah aku memang bersalah hingga ia meninggalkan kolam dengan makanannya.     

"Raka, aku nggak apa-apa. Dia tadi minta tolong dan aku sukarela mau, kok," jelasku padanya.     

"Jangan pernah melakukan hal yang diperintahnya. Dia harus mengambilnya sendiri dengan kaki tangannya," timpal Raka lalu duduk di kursi sandaran kolam. Aku mengikutinya dan duduk di sisinya.     

"Tapi tadi kayaknya Raja jadi salahin aku, deh," ujarku.     

"Nggak. Dia dari semalam emang lagi bertengkar sama aku. Jadi yah, aku yang minta maaf karena Raja kalau udah emosi, dia bakal lampiasin ke siapapun."     

Aku mengangguk paham. Ternyata mereka sedang bertengkar dan aku tidak tahu akan itu. Raja juga tidak mengatakan apa pun, apalagi Raka, tadi ia saat menjemputku tidak mengatakan apa pun. Atau mungkin karena aku tidak bertanya.     

"Ada masalah apa?" tanyaku kemudian.     

"Sebenarnya masih masa lalu, tapi entah kenapa setiap aku melihatnya, emosiku yang nggak bisa terkontrol," jawabnya.     

Dia yang dimaksud sepertinya adalah Reina. "Reina?" tanyaku untuk memastikan. Raka mengangguk dan menatapku sekejap lalu menghela nafasnya.     

"Saat malam habis pernikahan orang tua kita, aku cukup bisa mengontrol emosiku untuk diam. Tapi kemarin, aku dan Reina juga Raja nggak sengaja bertemu. Reina dan Raja sedang berciuman di depan pintu ketika aku akan keluar. Dari situ mulutku langsung berkata hal yang nggak baik pada Reina hingga membuat Raja marah dan kami pun bertengkar," jelasnya.     

Nada cemburu itu terdengar jelas. Tidak munafik bahwa Raka masih memiliki segelintir perasaan untuk Reina. Tapi sebagian dirinya merasa benci pada wanita itu. Dan tentu saja aku menyalahkan Raja dan Reina yang berciuman di depan rumah apalagi seharusnya Reina tahu bahwa masih ada Raka di sekitar rumah ini.     

"Maaf, aku jadi membuatmu harus menceritakan kejadian itu," kataku.     

"Nggak perlu minta maaf, Daisy. Aku menjelaskannya supaya kamu nggak menyalahkan dirimu. Sekaligus aku memberitahu bahwa Raja memang begitu kalau masih tersulut emosi. Jadi, jangan mau melakukan perintahnya, oke?"     

Aku hanya mengangguk supaya Raka lebih tenang. Aku tidak mungkin terus menerus menolak sesuatu yang bisa saja bukan karena emosinya, atau bisa jadi Raja benar-benar minta tolong.     

Raka berpamit diri untuk berlalu dan aku masih diam di kolam. Kuamati nampan yang berisi makanan yang sudha kupersiapkan, rasanya mubazir jika tidak disentuh sama sekali. Aku pun akhirnya memutuskan untuk memakannya seorang diri.     

"Eits! Enak aja! Ini kan, kamu ambil buat aku!" tiba-tiba Raja muncul lagi dan meraih sendok yang akan masuk ke dalam mulutku. Aku berdecak dan membiarkannya memakannya. Sepertinya Raja baru saja bersembunyi atau bisa jadi menguping pembicaraan kami.     

"Dasar! Kamu sembunyi, ya?" tanyaku. Raja langsung lahap memakan makanannya. Dan ia mengangguk untuk jawaban dari pertanyaanku.     

"Raka kalau marah ganas, jadi aku lebih baik sembunyi," katanya.     

Aku bingung dengan dua saudara kembar ini. Raka bilang Raja kalau marah maka semua orang akan kena juga, lalu sekarang Raja bilang sendiri Raka kalau marah ganas. Mana yang harus aku percaya? Aku sendiri belum pernah melihat mereka berdua marah dengan sehebat, jadi aku belum bisa mempercayai siapapun.     

"Makanya kalau ciuman itu jangan saat ada Raka di sekeliling, dong! Nggak tahu diri banget!" ejekku padanya.     

"Itu dasarnya karena Raka cemburu."     

"Dih, ya kamu dan Reina yang harus tahu diri. Ingat dong, dulu Raka siapanya Reina. Kamu ini malah nyalahin saudaramu."     

"Iya, iya, bawel. Aku sama Reina emang lupa diri untuk itu. Saking enaknya berciuman jadi, yah, nggak lihat tempat," katanya masih seolah membela diri.     

Tiba-tiba rasa tidak sukaku pada Reina muncul begitu saja. Di sini aku benar-benar merasa kasihan pada Raka. Bagaimana pun luka itu tetap akan melekat, apalagi mengetahui mantannya bersama adiknya.     

"Jangan bilang kamu jadi nggak suka juga sama Reina," tiba-tiba Raja berkata demikian.     

"Oh, kelihatan, ya?"     

Raja langsung menyudahi makannya dan menatapku dengan serius. "Kamu bahkan nggak tahu Reina, Daisy. Untuk apa kamu langsung nggak menyukainya?"     

Jadi begini, aku dan Raja akan bertengkar tentang Reina. Aku pun langsung berdiri dan menghadapnya. "Bagiku, wanita yang udah mengkhianati laki-lakinya adalah sebuah kesalahan, Raja. Aku nggak mempermasalahkan jika Reina hanya menyukaimu, tapi sampai bermain fisik? Itu bukan hal yang pantas!" jelasku.     

"Lalu apa bedanya kamu? Kita bahkan melakukan seks!"     

Aku langsung membelalakkan mataku karena tak percaya Raja mengatakan hal itu padaku. Langsung saja aku menamparnya sekeras mungkin dan meninggalkannya ke kamar.     

Nafasku memburu dan tersengal-sengal. Rasanya sangat menyakitkan ketika dia bilang itu padaku. Seolah aku memang rendah sekali ketika ia menyebutkan bagian itu. Air mataku terjatuh dan aku mengusapnya secepat mungkin. Aku tidak boleh menangis. Tidak boleh! Raja bukan siapa-siapaku. Dia hanya laki-laki brengsek dan aku tidak akan berbicara lagi padanya.     

Aku keluar kamar untuk pergi keluar bersama Ama. Tapi saat itu juga Raja ada di depan kamarku dengan ekspresi menyesalnya. Aku melaluinya dan menganggapnya seolah tak ada, namun tanganku dicekalnya.     

"Maafkan aku, Daisy. Aku terlalu emosi," katanya. Kutepis tangannya dan meninggalkannya benar-benar.     

"Daisy, aku bilang aku minta maaf. Itu semua keluar sendiri dari mulutku. Aku, aku nggak mau bertengkar dengan saudaraku. Aku mohon." Lagi-lagi Raja mencekalku. Tapi kali ini aku menepisnya lebih keras.     

"Please, Daisy! Ayolah, jangan marah padaku," pintanya kini menghentikanku di depan. Aku hanya diam sejenak, menunggu sampai taksi onlineku tiba. Sengaja aku tidak berkata apa pun. Raja pantas merasa bersalah atas hal yang telah dilakukan. Bukan hanya padaku, tapi pada Raka juga, saudaranya. Ia bahkan bisa-bisanya mengkhianati persaudaraan mereka hanya karena wanita.     

Aku sudah melihat taksi onlineku tiba dan Raja juga melihatnya. "Daisy, please…" pintanya.     

"Jangan bicara lagi padaku," kataku padanya dan aku benar-benar meninggalkannya masuk ke dalam taksi onlineku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.