BOSSY BOSS

Chapter 78 - Still Want To Be Alone



Chapter 78 - Still Want To Be Alone

0Daisy langsung memejamkan matanya dan mulai mencoba tidur. Namun sayangnya tubuhnya tidak mau beristirahat padahal ia merasa butuh tidur. Akhirnya Daisy mencoba tetap terbaring dan memakan camilannya.     

Beberapa jam kemudian Daisy berdiri setelah terbaring. Tiba-tiba ia terhuyung dan terjatuh. Matanya terasa kabur Daisy merasakan ada sesuatu yang keluar dari hidungnya. Ia menyentuhnya dan terkejut melihat hidungnya mimisan. Diambilnya tisu dan diusapnya darah itu namun tetap saja darah itu masih mengalir. Akhirnya Daisy memilih membaringkan tubuhnya lagi agar darahnya berhenti keluar.     

Daisy tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya tapi ia memang merasa lemas seketika di hari itu juga. Ia pun mulai terlelap hingga sore menjelang malam tiba.     

Ketukan pintu kamar kost Daisy membuatnya terbangun. Matanya mengerjap dan ia terkejut bahwa ternyata sudah pukul enam sore. Daisy membuka pintu kamar kostnya dengan lemas ia melihat Jeremy di depannya.     

Wajah Jeremy terlihat serius. Kemudian matanya beralih pada tisu dengan darah yang ada di mana-mana. Daisy baru sadar dan ia langsung meraih tisu itu dengan cepat.     

Namun terlambat, Jeremy menghentikannya yang mana Daisy hampir saja jatuh saat akan memungut tisu-tisu itu.     

"Duduk," perintah Jeremy. Daisy menurut walau ia merasa tidak enak karena membuat Jeremy kelihatan khawatir.     

Jeremy pun meraih tisu-tisu itu dan menjadikannya satu di dalam plastik hitam. Ia juga membuat coklat panas untuk Daisy.     

"Kamu sakit dan kamu nggak bilang aku?" tanya Jeremy setelah ia mencoba duduk di hadapan Daisy.     

"Kamu… tahu dari mana aku sakit, Jer?"     

"Aku ke hotel. Niatku mau antar makan sore, tapi kata temanmu kamu izin sakit. Aku langsung ke sini."     

Daisy merasa bersalah ketika melihat pandangan Jeremy yang sedih. "Maaf, aku pikir aku tadinya butuh istirahat. Jadi aku benar-benar seperti isolasi diri."     

"Hpmu juga nggak aktif."     

"Aku mematikannya, Jer. Aku benar-benar nggak menghubungi siapapun agar aku bisa istirahat tanpa gangguan."     

Jeremy diam lalu ia menyentuh kening Daisy. Tubuhnya hangat, tapi cukup membuatnya khawatir saat melihat darah yang ada di tisu-tisu itu.     

"Ayo, kita ke dokter," ajak Jeremy.     

"Nggak usah, Jer. Sekarang aku merasa udah baikan. Besok juga aku off, jadi aku bisa istirahat lebih."     

Jeremy menghela nafas dan menyentuh tangan Daisy. "Lain kali, kalau seperti ini, apapun, hubungi aku langsung, Dai. Jangan yang lain, oke?"     

Ada nada yang begitu menuntut agar Jeremy menjadi sosok yang paling dibutuhkan. Padahal niat Daisy tidak ingin membuat siapapun kerepotan.     

"Iya, maaf aku nggak akan mengulanginya."     

Kini Jeremy mulai tersenyum. Ia pun memperhatikan penampilan Daisy yang sedikit terlihat kusut. "Apa kamu udah mandi?"     

Daisy kembali sadar bahwa ia belum mandi atau berganti pakaian. Ia pun berdiri dengan perlahan dan langsung izin mandi sementara Jeremy menunggunya.     

Selesai mandi Daisy merasa jauh lebih baik. Walau wajah pucatnya masih kelihatan, tapi ia berhasil menutupinya dengan lipstik miliknya.     

Daisy terkejut melihat Jeremy sudah menyiapkan makanan di lantai. Ia pun duduk dan menatapnya. "Kapan kamu beli?"     

"Barusan. Aku keluar sebentar tadi saat kamu mandi. Ternyata mandimu cukup lama juga, ya."     

"Duh, Jer… kamu nggak perlu serepot ini. Tuh kan, aku benar-benar membuatmu repot, kan?"     

"Sudah, ayo makan dulu."     

Mereka makan dalam keheningan. Setelah terisi nasi, Daisy merasa jauh lebih baik lagi. Apalagi yang dibeli Jeremy termasuk empat sehat lima sempurna.     

