BOSSY BOSS

Chapter 75 - Cerita Jeremy



Chapter 75 - Cerita Jeremy

0"Apa rasanya begitu sakit?" tanyaku ketika ia memperlihatkan ekspresi kesalnya.     

"Aku rasa aku nggak perlu mengatakannya kan, apalagi kamu juga memiliki pengalaman yang kurang lebih sama," balasnya.     

Aku mengangguk membenarkan kalimatnya. "Tapi kamu dan Raja, baik-baik aja, kan?"     

Raka mengedikkan bahunya. "Kadang. Aku orang yang jarang memiliki komunikasi intens sejak saat itu, Daisy. Jadi yah, kamu bisa membayangkannya."     

Melihat Raka yang seperti ini, aku kembali berpikir, apakah Zen juga berubah? Tapi terakhir kulihat, ia bersama wanita lain dan bercinta di sana. Aku tidak melihat sisi perubahannya. Artinya, efek dari kepergianku bukan masalah besar untuknya.     

"Dai? Udah selesai?" Tiba-tiba Raka melambaikannya di depan wajahku yang baru saja melamun.     

"Eh, iya. Ada apa?" tanyaku.     

"Aku lupa mau beli sesuatu untuk di US, masih mau temani?"     

"Oke. Memangnya apa yang mau kamu beli?"     

"Gaun. Karena kamu cewek, tolong bantu pilihkan, ya."     

"Buat pacar kamu?" tanyaku.     

Raka berdecak dan menatapku saat kami di kasir untuk membayar tagihan makanan.     

"Teman wanita. Bukan pacar. Dia mau gaun dari Indonesia. Jadi pilihkan aja yang murah dan Indonesia banget. Karena kalau kita beli yang merek luar, dia pasti tahu itu merek dari negara apa," jelasnya.     

Aku diam dan tak menampiknya. Raka terlihat serius menjelaskan tentang niatnya membeli gaun. Jadi, aku tidak perlu bertanya terlalu jauh padanya.     

Kami berhenti di toko busana wanita yang benar-benar lokal rekomendasi Raka. Katanya ia tidak pernah ke sini, tapi ia tahu dan mencari tahu kebenaran dari mana pakaian-pakaian wanita ini terbuat.     

Aku yang wanita saja tidak pernah berpikiran seperti itu. Pikirku, selama gaun itu sesuai isi dompetku dan aku menyukainya, aku langsung mengambilnya.     

"Dia nggak terlalu tinggi, kulitnya sawo matang, rambutnya coklat dan matanya juga coklat. Hmm, tubuhnya, mirip kamu," katanya memberitahu sekaligus melihat-lihat bentuk tubuhku yang katanya sama dengan bentuk tubuh temannya.     

"Oke, aku akan bantu cari. Tapi sesuai seleraku, ya. Atau mungkin dia ada selera lain?"     

Raka menggeleng. "Dia sederhana. Selama pas ke tubuhnya, dia suka."     

Aku mulai mencari-cari sesuai info yang kudapatkan. Raka mengikutiku dan sesekali aku menatap ke cermin tentang apakah pakaian yang menjadi pilihanku cocok atau tidak.     

Setelah membeli lima pakaian, aku baru bisa bernafas lega. Masalahnya, pakaian itu bukan untukku. Perlu waktu yang cukup menguras tenaga untuk memastikan bahwa pakaian pilihanku oke.     

"Maaf ya, bikin kamu lelah," katanya dengan formal.     

"Ayo, kita cari stand minuman dan beli makanan malam untukmu di kost," katanya kemudian.     

Aku tidak menolak karena aku memang merasa haus. Jadi, apapun ajakan Raka selagi itu tentang minuman, aku menurut saja.     

"Kamu nggak suka minuman boba?" tanyanya.     

"Aku pusing kalau minuman boba gitu. Mungkin diganti yang rasa-rasa buah nggak masalah." Kutunjuk salah satu menu Mango Squash padanya dan ia mengangguk. Lalu kami mencari tempat untuk menikmati minuman kami. Raka juga membeli beberapa tusuk telur gulung kita makan saat dapat tempat yang cocok.     

"Aku udah lama nggak makan telur gulung," katanya mengambil salah satu dan menyantapnya.     

Aku memperhatikannya dalam sekejap. Ia memakan telur gulung seperti anak kecil yang bahagia menemukan apa yang diinginkannya.     

"Padahal kamu bisa aja buat sendiri kalau di US," kataku padanya. "Kalau kamu mau," tambahku.     

"Yah, tapi aku nggak bisa masak. Lebih baik beli dan nggak menyusahkan diri sendiri."     

