BOSSY BOSS

Chapter 73 - Perasaan Tidak Pernah Salah



Chapter 73 - Perasaan Tidak Pernah Salah

0Aku langsung cepat-cepat menuju kamarku dan menguncinya serapat mungkin. Wajah terkejutku masih belum hilang ketika aku memandang cermin.     

Zen ada di sini, dan hal itu benar-benar membuatku tak percaya bahwa ia masih memiliki sisi liar bersama wanita lain. Rasanya seperti aku masih dikhianati olehnya.     

Kupandang wajahku lekat-lekat dan meminum obat penenang atas resep dokter. Setelah aku merasa cukup tenang, kubersihkan wajahku dan pikiranku masih memikirkan Zen.     

Aku tidak tahu bagaimana hubungannya dengam Rosi. Tapi saat pertama kali aku mengenal Zen, ia memang dengan berani membawa wanita malam ke apartemen. Dan sekarang, ia yang menuju tempat tinggal Winda.     

Malamku tidak tenang karena pikiranku terus menuju ke Zen. Aku jadi berpikir apakah ia melihat sepeda motorku yang terparkir. Atau malah dia jadi curhat dengan Winda yang kebetulan Winda juga mengenalku lalu memberitahunya bahwa aku di sini?     

Akhirnya aku benar-benar tidak tidur. Gara-gara semalam, aku harus begadang memikirkan hal yang tidak jelas. Aku juga harus membuat kopi untuk mengusir kantuk dan membuat sarapan ala kadarnya.     

Aku keluar kamar untuk berangkat ke hotel. Kulirik sekilas kamar Winda masih tertutup. Entah dia masih tertidur, atau Zen sudah kembali? Tidak! Yang lebih jelas adalah melihat di bawah, apakah mobil Zen ada atau tidak.     

Setelah memastikan mobilnya tidak ada, aku langsung menuju hotel dengan tenang walau rasanya mengantuk. Pagi ini OTA atau Online Travel Agent sedang tidak terlalu ramai. Para tamu juga banyak masih stay dan hanya dua orang saja yang check in, jadi yah, aku punya waktu untuk sedikit rileks dengan kerjaanku.     

"Daisy, lo dapat kiriman bunga, tuh!" kata Fandi memberitahu. Lagaknya yang mirip dengan wanita itu menunjuk pada salah satu buket bunga yang tersimpan rapi di meja pojok.     

"Hah? Dari siapa?" tanyaku seraya meraihnya.     

"Tahu, deh. Buka aja, sana. Gue mau bikin kopi, lo mau?"     

Aku mengangguk sebagai jawaban karena aku masih fokus pada buket bunga itu. Yang aku ingat, orang yang pernah mengirim bunga adalah Jeremy. Dan sekarang aku cukup menduganya bahwa si pengirim adalah Jeremy juga.     

Tapi sayang, aku tidak menemukan nama Jeremy di sana. Maksudku, kiriman buket bunga ini adalah tanpa nama. Jadi, aku hanya menaruhnya di meja resepsionis yang bisa dilihat tamu, sehingga tidak akan terbuang percuma. Aku lebih menghargai orang yang berani menyertakan nama di dalam bunga itu.     

"Morning, bagaimana? Apakah OTA hari ini ramai?" sapa Gruda bertanya.     

"Hari ini slow, Pak. Check in nanti dua orang saja," jawabku formal.     

"Daisy, berapa kali saya bilang, panggil Gruda aja, oke? Fandi aja manggil saya nama, iya nggak, Fan?" ujar Gruda yang berkeras ingin aku memanggilnya dengan nama. Fandi pun mengiyakan karena memang ia benar-benar memanggjl nama Gruda.     

"Mungkin Mas aja kali, ya? Biar lebih sopan," kataku berusul.     

"Yah, asal jangan Bapak, ya. Saya nggak setua itu." Gruda tersenyum lalu ia masuk ke dalam ruangannya.     

"Dasar, kaku! Dibilang panggil nama aja, gimana sih?" Kali ini Fandi merasa kesal karena aku tidak pernah memanggil Gruda dengan nama.     

"Dia kan, Bos kita, Fan. Nggak sopan ah, kalau rasanya-"     

"Sssttt! Yang nyuruh manggil kan, dia. Udah, nurut aja," potong Fandi kesal.     