"Hmm, kalau aku minta kita keluar buat cari angin, apa kamu mau?" tanya Daisy.     

"Kamu yakin kamu udah merasa enakan?"     

"Iya, udah, Jer."     

"Ya, sudah. Habis ini kita keluar buat nuruti keinginanmu. Piring kotornya biar aku yang merapikan. Kamu cukup duduk tenang aja, oke?"     

***     

Hari ini aku benar-benar membuatnya khawatir. Jeremy bahkan memperlakukanku seperti ratu atau bosnya. Aku sendiri merasa tidak enak sebenarnya, tapi beginilah aku sekarang. Entah kenapa aku merasa lelah, kemudian mimisan dan terhuyung begitu saja. Aku menghindari ke dokter karena aku tidak ingin nantinya akan ada diagnosis penyakit yang tidak kuinginkan.     

Sekarang, Jeremy menemaniku. Entah sampai kapan, tapi aku senang mengetahui bahwa yang ada di sisiku adalah dirinya. Bersamanya dunia rasanya bersifat positif.     

"Dai," tiba-tiba Jeremy memanggilku. Kami memutuskan untuk duduk dan menikmati camilan malam hari di pinggir jalan. Wedang ronde.     

"Ya?"     

"Ada yang ingin kukatakan sama kamu," katanya kemudian.     

"Apa, Jer?"     

"Enam bulan dimulai dari bulan depan, aku di mutasi ke Thailand," katanya menginfokan.     

Aku langsung menatapnya dengan ekspresi terkejut. Enam bulan terdengar pendek, tapi rasanya sedikit sulit bagiku jika tidak bertemu dengannya.     

"Hanya enam bulan, Dai. Setelah itu aku kembali ke Indonesia," katanya sekali lagi. Ia menyadarkanku dan aku merasa tenggorokanku seperti tercekat.     

"Aku pulang sebulan sekali. Sudah pasti kita bertemu," katanya lagi.     

Aku merasa sedikit lega. Kupikir aku sama sekali tidak akan bertemu dengannya. Tapi bayangan tidak bisa bertemu dengannya setiap saat seperti ini membuatku kepikiran lagi.     

"Kalau begitu, berhati-hatilah, Jer," ucapku yang seharusnya aku tidak mengucapkan kalimat itu.     

"Tenang aja. Aku akan selalu menunggumu untuk jadi sebagian dalam hidupku."     

Kupu-kupu yang berterbangan di perutku membuatku malu sekaligus merasa senang. Jadi, aku hanya menimpalinya dengan senyuman.     

"Hei, kalian!" Sapaan seorang yang kukenal membuatku membelalakkan mataku terkejut. Raja! Tiba-tiba Raja muncul bersama Reina di sisinya.     

Aku menatap Jeremy yang wajahnya sedikit menegang. Aku tahu, mungkin Jeremy memikirkan saat di mana aku pernah melakukan hubungan seks bersama Raja. Dan sejak itu aku belum bertemu Raja lagi dan mengatakannya bahwa Jeremy sudah tahu.     

"Raja, kalian ada di sini?" Balas Jeremy dengan tenang.     

"Yah, ini Reina pengen wedang ronde. Kebetulan lihat kalian di sini, apa kita bisa gabung?"     

"Tentu. Silakan gabung," jawab Jeremy.     

Di hadapanku ada Raja dan Reina. Aku bisa merasakan darahku berdesir mengingat hubungan seks itu. Tidak munafik aku jadi menginginkannya di saat seperti ini. Padahal aku berniat pada diriku untuk menjadi sosok yang baik bagi Jeremy dan aku ke depannya.     

"Jangan kaku, Dai. Bersikaplah biasa. Aku nggak apa," suara bisikan Jeremy membuatku terkejut. Tapi aku akhirnya mencoba bersikap santai. Dia benar, tidak seharusnya aku bersikap sekaku ini.     

Kami pun mulai berbicara dan tertawa bersama sampai aku merasa aku harus kembali pulang. Jeremy menggandeng tanganku yang mana baru kali ini ia menggandengnya. Kupikir ia mulai merasa cemburu dengan kehadiran Raja sehingga ia ingin aku diklaimnya sebagai miliknya.     

Berkali-kali aku mulai menguap karena merasa begitu mengantuk.     

"Nanti habis ini langsung tidur, ya," ucap Jeremy.     

"Hmm, iya. Aku ngantuk banget," kataku kemudian.     

"Maaf tadi aku menggandeng tanganmu," katanya.     

Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, aku paham kok, Jer."     

Jeremy, seperti kebiasaannya, ia mengacak-acak rambutku.     

