BOSSY BOSS

Chapter 77 - His Positivity



Chapter 77 - His Positivity

1Bersama Jeremy membawa dampak baik bagi Daisy. Ia merasa senang saat-saat di mana ia menghabiskan waktu bersamanya. Jeremy bahkan menghargai perasaannya yang masih belum siap untuk berpacaran.     

Setelah mereka berenang, Jeremy mengajaknya makan di pinggir jalan. Tentu saja Daisy senang karena akhirnya ada laki-laki yang mau makan di pinggir jalan bersamanya selain Zen.     

Bukan berarti Raja dan Raka tidak mau, hanya saja mereka belum menawari Daisy dan Daisy juga segan jika memulai sesuatu yang mana bukan ia yang mengajak duluan.     

Mereka memutuskan makan nasi goreng kambing dengan selera pedas. Ditemani es teh walau malam sudah datang.     

"Senang?" tanya Jeremy padanya.     

"Harusnya aku yang tanya kamu, senang atau nggak?"     

"Aku udah pasti senang, Daisy. Next time pas kamu off mungkin lebih menyenangkan lagi."     

Daisy mengangguk. Ia besok masuk siang dan Daisy kepikiran menawari Jeremy untuk menginap di kostnya.     

"Ada apa?" tanya Jeremy saat melihat air muka Daisy yang kelihatan bimbang.     

"Apa besok kamu senggang?"     

"Aku jam sepuluh ke rumah sakit. Kenapa?"     

"Besok aku masuk siang. Apa … apa kamu menginap?"     

Sejenak Jeremy terdiam. Ia mempertimbangkan ajakan Daisy dan memikirkan efek dari segalanya. Ia menghela nafas dan menatap Daisy dengan pandangan lembutnya.     

"Maaf, Daisy. Aku nggak bisa kalau untuk menginap. Kamu tahu kan, dua orang berlawanan jenis berada dalam satu ruangan itu akan terjadi apa? Tadi di kolam renang saja kita lupa tempat," jelasnya.     

Daisy mengerti. Alasan itu sebenarnya benar-benar baik dan bagus. Tapi entah kenapa di hati Daisy ia merasakan luka akibat ditolak secara halus.     

Jeremy mengacak-acak rambut Daisy dan menyentuh tangannya. "Nanti ada saatnya, oke? Aku ingin kita terkontrol. Kamu pun juga harus bisa. Aku nggak ingin kalau rasa cinta ini berubah jadi rasa yang hanya menginginkan seks."     

Kali ini lebih paham dan mengangguk. Rasa sakitnya berkurang. Jeremy benar, ia juga harus bisa mengontrol hasratnya. Sekalipun itu bersama Jeremy atau Raja.     

"Oke. Nggak masalah. Hmm, lusa aku libur dan aku mau rumah Om Thomas. Jadi kalau kamu mau berkunjung, ke sana aja, ya?" Kata Daisy memberitahu.     

Setelah beberapa jam menghabiskan waktu yang cukup bersama Jeremy. Kini akhirnya mereka akan berpisah. Jeremy kembali ke rumahnya sementara itu Daisy masuk dan menutup pintu kamar kostnya.     

Ia melepaskan pakaiannya dan menaruh baju renang kotor di tempat seharusnya. Melihat baju renang itu, ia teringat kembali momen-momen di kolam renang. Tiba-tiba Daisy tersenyum mengingatnya.     

Pagi-pagi Daisy terbangun dan ia berniat untuk lari pagi. Setelah siap ia pun keluar kost dan menguncinya. Daisy melihat Winda juga keluar dari kamarnya. Mereka bertatapan dalam pandangan beberapa detik.     

"Hei, mau lari pagi?" tanya Winda akhirnya.     

"Hmm, ya. Kamu juga?"     

"Mau bareng?" tawar Winda. Karena Daisy juga belum pernah bersama Winda dalam jangka lama, ia pun mengiyakan tawaran itu dan mereka pergi berlari bersama.     

Ada rasa canggung dalam diri Daisy karena dalam waktu yang cukup lama, mereka hanya diam saja. Hanya nafas yang tersengal-sengal yang menjadi teman saat mereka berlari.     

"Ini pertama kali kamu lari ya, Daisy?" tanya Winda tiba-tiba.     

"Hmm, ya. Apa kamu sering lari?"     

"Iya. Setiap hari. Sebenarnya aku sering lihat kamar kamu terbuka di jam segini, tapi aku malu mau mengajak kamu lari bersama," jelasnya.     

