BOSSY BOSS

Chapter 70 - The Decision



Chapter 70 - The Decision

0"Apa kamu marah, Dai?" tanyanya.     

Aku menggelengkan kepalaku. "Aku lebih ke kecewa, Bu. Selama ini Ibu nggak pernah bilang apapun soal itu ke aku. Tapi ya sudah, semua udah terjadi dan aku nggak bisa egois, kan? Udahlah, Bu. Aku juga mau siap-siap kerja," ucapku lalu berdiri meninggalkannya ke kamar.     

Di kamar, ada perasaan kosong dan hampa. Aku merasa Ibu tidak terbuka padaku. Jadi, aku memang sebaiknya melakukan hal yang sama. Aku juga tidak akan mengatakan bahwa aku pindah bekerja. Tidak akan sama sekali.     

Setelah aku bersiap, aku langsung berangkat tanpa makan siang. Berpamitan selayaknya dan kembali bekerja sekaligus memberikan surat pengunduran diri.     

Teman-temanku, merasa sedih. Tentu saja aku merasakan demikian. Tapi bukan berarti aku lantas tidak akan pernah kembali. Aku pasti akan kembali ke kedai ini walau hanya sekadar meminum kopi.     

Setelah atasan menerima suratku dan menyetujuinya walau dengan memelas ia memintaku untuk menetap, tapi akhirnya ia menghargai keputusanku. Dan begitulah satu hari dan hari terakhir kerjaku selesai.     

Kali ini Jeremy sepertinya benar-benar mengikuti permintaanku. Ia tidak menjemputku atau mengirimiku pesan. Baguslah, setidaknya aku merasa cukup lega untuk itu.     

Keesokannya adalah sidang perceraianku. Aku cukup merasa gugup karena aku datang seorang diri tanpa Ibu. Ama, katanya akan datang untuk menemaniku. Tapi aku belum melihatnya muncul. Zen juga tidak datang karena memang lebih baik begitu demi mempercepat proses.     

Akhirnya sidang perceraian itu selesai. Aku benar-benar dinyatakan sah bercerai dan menyandang status janda. Rasanya aku ingin mengembalikan waktu di mana aku belum mengenal semua ini. Sedih rasanya menerima kenyataan bahwa aku sudah terlalu jauh masuk ke lingkup yang berakhir seperti ini.     

"Selamat," tiba-tiba suara Zen muncul entah sejak kapan ia ternyata ada di pengadilan.     

Angin yang berhembus kencang menerpa rambutku, kukerjapkan mataku berkali-kali untuk melihatnya. Mantan suamiku, pesona dan ketampanannya tidak berkurang. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi saat aku menyadari ada Rosi di dalam mobilnya, mencoba bersembunyi dari tatapanku, aku mengurungkan diri.     

"Daisy," panggil Zen ketika aku akan melangkah ke parkiran motor.     

Aku tidak membalikkan tubuhku. Kupunggungi saja dirinya karena aku tidak mau melihatnya bersama wanita lain. Apa-apaan dia datang ke sini dengan wanita lain?     

"Maafkan aku. Kalau aja waktu bisa dikembalikan, kita pasti nggak akan bercerai, kan?"     

Momen ini adalah momen di mana aku tidak mau menjatuhkan air mataku. Mengetahui bahwa aku memang mencintainya, adalah hal yang membuatku merasa sakit.     

"Kalau aja sedari awal kamu nggak bermain wanita, mungkin ya," balasku.     

Zen mendekat. Aku bisa merasakan langkah kakinya semakin mengarah ke arahku. Lalu Zen berinisiatif berdiri di hadapanku.     

Tubuhnya yang menjulang tinggi, menutupiku dari sinar matahari yang menerpa. Tapi sayangnya, aku tidak bisa menatapnya, melainkan lurus ke arah dadanya yang bidang, yang ditutupi kemejanya.     

"Lihat aku, Daisy," perintahnya.     

Tapi aku tidak menatapnya. Untuk apa? Dia bahkan bukan suamiku lagi yang pantas aku turuti perkataannya.     

Jemarinya lalu menengadahkan daguku hingga kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Tidak! Bibir itu … bibir yang sedang kupandangi, aku pernah merasakannya saat ia ada di tubuhku. Bagian itu benar-benar tidak bisa kulupakan secepat itu.     

"Untuk yang terakhir kalinya aku bertanya …" kata Zen sebelum melanjutkan ucapannya. "Apakah kamu mencintaiku?"     