Jam kerjaku dan Fandi di shift pertama selesai. Sekarang tinggal giliran Arda dan Hilma. Aku pun berpamitan pada mereka untuk pulang. Lalu aku kembali sendiri di kostku. Saat aku menaiki tangga yang menuju lorong kostku, tepat saat itu langkah berhenti.     

Aku kini berhadapan dengan Zen dan Winda yang ada di sisinya. Tubuhku membatu melihat mereka sementara Winda menyapaku. "Hai, Daisy!" Untuk sepersekian detik aku tidak bisa membalas sapaannya.     

Kupikir Zen sudah tidak ada di sini, tapi ia ternyata di sini. Dan sekarang ia tahu di mana aku berada dan tinggal.     

"Ayo, Zen!" ajak Winda.     

"Bye, Daisy!" kata Winda padaku kemudian.     

Untuk keberapa kalinya, aku menjatuhkan air mataku setelah kepergiannya. Benar-benar terjatuh di saat ia sudah tidak ada di hadapanku. Langsung saja aku buru-buru menuju kamarku dan mengunci rapat-rapat. Baru sekarang, di bawah pintu dalam kamar, aku menangis. Entah kenapa aku masih saja menangisinya.     

Suara ketukan di pintu membuatku sadar. Ternyata setelah menangis aku tertidur di lantai dekat pintu kamar. Aku tersentak dan membukanya dengan tubuhku masih berusaha mengumpulkan nyawa. Ternyata Jeremy. Aku pun menyuruhnya masuk dan membiarkan pintu kamar terbuka.     

"Baru bangun?" tanyanya menatapku yang masih memakai riasan.     

"Hmm, ya. Ketiduran lebih tepatnya. Duduklah, Jer," jawabku seadanya dan menyuruhnya masuk. Aku langsung terbaring di atas kasur dan berusaha mengumpulkan nyawa yang masih belum terkumpul penuh.     

"Ambilah minum sendiri, ya. Anggap aja seperti di rumah sendiri, aku masih sedikit ngantuk dan mau ngumpulin nyawa," terangku padanya.     

Jeremy mengangguk dan ia membuka satu bungkus plastik yang kulirik adalah nasi bungkus. Bau-baunya sih, nasi Padang. Aku jadi langsung tidak mengantuk lagi kalau sudah mencium baunya.     

"Laper, ya?" tanya Jeremy melihatku yang bersemangat dengan tatapan lirikannya.     

Aku tersenyum padanya dan aku berdiri ingin mengambil piring dan sendok. Sayangnya Jeremy melarangku dan ia mengambil sendiri. Aku terkejut dengan caranya memperlakukanku.     

Jeremy bahkan menyiapkannya untukku dan kemudian kami makan bersama.     

"Kamu kenapa repot-repot gini sih, Jer? Aku kan biss masak," kataku padanya.     

"Habis ini aku mau ke rumah sakit, jadi ya aku sekalian mampir aja, deh. Aku tahu kamu belum makan."     

Aku mengangguk penuh dan kami makan sampai habis. Setelah habis, lagi-lagi Jeremy yang membersihkannya. Aku tentu saja tercengang.     

"Ada keperluan apa?" Tiba-tiba aku mendengar Jeremy sedang berbicara sesuatu di depan. Aku sendiri sedang mencuci sendok dan piring kotor. Lalu aku melihat dengan siapa Jeremy berbicara. "Siapa, Jer?" tanyaku dan aku berhenti ketika melihat Zen di hadapan Jeremy.     

Jeremy tidak mundur sekalipun dari tempatnya berada. Ia seperti ingin melindungiku dari Zen dan aku juga tidak masalah untuk itu.     

"Daisy kita perlu bicara," kata Zen kemudian.     

"Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi," balasku.     

"Daisy, apa kamu mau aku pergi dari sini?" tanya Jeremy memastikan. Aku ingin Jeremy mengusirnya saja, jadi aku hanya kembali ke kasurku dan membiarkan Jeremy melakukan yang ia inginkan.     

Tak lama Jeremy kembali dan duduk. Wajahnya terasa teduh sekali. Aku tidak tahu karena ia seorang dokter atau karena apa, yang jelas, ketika berada di sisinya, rasanya sangat nyaman.     

"Kok dia tahu kost kamu?" tanyanya.     

Aku lupa kalau Jeremy belum tahu tentang Winda semalam. Aku pun memberitahunya secara jelas dan detail. Jeremy sama sekali tidak terkejut. Ia seperti sudah hafal betul dengan Winda lakukan.     

"Winda, Winda, mau sampai kapan begitu?" tanyanya lebih kepada diri sendiri.     