Mengetahui Winda ternyata cukup rajin berolahraga membuatnya malu.     

"Oh, pantas tubuhmu bagus, ya," nilai Daisy.     

Winda tertawa kecil. "Nggak juga sih, Daisy. Kalau masalah tubuh sebenarnya ini karena gen dari keluarga. Kadang aku minder punya tubuh begini."     

Daisy berkelit dengan pikirannya. Jika Winda minder, lalu apa artinya ketika ia sendiri melakukan seks bersama mantan suaminya itu.     

"Tapi dengan tubuh ini juga aku bisa dapatin uang," tambahnya.     

"Hah?" Daisy terkejut.     

"Hmm, maksudku, pekerjaan di bar. Tubuh yang proporsional akan lebih menjadi nilai bonus. Begitulah," jelas Winda dengan kerlingan matanya.     

Hampir saja Daisy lupa kalau Winda bekerja di bar. Tentu saja di bar akan lebih mengutamakan penampilan. Apalagi jika si pekerja punya tubuh yang molek dan bisa memikat tamu.     

"Udah lama kerja di bar?" tanya Daisy. Kini mereka berhenti di taman untuk berisitirahat. Keduanya meregangkan kaki mereka di atas rumput yang kering.     

"Tiga tahun."     

"Bagaimana rasanya kerja di bar? Saat awal-awalmu?"     

"Kaget, sih. Aku belum terbiasa saat itu mengingat pekerjaan ini adalah pekerjaan pertamaku. Tapi berkat bimbingan, ternyata nggak sesusah dan semenakutkan yang aku pikir," jelas Winda.     

Daisy mengangguk mengerti. Ia ingin sekali membahas ke hal yang sensitif, tapi rasanya tidak sopan, jadi ia membiarkan pertanyaannya tersimpan saja.     

"Dan, ada bayaran lebih juga itu pun kalau aku mau," kata Winda tiba-tiba. Daisy mendengarkan dan memperlihatkan wajah ingin tahunya. "Sebenarnya bukan termasuk dari peraturan bar, tapi secara personal. Kayak tamu dan pekerja di bar. Hmm, misalnya aku ada tamu cowok, dia menawarkan bayaran yang cukup gede dengan syarat satu malam bersamanya, yah keputusanku mau terima atau menolak," tambahnya.     

"Dan selama ini apa jawabanmu?" tanya Daisy.     

Winda melirik Daisy sekilas dan tersenyum. "Tergantung dari aku. Kalau aku capek aku tolak, tapi kalau aku memang lagi butuh uang, aku terima."     

Daisy kembali berpikir tentang Zen yang bersama Winda. Artinya saat itu Winda sedang membutuhkan uang.     

"Kamu tahu laki-laki terakhir yang ke kostku? Hmm, yang kamu nggak sengaja ketemu di tangga kost? Namanya Zen. Nah, dia salah satu tamu langgananku. Biasanya kami di hotel, tapi aku suruh dia ke kost aja karena aku sedang mabuk," jelas Winda menceritakan tentang Zen.     

Tamu langganan Winda, pikir Daisy. Artinya Zen sudah sering bersama Winda saat bersamanya juga. Tapi herannya kenapa Winda tidak tahu perihal istri Zen atau masalah yang dulu sempat masuk berita? batinnya bertanya.     

"Tanpa perasaan? Hmm, maksudku kamu apa nggak ada perasaan apapun sama tamumu?" tanya Daisy lebih.     

"Sejauh ini nggak. Sebaiknya juga nggak, Daisy. Karena pasti mempengaruhi banget. Aku bukan wanita yang mudah diatur. Aku suka mendapatkan uang dan di samping itu, seks adalah yang kubutuhkan," jawabnya.     

Tenggorokan Daisy tercekat. Winda mengatakan semuanya seolah itu bukanlah aibnya. Tapi Daisy mengerti tentang betapa Winda begitu terbukanya pada suatu hal.     

"Walau tampan dan kaya sekalipun? Bagaimana jika mereka menyukaimu dan mau serius denganmu?" tanya Daisy lagi.     

1

"Aku sendiri belum kepikiran menuju hal yang serius. Masih banyak yang belum aku raih. Tahu nggak, sendiri itu enak." Winda mengedipkan satu matanya pada Daisy. Seolah memang seharusnya Daisy menikmati hidupnya, bukan lagi tentang mencari laki-laki mana yang membuat jantungnya berdetak.     

Daisy hanya diam mendengarkan Winda. Sesekali ia melihat arlojinya walaupun menuju siang untuk bekerja masih lama.     