"Memang apa pentingnya?" hardikku dengan pertanyaan.     

Zen diam. Ia memang tidak memiliki jawaban atas pertanyaanku. "Jawab saja, Daisy."     

"Nggak peduli sekalipun aku mencintaimu, kenyataan kita sudah berpisah, maka akan tetap seperti itu, Zen."     

Aku benar-benar meninggalkannya begitu saja setelah mengucapkan itu. Tidak ingin aku memperpanjang cerita lama setelah tahu cerita itu benar-benar sudah tamat.     

***     

Masa kerjaku di tempat yang baru sebentar lagi akan dimulai. Aku memutuskan untuk mencari sebuah kostan yang sedikit lebih dekat dengan hotel. Saat ini adalah saat yang tepat untuk memutuskan seorang diri.     

"Kamu ke mana?" suara Jeremy tiba-tiba menyeruak ke telingaku. Aku terkejut karena merasa saat aku keluar rumah, tidak ada siapa pun.     

"Jeremy?" tanyaku tak percaya.     

Ia tersenyum padaku. Ada yang sedikit berbeda dengan penampilannya. Rambutnya dipangkas rapi dan ia sedikit menumbuhkan kumis serta janggut. Terlihat begitu dewasa.     

"Ah, aku mau cari kostan, Jer."     

Ia memandangku dengan satu alisnya terangkat. Daripada berbicara di rumah, lebih baik aku ajak sekalian saja dirinya.     

"Mau bantu aku cari-cari? Sekalian aku menjelaskan semuanya ke kamu?" tawarku.     

Tentu saja Jeremy mau menemaniku. Wajahnya terlihat senang, padahal terakhir kali aku bertemu dengannya, aku menyakitinya dengan ucapanku yang menusuknya.     

"Lebih baik kamu aku bawakan ke kost temanku, deh, ya? Namanya Winda, dia kerja di dekat situ juga," katanya memberitahu setelah aku menjelaskan semuanya padanya.     

"Apa harganya murah?" tanyaku memastikan.     

"Murah dan fasilitas lengkap. Aku yakin kamu suka."     

"Kalau memang begitu, aku ngikut aja, Jer."     

Aku dan Jeremy berhenti di sebuah kostan yang cukup besar. Saking besarnya, aku pikir ini rumah susun, karena tingkatannya kentara jelas.     

"Terakhir aku ke sini, sepertinya ada kamar kosong," katanya memberitahu.     

"Terakhir itu kapan?" Aku lebih penasaran ke bagian itu ketimbang ada atau tidaknya kamar kosong itu.     

"Hmm, tiga hari yang lalu. Ayo, turun."     

Tiga hari yang lalu, ya? Pikiranku jadi berkelana ke mana-mana. Apalagi temannya itu teman wanita. Mendadak rasa traumaku muncul seketika. Teringat Zen dan wanita-wanita itu.     

Jeremy menuntunku menuju lantai dua. Lalu kami berhenti di satu kamar yang memiliki pintu putih bersih. Di pintunya tertempel huruf yang membentuk sebuah nama.     

Winda.     

Diketuknya pintu itu dan seorang wanita dengan tank top putih muncul. Rambutnya diikat asal hingga berjatuhan. Lalu matanya terlihat senang ketika tahu Jeremy yang datang.     

"Hei! Ada angin apa, nih?" sapanya. Ia terlihat seperti sedang mengunyah permen karet.     

Jeremy memperkenalkan aku dan dalam hitungan detik, Winda mengakrabkan dirinya padaku.     

Setelah cukup memastikan bahwa memang ada kamar kosong dan aku langsung membayarnya, kami pun pulang.     

Sekarang aku cukup bisa bernafas lega. Di samping masalah Ibu, aku benar-benar cukup merasa puas dengan hasil akhir ini.     

"Winda itu sedikit nakal. Jadi, maklumi aja kalau pakaiannya seperti itu, ya. Dia kerja di bar, jadi yah, begitulah," jelas Jeremy.     

"Oh oke. Lalu, apa kamu dan dia … "     

"Nggak, Dai. Aku dan Winda tanpa hubungan fisik. Jadi kita murni teman aja tanpa ada hal yang seperti itu," tukasnya memotong ucapanku.     

Jeremy seakan tahu maksudku bertanya hal itu. Karena ia memang tahu perihal masalahku dengan mantan suamiku. Jadi aku hanya membalasnya dengan senyuman dan menyiratkan sedikit kelegaan.     