"Cari pacar makanya, biar bisa masakin kamu," timpalku sekaligus mengejeknya.     

"Seriously, Daisy. Kalau aku punya cewek, aku nggak akan menyuruhnya masak kecuali dia yang pengen sendiri."     

"Loh, kenapa? Bukannya membantu penghematan juga?" tanyaku.     

Raka menggeleng dan menyeruput bobanya. "Kalau pun aku punya cewek atau istri, aku nggak akan menyusahkannya dengan hal-hal itu."     

Rasanya aku seperti mimpi mendengar kata-kata itu keluar dari mulut laki-laki. Kupikir begitulah tugas wanita, tapi melalui mulut Raka, semua berbeda.     

"Wow! Kamu suami idaman berarti," pujiku.     

"Biasa aja, Dai. Aku cuma nggak mau mempersulit seseorang karena aku juga nggak mau dipersulit. Ada asisten rumah tangga, ada mesin laundry, ada restoran, dan yang serba instan, kenapa nggak dimanfaatkan? Aku nggak apa-apa selama bisa membayar," jelasnya.     

Tentu saja semua memang kelihatan lebih mudah ketika duit bekerja untuk semuanya, pikirku tanpa mengatakan padanya.     

"Hmm, bagaimana Ibu dan Om Thomas?" tanyaku mencari topik lain. Aku belum terbiasa memanggil Om Thomas dengan sebutan Papa dan Ayah. Entah panggilan mana yang cocok, tapi rasanya kalau aku manggil 'Ayah', kedengarannya tidak cocok di telinga Raka atau Raja.     

"Mereka baik. Saling melengkapi. Buat aku semakin ingin kembali US," jawabnya.     

"Eh? Kenapa?"     

"Yah, melihat pasangan resmi dan mereka terlihat sempurna itu bikin iri, Dai. Apa kamu nggak merasa begitu juga?"     

Aku tidak tahu dan mungkin aku belum merasakan sifat seperti itu. Sejak dulu pun, aku tidak merasa iri atau cemburu pada pasangan lain. Tapi aku bisa cemburu jika Zen didekati wanita lain.     

Jadi, aku menggelengkan kepalaku dengan wajah bodohku sekarang. Raka tertawa dan mengacak-acak rambutku.     

"Serius? Aku pikir malah kamu yang maaf, udah berpengalaman menikah, jadi pikirku pasti ada rasa cemburu atau iri kalau lihat pasangan yang sempurna," katanya.     

"Aku cemburu kalau cowok yang aku suka dekat dengan wanita lain, Raka. Karena dulu aku merasakan itu saat bersama wanita lain," balasku.     

Raka mengangguk dan mengerti. Lalu ia melihat arlojinya dan memperhatikanku. "Kita pulang?"     

"Ayo, aku besok juga masuk pagi," kataku setuju.     

Raka mengantarku sampai kamar kost. Ini adalah pertama kalinya ia mengantarku dan tahu lokasi kostku. Sebab selama ini hanya Raja yang sering datang mengunjungi.     

Matanya meneliti ke segala arah seolah menilai bangunan ini. Bangunan yang kupikir mirip sekali seperti rumah susun.     

"Lumayan bagus," katanya menilai. Dua kembar bersaudara ini sepertinya punya selera yang sama dalam menilai bangunan.     

"Aku betah di sini," kataku.     

Ia mengangguk. "Aku tahu. Apa ini kost bebas?" tanyanya.     

"Ya."     

"Hati-hati kalau memasuki tamu. Biarkan pintu terbuka dan hp-mu harus selalu sama kamu, biar kalau kamu ada apa-apa, langsung hubungi orang terdekat. Oke?"     

Aku tersenyum dan mengangguk. "Oke, Bos. Sana pulang, udah malam," ujarku.     

"Good night, Daisy."     

"Night!"     

***     

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Aku merapikan yang harus dirapikan dan mencuci pakaian selagi aku menunggu waktuku untuk menuju hotel.     

Aku suka bebersih dan suka kerapian. Apalagi ketika pergi, aku harus memastikan semuanya rapi ketika aku harus meninggalkan.     

Biasanya pagi seperti ini Jeremy berkunjung untuk mengajak sarapan bersama. Dan benar, ketika aku sedang bersih-bersih, ia sudah di depan pintu mengamatiku.     

"Eh? Jeremy! Masuk aja," kataku kepadanya.     

"Pagi, Daisy," sapanya. Aku jadi malu karena tidak menyapanya lebih dulu.     

"Pagi. Masuklah, aku sudah hampir selesai."     