Kami sampai di kost dan Jeremy mengantarku masuk. Aku dan Jeremy bersamaan melihat Winda bersama Zen. Aku sebenarnya sudah tidak kaget lagi, tapi rasanya aneh melihat mereka.     

Apalagi ketika Winda menciumnya ganas ketika mereka akan naik ke atas. Perasaan sedikit jijik itu menyergap.     

"Ayo, kamu nggak perlu lihat itu," ajak Jeremy yang mulai merangkulku untuk ke arah lorong kamarku berada.     

Kuhembuskan nafasku saat kami akan berpisah. "Makasih, ya. Kamu baik banget," timpalku.     

"Kamu nggak apa-apa kan, soal tadi? Zen dan Winda?"     

"Iya, aku udah terbiasa, Jer," kataku. Dan aku benar-benar terbiasa dengan mereka. Walau aneh, tapi bukan lagi urusanku.     

"Ya, sudah. Masuklah," perintahnya.     

Aku tersenyum menatapnya dan mundur perlahan untuk menutup pintu kamarku. Namun tiba-tiba tangan Jeremy menghentikannya. Aku langsung menatapnya dan ia dengan cepat meraih kedua rahangku dan menciumku.     

Ciuman lembut itu adalah hal yang pernah kumiliki. Aku tidak ingin melepasnya, tapi aku tahu aku harus belajar mengontrol diri.     

"Selamat malam, Daisy," katanya dikecupan terakhir.     

"Malam, Jer." Lalu aku menutup pintu kamarku dan merasakan kesenangan setelah itu.     

Kumanfaatkan liburku untuk bangun lebih siang. Namun walau begitu, aku tak benar-benar bisa bangun siang. Siangku adalah pukul enam pagi. Jadi, percuma saja yang namanya istirahat, sudah pasti hanya rencana.     

Udara pagi cukup menyenangkan. Aku merapikan barang-barangku dan bersiap menuju rumah Om Thomas. Hari ini Raka-lah yang akan menjemputku.     

Rupanya Raka tidak berniat naik ke atas. Ia mengirimiku pesan dan mengatakan bahwa ia sudah di bawah. Jadi, aku harus ke bawah langsung untuk menemuinya.     

Melihat Raka di depan dengan kacamata hitamnya membuatku terpukau. Pikiranku bertanya bagaimana bisa laki-laki setampannya tidak memiliki satu wanita pun yang ditaksirnya.     

"Selamat pagi!" Sapanya dan memelukku.     

"Pagi. Ayo!" Ajakku.     

"Kita sarapan dulu, oke? Aku terima laporan mengenaimu dari Jeremy," katanya memberitahu.     

Kuangkat kedua alisku dan memutar bola mataku kesal. "Aku baik-baik saja. Tapi kalau soal makanan, ayo saja!"     

"Jadi, bagaimana Jeremy? Apa dia baik?" tanyanya.     

Raka selalu memastikan hal itu padaku. Ia benar-benar seperti seorang kakak yang peduli dengan adiknya.     

"Dia baik."     

"Lalu?"     

Aku tertawa. "Lalu apa maksudmu, Raka?"     

"Apa kalian udah berpacaran?" Tanyanya memperjelas.     

"Belum. Aku belum siap dan belum mau."     

Raka mengerang. "Sayang sekali. Seharusnya kamu mau saja. Bagaimana kalau dia diambil orang?"     

"Artinya dia bukan jodohku," timpalku simpel.     

Raka menggelengkan kepalanya. Aku memang sedikit khawatir mengenai itu. Bagaimana jika Jeremy bersama Wanita lain saking terlalu lamanya aku memberikan jawaban? Ia akan menyerah dan memiliki wanita lain selain aku.     

"Hayo, pasti kepikiran!" Raka membuyarkanku. Kupukul saja lengannya kesal dan menahan senyumku.     

"Jangan sampai menyesal. Kita nggak boleh mempermainkan apalagi menggantungkan perasaan seseorang, Dai."     

Bijak. Sangat bijak. Raka sendiri terlihat tidak lagi menjadi kaku sejak sering berbicara banyak padaku.     

"Jadi menurutmu aku harus mencobanya?" Tanyaku.     

"Bukan mencobanya. Kalau mencobanya artinya kamu main-main, Daisy. Terima saja dirinya sesuai bagaimana perasaanmu padanya. Aku yakin kamu memiliki perasaan yang sama dengan Jeremy, kan?"     

Aku tidak langsung menjawabnya. Aku takut ditengah jalan aku menyesal bahwa aku masih mau menyendiri.     

"Aku… masih mau menyendiri, Raka. Dan dia paham," jawabku akhirnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.