BOSSY BOSS

Chapter 72 - Raka



Chapter 72 - Raka

0"Kita jarang berbicara, ya?" sapaku pada Raka yang sedang sibuk dengan ponselnya. Tidak peduli apakah aku mengganggunya atau tidak, tapi aku memang harus berbicara dengannya. Untungnya sekarang para tamu sedang menikmati jamuan.     

Raka berdeham dan memasukkan ponselnya ke saku. Ia meminum minumannya dan menatapku. Tatapannya benar-benar membuatku merasa canggung. "Jadi, apa yang mau kita bicara, Daisy?" tanyanya.     

Aku mengedikkan bahuku. "Apa pun," jawabku sedikit bingung.     

"Aku nggak punya topik untuk berbicara, Daisy. Semua tentangmu aku udah tahu. Dan yah, aku memang seorang yang hemat berbicara," katanya sekaligus menyindirku.     

Aku langsung menutup bibirku karena mengetahui ia tahu apa yang tadi kukatakan pada Raja. Tapi sedetik kemudian aku melepaskan tanganku dari bibirku dan bersikap senormal mungkin.     

"Maaf, aku hanya nggak suka memiliki musuh dalam sebuah hubungan keluarga baru seperti ini," kataku memberitahu.     

"Ya, aku tahu. Kamu cukup baik mengajakku berbicara lebih dulu. Terima kasih," katanya. Raka benar-benar kaku. Seperti yang dikatakan Raja, dia benar-benar sangat kaku dan aku sekali lagi bingung ingin membahas topik apa.     

"Raja punya pacar, apa kamu punya?" tanyaku tiba-tiba dan terdengar seperti seorang wanita yang baru saja berkenalan dengan kenalannya.     

Raka menunjukkan alisnya yang bertautan. "Dia bilang begitu?" tanyanya. Aku mengangguk ragu. Yang kudengar dan kuingat Raja memang punya kekasih dan dia orang Indonesia.     

"Ada apa?" tanyaku.     

"Nggak, bukan apa-apa. Aku nggak punya pacar, Daisy. Apakah kamu udah punya?" tanyanya balik.     

Caranya bertanya tentang apakah aku sudah punya atau belum benar-benar sangat berhati-hati. Aku jadi sangat konyol karena bertanya tentang itu padanya. Jadi aku hanya diam dan menyesap minumanku.     

"It's ok kalau kamu nggak mau menjawabnya, aku hanya mencoba mencari bahan bicara aja," katanya kemudian.     

Tiba-tiba terbersit dalam benakku satu pertanyaan yang tak pernah kutanyakan pada Raja. "Apa menurutmu nggak masalah jika seorang janda ingin memiliki kekasih, atau kehidupan barunya?"     

"Kenapa harus menjadi masalah? Bagiku nggak masalah sama sekali. Selama kamu siap dan nggak mengganggu mentalmu," katanya dengan cepat.     

"Wah, kamu cepat tanggap, ya?" timpalku.     

"Daisy, banyak temanku yang bercerai di usia pernikahan mereka yang muda. Di luar negerti, bukan di sini, lebih tepatnya."     

Aku mengangguk paham. Jadi, Raka cukup punya banyak masukan kalau begitu. Sudah pasti teman-temannya itu bercerita padanya, jadi ia sedikit banyak tahu. "Aku nggak keberatan kalau kamu mau minta masukan dariku walau yah, aku nggak berpengalaman," katanya kemudian.     

Aku tersenyum lebar dan mengangguk. Lalu aku melihat Raja melambai padaku untuk mendekat ke arahnya. "Aku, ke sana sebentar. Terima kasih untuk waktunya, Raka. Senang berbicara denganmu," pamitku dan pergi darinya.     

Aku heran, kenapa sih Raja tidak mendatangi Raka dan aku saja. Kenapa juga harus aku yang mendekat ke arahnya? Apa terjadi sesuatu pada mereka.     

"Daisy, kenalkan, ini Reina, pacar aku," tiba-tiba Raja mengenalkan seorang wanita padaku. Aku bersalaman dengannya dengan formal. Sepertinya tadi aku tidak melihat ada wanita di sisinya.     

Raja mengenalkan aku sebagai adiknya pada Reina. "Kalau gitu, aku ke sana dulu. Sepertinya temanku datang," pamitku begitu melihat Jeremy.     

Jeremy terlihat tampan dengan setelan jasnya. Ia tersenyum padaku dan kami sempat berpelukan. Aku sudah tidak begitu kaku dengan hal itu. Jadi, kupikir itu adalah hal yang wajah. "Selamat karena akan punya Papa baru," katany mengejek.     