Waktu menunjukkan pukul lima pagi. Iya, kalian tidak salah baca. Waktu bangunku adalah sebelum jam empat pagi. Alarm dalam tubuhku sudah terbiasa bangun di jam segitu.     

Jeremy duduk di lantai dan ia mulai mengambil sendok dan piring seperti biasanya. Aku ikut bergabung bersamanya ketika semua sudah selesai.     

Bersama Jeremy membuat degupan jantungku berdetak lebih cepat. Ia berbeda. Tidak seperti Zen atau Raja. Tapi rasa yang kurasakan ini seperti aku mulai tahu bahwa aku mencintai Zen. Kalau bersama Raja, yah, hanya sebatas itu saja.     

"Aku suka cewek rajin sepertimu," katanya mulai berbicara.     

"Dan aku suka cowok yang rajin pagi-pagi ngajak sarapan bersama," balasku.     

"Jadi, apa kamu mau jadi pacarku?" tanyanya tiba-tiba.     

Aku syok. Mendengarnya bertanya seperti itu membuatku memikirkan kata-kata Raja. Tapi aku tidak bisa memulai hubungan saat ini. Apalagi kemarin aku melakukan seks bersamanya, aku tidak bisa mengkhianati Jeremy nantinya.     

"Rileks, Daisy. Kamu bisa jawab kapanpun. Anggaplah pertanyaan barusan semacam candaan di pagi hari," kata Jeremy tiba-tiba.     

"Oke. Jika aku udah siap aja, oke?"     

Jeremy mengangguk dan tersenyum. Aku sedikit canggung karena pertanyaan barusan. Tapi aku mencoba bersikap sebiasa mungkin.     

"Hari ini aku antar jemput, ya? Aku libur dan aku pengen jalan-jalan sama kamu saat kamu pulang kerja, itupun kalau kamu nggak keberatan," katanya menawari.     

"Bisa!" Mendadak nada suaraku meninggi dan menjawabnya cepat. Aku langsung mengatur intonasi suaraku serendah mungkin pada akhirnya, "maksudku, aku bisa dan, oke. Kita akan jalan-jalan," kataku memperbaiki.     

"Oke, Cantik," sergahnya. Aku merasa meleleh sekali dipanggil Jeremy seperti itu. Apa aku menyukainya? Kenyataan perasaan bertanya seperti inilah yang tidak kupahami. Aku selalu merasa dilema jika sudah mengenai perasaanku.     

"Apa kamu pernah pacaran, Jeremy?" tanyaku tiba-tiba.     

"Apa kamu mau tahu jawabanku?" tanyanya balik.     

Aku mengangguk. Setidaknya aku harus tahu latar belakang percintaannya. "Aku ingin sebuah kejujuran, Jeremy. Dan aku akan jujur satu hal sama kamu. Hal yang belum kamu ketahui," kataku.     

Entah kenapa aku ingin sekali mengatakan kejujuran padanya bahwa aku dan Raja melakukan hubungan seks sekali.     

Dahinya mengerut namun ia akhirnya menjelaskan. "Aku pernah satu kali pacaran. Udah lama sekali sebenarnya, hanya setahun. Kami jarak jauh dan dia sepertinya nggak bisa ditinggal oleh kesibukanku. Aku jarang memberinya kabar saking banyaknya tugas kuliah, kadang aku sama sekali nggak megang hp. Hingga akhirnya ia memilih putus dan yah, aku nggak melarangnya pergi."     

"Tapi apa kamu mencintainya?" tanyaku.     

"Aku mencintainya, Daisy. Bahkan sangat mencintainya," jawabnya.     

"Tapi kenapa kamu biarin dia memilih putus?" Aku lebih tertarik pada alasannya sebenarnya.     

Sejenak Jeremy diam. "Karena aku nggak mau menyakitinya dengan aku yang seperti dulu. Aku udah bilang padanya, bahwa saat dia meminta putus dan aku mengiyakan, itu adalah tingkat di mana aku sangat mencintainya dan nggak mau membuatnya lebih terluka," jelasnya.     

Aku tercengang dengan alasannya. Dua laki-laki ini, maksudku Raka dan Jeremy, benar-benar bijak dalam percintaannya. Aku jadi belajar banyak dari pengalaman yang mereka ceritakan.     

"Ba-bagaimana dia sekarang," tanyaku padanya.     

"Dia sukses. Menjadi penulis online dan memiliki hasil," jawabnya.     

"Kamu tahu kabarnya? Apa kalian masih berkomunikasi?"     

Jeremy mengangguk. "Hanya sesekali. Yah, kami masih saling menyimpan kontak guna komunikasi dan mencegah permusuhan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.