"Omong-omong, kamu dekat ya, sama Jeremy?" tanya Winda dengan topik lain.     

"Hmm, yah begitulah. Ada apa?"     

Winda menggelengkan kepalanya. "Aku belum pernah lihat dia mendekati cewek sesering sekarang, ya ke kamu maksudku, aku aja ya, pernah mendekati dia dan menggodanya, tapi nggak berhasil sama sekali."     

Ditahannya bibirnya untuk tersenyum. Ternyata Winda tak seburuk yang dipikirkannya. Bahkan Winda lebih sering terbuka padanya ketimbang menyimpannya sendiri.     

"Oh, ya? Kamu pernah berniat memacarinya?" tanya Daisy.     

"Bukan, Daisy. Aku menggoda dan mendekati bukan berarti mau pacaran. Kamu tahulah, apa yang aku mau, he he he," jawabnya dengan cengiran kudanya.     

Seks. Winda menginginkan seks dengan orang terdekatnya. Tapi Daisy bersyukur karena setidaknya Winda tidak berhasil mendapatkan yang ia mau.     

"Kayaknya sih, Jeremy itu kuno," timpalnya kemudian.     

"Menurutku nggak. Mungkin karena Jeremy nggak mau ambil resiko apapun?" Balas Daisy tak mau kalah. Mengingat semalam ia mencoba mengajaknya menginap, tapi Jeremy menolak secara halus dan dengan alasan yang masuk akal.     

"Yah… benar juga, sih. Tapi jarang banget loh, ada cowok yang nolak kenikmatan."     

Daisy menggeleng-gelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan apa yang dipikirkan Winda. Seks memang sesuatu yang nikmat, apalagi Daisy sudah merasakannya dan ia sedikit sulit mengontrolnya.     

Winda pergi sebentar untuk membeli minuman untuknya dan Daisy. Sementara Daisy memperhatikan lekuk tubuh Winda. Ia juga jadi memikirkan sesuatu, kenapa laki-laki seperti Jeremy menolaknya. Padahal kalau dari fisik, Winda memiliki nilai lebih darinya. Bahkan Daisy bisa melihat beberapa pasang mata memperhatikan Winda.     

"Eh, mau sarapan nggak?" tanya Winda yang kembali dengan air mineral di tangannya.     

"Sarapan apa?"     

"Ketoprak, yuk? Pengen banget ketoprak, nih!"     

Daisy mengangguk dan ia pun mensejajarkan langkahnya dengan Winda untuk menuju warung ketoprak.     

Sampai di warung ketoprak, Winda yang memesan untuk mereka berdua. Daisy lebih banyak diam karena sedikit kelelahan dengan rutinitasnya akhir-akhir ini.     

"Dai, kamu baik-baik aja?" tanya Winda di hadapannya.     

"Iya, Win. Ada apa?" Daisy bohong kalau ia baik-baik saja. Ia sebenarnya sedang lelah, tapi rasa lelahnya terasa berlebihan.     

"Muka kamu pucat. Nanti coba deh, nggak usah kerja. Istirahat aja," nasihat Winda.     

Daisy memang belum pernah beristirahat sejenak selama sehari. Pasti ada saja yang menjadi aktivitasnya. Kerja lalu keluar dan pulang di malam hari. Tapi Daisy belum bisa memutuskan apakah ia sebaiknya izin atau tetap masuk.     

"Aku baik-baik aja, Win. Cuma mungkin karena dari tadi kita belum balik kali, ya?"     

"Ya, udah. Kalau sakit, izin aja. Habis ini kita makan, semoga kamu nggak sakit dan nggak pucat seperti sekarang."     

Daisy mengangguk dengan senyumannya. Ketoprakpun datang dan mereka mulai menyantapnya secara perlahan.     

Setelah makan mereka langsung kembali ke kost dan memisah diri. Daisy langsung berbaring di kasurnya tanpa mengganti pakaiannya. Ia baru sadar ketika sampai di atas kasur, tubuhnya benar-benar merasa lelah. Akhirnya ia memutuskan untuk izin kepada teman kerjanya dan mematikan ponselnya setelah itu. Daisy juga langsung mengunci pintu kostnya agar tidak ada yang mengganggu. Ia tidak akan memberitahu siapa pun mengenai hari ini bahwa ia tidak masuk. Karena kalau sampai Raja, Raka atau Jeremy tahu, mereka pasti akan berkunjung. Sekalipun Jeremy yang kelihatannya tidak mungkin mengganggu orang yang mau beristirahat, Daisy tetap tidak akan memberitahunya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.