"Terima kasih. Apa kamu udah ke Ibuku dan Om Thomas?" tanyaku.     

"Udah, Dai. Omong-omong, kamu kelihatan cantik," ujarnya menilai. Aku melihat penampilanku yang mengenakan gaun pink mencolok yang mana tanpa riasan pada gaun itu.     

"Aku pikir aku terlalu mencolok, tapi aku suka gaun ini," kataku padanya.     

Tiba-tiba Jeremy mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Ia membukanya dan aku terperangah. "Kayaknya kamu bakal lebih cantik pakai ini," katanya dan memakaikanku kalung itu tanpa menunggu izinku.     

Jeremy menatapku setelah itu. Ia mengedipkan satu matanya padaku dan memujiku sekali lagi.     

"Jer, ini berlebihan," kataku seraya memegang kalung yang sudah terpasang pada leherku.     

"Anggap aja ini hadiah atas dirimu yang bekerja di tempat baru," katanya.     

Aku terenyuh dan memeluknya sekali lagi. Tadinya aku mencoba menghindari Jeremy sebisaku. Tapi mengetahui niatnya benar-benar tulus padaku tanpa meminta pamrih, aku merasa aku harus menggunakan waktuku untuk berteman dengan siapa pun.     

"Nanti kamu pulang ke mana?" tanya Jeremy.     

"Ke kost. Tapi aku harus ke rumah Om Thomas. Yah, biasa beradaptasi," jawabku.     

"Apa aku boleh mengantarmu?" tanyanya.     

"Hmm, boleh dong."     

Ketika acara benar-benar sudah selesai, aku langsung masuk ke dalam mobil Jeremy yang akan mengantarku ke rumah Om Thomas. Ibu bersama suaminya, sementara Raka dan Raja saling berpisah. Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa mereka harus saling berpisah sementara keduanya bisa saja saling bersama satu mobil. Dan anehnya, aku memang tidak pernah melihat Raka dan Raja bersamaan kecuali ketika pertama kali mereka ke rumahku.     

Saat sampai rumah Om Thomas, aku tidak terkejut lagi mengetahui rumahnya besar bak istana. Entah bagaimana keberuntungan ada pada Ibu. Ia mendapatkan suami yang penuh cinta padanya. Aku bisa melihat cara Om Thomas memandang dan memperlakukan Ibu sebagai ratu. Aku jadi sedikit iri padanya.     

Aku dan Jeremy duduk di ruang keluarga. Begitu pun Raja dan Reina. Ibu dan Om Thomas juga, tapi aku tidak melihat Raka di sini.     

"Raka, di mana?" tanyaku entah kepada siapa.     

"Biasanya dia masih di jalan atau ada urusan di ponselnya," jawab Raja. Aku menatapnya dan memicingkan wajahku ke arahnya. Raja terlihat seperti menyembunyikan sesuatu dan wanita di sisinya, kekasihnya, maksudku, terlihat aneh ketika nama Raka disebutkan.     

"Daisy, kamu yakin nggak akan menginap di sini?" tanya Om Thomas mengalihkan.     

Aku menggeleng dengan sopan dan tersenyum. "Besok aku kerja, Om. Dan kebetulan masuk pagi. Mungkin aku akan menginap kalau libur aja," jawabku.     

Setelah itu, semua merasa canggung, mungkin karena masih baru. Aku pun segera berpamitan dan Jeremy juga. Jeremy selalu memberikan kata-kata indah pada Ibu yang akan selalu menjagaku. Kadang hal itu membuatku merasa tersenyum.     

Saat aku keluar dari rumah Om Thomas, aku melihat Raka di luar akan masuk. Matanya berhenti tepat ketika ia melihat ke arah Reina. Sekejap aku menyadari kecanggungan itu. Sepertinya keduanya ada perseteruan. Aku harus meminta Raja menjelaskan semuanya.     

"Raka, aku pulang ke kost dulu, ya," kataku mencoba merusak kecanggungan itu. Raka langsung menoleh ke arahku dan tersenyum. Refleks aku memeluknya dan ia mengikuti caraku. "Aku tahu, jadi next time cerita, ya. Oke?" bisikku padanya dan melepasnya.     

Lalu aku memeluk Raja bergantian dan membisikkan sesuatu padanya. "Kamu bertugas menceritakan ada apa antara kamu, Raka dan Reina. Oke?" Lalu kulepas dan kukedipkan satu mataku padanya.     