"Eh, terus kapan kamu mau pindah?" tanyanya.     

"Mungkin tiga hari sebelum kerja kali, ya? Biar aku bisa berbenah juga dan ada istirahatnya."     

"Bisa, bisa. Aku akan bantu. Oke?"     

"Jer … tapi kamu nggak keberatan, kan?" tanyaku bersimpati. Aku takut niat baiknya meminta pamrih padaku.     

Jeremy mengangguk dengan penuh semangat. "Aku nggak minta apa-apa, Dai. Jadi teman juga bukan masalah buat aku. Aku suka membantu, kok."     

"Oh, jadi hobi gitu ya?" tanyaku berniat bercanda.     

Ia tertawa lepas dan begitupun aku. Sekarang tinggal aku mengatakan apa yang menjadi keputusanku pada Ibu.     

Sampai rumah, aku melihat ada mobil asing terparkir. Aku tidak mengenalnya tapi aku semakin yakin bahwa mobil itu adalah mobil calon suami Ibu.     

Seperti biasa, aku mengucap salam saat masuk ke dalam rumah. Kulihat Ibu dan calon suaminya, juga dua laki-laki yang mungkin seumuran Zen atau Jeremy, tengah duduk berbincang sekaligus tertawa di sana.     

Keadaan menjadi canggung ketika aku tidak mengenal mereka sama sekali.     

Lalu Ibu mengenalkanku calon suaminya itu dan dua laki-laki muda yang ternyata anak dari Om Thomas.     

Om Thomas, sepertinya memang lebih tua dari Ibu. Rambutnya yang sedikit menunjukkan bahwa ia memang sudah menua dan dua laki-laki yang ternyata anaknya, tampan semua dan yang spesial mereka kembar!     

Di saat seperti inilah aku mengatakan keputusanku pada Ibu. Ia terlihat terkejut dengan keputusanku yang tidak membahasnya terlebih dulu pada Ibu.     

"Aku kan, udah besar, Bu. Jadi biarkan aku mengambil keputusan sendiri. Bukankah Ibu sendiri juga sama? Tanpa melibatkan aku dalam keputusan Ibu?" Sergahku kemudian.     

"Daisy … ini berbeda, Nak. Kamu bisa tinggal dengan Ibu dan Om Thomas dan-"     

"Bu … udah, ya? Aku capek. Permisi Om dan Mas-Mas," potongku dan masuk ke dalam kamar.     

Karena aku benar-benar lelah, aku pun membaringkan tubuhku sebentar dan setelah itu berkemas beberapa barang-barang pribadiku. Setelah itu aku keluar lagi dan kali ini aku harus memberi peralatan yang pokok seperti alat mandi atau semacamnya. Tapi saat aku keluar ternyata Om Thomas dan anak-anaknya belum pulang juga. Jadi aku hanya melewati mereka dan berusaha sesopan mungkin.     

"Mau ke mana?" Suara laki-laki yang tak kukenal keluar dari rumahku, mengikutiku.     

Oh ini Raja atau Raka, ya? Aku bingung. Dan kenapa juga ia ingin tahu aku ke mana?     

"Aku Raja. Kalau kamu masih susah membedakan kami, cukup lihat cara kami mengenakan jam. Aku sebelah kanan, dan Raka sebelah kiri," jelasnya seakan tahu apa yang kupikirkan.     

Aku langsung memperhatikan posisi arlojinya dan mengangguk paham.     

"Eh, mau ke mana? Kamu belum jawab pertanyaanku," tanyanya sebelum aku menyalakan motor.     

"Kenapa, sih? Kok kamu jadi ikut campur?" Kesalku padanya.     

Raja mengantungi kedua tangannya di celananya dan mendekat. "Karena kamu akan menjadi bagian keluarga. Bukannya harus saling terbuka?"     

Kuputar bola mataku dengan kesal. "Ralat, saudara tiri. Bukan keluarga. Mengerti?"     

Tiba-tiba kunci motorku ia ambil paksa. Aku memelototinya. Duh! Belum jadi saja laki-laki ini sudah bersikap semena-mena. Aku tidak mungkin teriak dan merengek pada Ibu jika seperti ini.     

"Aku antar. Tadi aku pamit juga ingin mengantarmu. Ayo!" Katanya dan menyalakan mobil. Aku terdiam sesaat. Ia bahkan belum mengembalikan kunci motorku.     

"Ayo, Daisy!" Panggilnya dan membuka pintu mobil untukku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.