"Hmm, apa kamu nggak pernah sekalipun sama Winda?" tanyaku tiba-tiba.     

Jeremy langsung menoleh ke aku. "Kamu nggak percaya sama aku?" tanyanya.     

Aku langsung memberi gestur tanganku bahwa bukan seperti itu maksudku. Bukan masalah percaya atau tidak, tapi lebih kepada apakah sudah pernah atau belum. Aku sama sekali tidak masalah jika Jeremy pernah bersamanya.     

"Dia pernah sesekali menggodaku kalau lagi berdua. Tapi aku nggak pernah kepancing, Dai. Jadi ya, pengalamanku hanya itu," katanya menjelaskan.     

Aku mencoba mengerti. Tapi pikiranku tidak bisa enyah dari perbuatan Winda dan Zen. Padahal Zen bukan siapa-siapa aku lagi. Winda, dia bahkan tidak tahu apa-apa tentangku.     

Ketukan pintu membuatku tersentak Jeremy menoleh. Rupanya Raja datang dan ia tidak memberitahuku. Saat itu juga Jeremy langsung berpamitan karena ia harus menuju rumah sakit. Kini gantian Raja di kostku.     

Tanpa kusuruh duduk, Raja langsung duduk dan bahkan ikut bergabung di atas kasur. Ia menghela nafasnya menatap langit-langit kamarku yang kutempeli bintang bulan yang jika malam hari menyala ketika lampu kamar aku matikan.     

"Tumben Jeremy ke sini," katanya padaku.     

"Dia biasa ke sini. Ada apa kamu ke sini?" tanyaku.     

Sejenak kami berdua sama-sama di atas kasur dengan melihat langit-langit. Raja tampak frustrasi di sebelahku. "Apa pekerjaanmu di US nggak terkendali?" tanyaku.     

Raja menggelengkan kepalanya dan lalu ia menunjukkan satu foto yang tercetak padaku. Di foto itu terlihat jelas Reina dan Raka. Aku tadinya tidak tahu apakah itu Raja atau Raka. Tapi sekarang aku sudah cukup hafal mereka. Alisku bertaut dan aku tengkurap menghadapnya.     

"Seriusan?" tanyaku langsung padanya.     

"Foto lama sebenarnya, tapi yah, aku punya hutang sama kamu kan, buat cerita?"     

Aku mengangguk. Lalu Raja menceritakannya padaku. Tentang cinta segitiga yang ternyata cukup rumit. Reina adalah kekasih Raka, tapi seiring berjalannya waktu, Reina mengenal Raja. Sifat Raja yang notabennya badboy ternyata mengundang Reina untuk menyukainya. Bahkan diam-diam Reina menyatakan perasaannya pada Reza dan mereka hingga kini berpacaran. Lalu pada suatu waktu, Raka melihat mereka tengah bergandengan tangan, Raka memutuskannya namun Reina tidak ingin.     

Aku tidak paham kenapa Reina seegois itu. Dan salah Raja juga kalau sampai ia benar-benar mengencani kekasih kakaknya. Letak kasihanku hanya pada Raka saat ini. Tapi aku juga tidak bisa memarahi salah satunya. Jadi, aku memilih menjadi pendengar saja.     

"Dan Raka masih belum bisa terima?" tanyaku padanya.     

"Raka sudah mulai bisa menerima. Hanya saja, mungkin ketika melihat Reina, memorinya jadi kembali. Kamu tahu kan, kalau kita nggak bisa menghindari memori itu?"     

"Dan bagaimana Raka ke kamu?" tanyaku tanpa mengiyakan ucapannya barusan.     

"Dia tetap dia. Kaku. Hanya bisa berbicara padaku saat tidak ada Reina. Ia memilih menghindar ketika ada Reina," jelasnya.     

Aku mengangguk paham dan mengerti perasaan Raka. Tapi aku juga tidak bisa menafik jika laki-laki seperti Raja ini memang disukai banyak wanita. Semua jelas sekali kelihatannya. Dan Reina juga sangat kelihatan sekali mencintai Raja.     

"Kasihan, Raka," kataku akhirnya.     

"Iya. Makanya aku sebisa mungkin menghindar dari dia kalau ada Reina. Menurutmu, aku sama Reina salah, kan?" tanyanya padaku.     

Aku mengangguk, "iya, kalian salah. Tapi kalau soal perasaan, kita nggak bisa mencegahnya, Raja."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.