Aku dan Jeremy pun masuk ke mobil setelah berpamitan pada semuanya.     

"Kamu cukup dekat sama saudara tirimu, ya?" tanya Jeremy di mobil.     

"Yah, sebenarnya kami semua mencoba berinteraksi, Jer."     

"Tapi ada yang aneh," katanya tiba-tiba. Aku menoleh ke arah Jeremy yang masih serius dengan kemudinya.     

"Apa yang aneh?" tanyaku.     

"Si kembar dan wanita itu. Ketiganya sepertinya ada sesuatu. Atau hanya apa yang aku lihat saja?"     

Aku diam sejenak. Tentu saja Jeremy sedikit tahu tentang mereka. Dari cara pergerakan mereka saja jelas terlihat. Aku rasa Om Thomas juga mungkin tahu tapi beliau memilih diam dan membiarkan mereka menyelesaikan urusan mereka.     

"Aku juga merasa begitu. Sejak di gedung, mereka kelihatan berbeda dan aku baru sadar saat tadi ini," kataku.     

"Tapi biarlah mereka menyelesaikan semuan. Mari berharap yang baik-baik. Benar begitu?"     

Aku mengangguk padanya dan kami pun sampai di kostku.     

Hari sudah sangat malam, Jeremy pun mengantarku sampai di lantai kamar kostku. Sekilas kami melihat Winda dengan seorang laki-laki datang dalam keadaan Winda tengah mabuk. Aku langsung melihat Jeremy yang melihatku juga.     

"Apa kamu mau aku mendekatinya?" tanya Jeremy meminta masukanku.     

"Eh, hmm itu … sebaiknya nggak usah, Jer. Aku rasa si cowok sadar. Apa itu pacarnya?" tanyaku.     

"Hmm, bukan. Winda memang punya kebiasaan kembali pulang bersama cowok yang membayarnya lebih."     

Aku terkejut mendengarnya. Memang sih, Winda bekerja di bar, tapi aku pikir ia tidak akan sampai melakukan itu. Ah, Daisy! Ternyata kamu bodoh sekali! Seharusnya aku sudah menduganya dari awal. Kadang menilai dari penampilan seseorang ada benarnya.     

"Sebaiknya kamu pulang, Jeremy," kataku kemudian dan mengalihkan pembicaraannya.     

"Iya. Aku pulang, tapi kamu masuk dulu."     

"Nggak. Sebaiknya kamu keluar dulu dari kost ini," kataku padanya. Entah kenapa nadaku terdengar seperti cemburu jika mengetahui Jeremy akan menghampiri Winda.     

Jeremy menuruti kata-kataku dan ia pun melangkah menjauh dariku. Turun ke tangga dan aku akan tetap melihatnya sampai mobilnya benar-benar menghilang tak kembali.     

Setelah itu aku penasaran dengan laki-laki siapa Windar sekarang. Jika benar yang dikatakan Jeremy, maka aku harus memastikannya sendiri. Aku harus menjaga sesuatu yang berharga dari sesuatu yang tidak berharga.     

Kulangkahkan kakiku perlahan dengan mengendap-endap. Kamarnya terbuka sedikit dan aku bisa melihat jelas apa yang sedang Winda dan laki-laki itu lakukan. Aku tidak melihat jelas laki-laki itu karena ia memakai setelan jas.     

Berkali-kali aku mendengar Winda mendesah hebat. Hal yang sudah lama tidak kudengar. Dia dan laki-laki itu bercinta. Aku sendiri masih penasaran dengan laki-laki itu. Entah kenapa perasaanku menuntunku untuk melihatnya langsung.     

Samar aku mengenal sebuah cincin yang tersemat di jemari laki-laki itu. Cincin pernikahan yang kupikir akan dilepas olehnya. Tapi sekali lagi aku memastikan siap dia sebenarnya. Pikirku, barangkali cincin pernikahan itu ia buang dan seorang laki-laki ini menemukannya dan memakainya.     

Tapi tidak saat Winda berteriak melengking memanggil namanya. Aku terperanjat dan menutup pintu kamarnya perlahan. Bisa-bisa yang lain tahu dan ia dipergoki. Atau malah sudah menjadi kebiasaan Winda? Entahlah. Tapi satu yang membuatku benar-benar tidak menyesal mengambil keputusaku adalah karena tahu bahwa sampai detik ini ia tidak berubah.     

Laki-laki itu Zen. Dan sudah cukup aku menangisinya. Sampai sini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.