BOSSY BOSS

Chapter 67 - Drama



Chapter 67 - Drama

0Aku hanya punya beberapa pakaian untuk acara khusus. Sekarang aku bingung harus memakai yang mana karena rasanya terlalu sederhana. Atau, dirikulah yang terlalu biasa pakai pakaian pemberian Zen? Memang beberapa pakaian darinya tidak aku bawa karena aku tidak ingin memiliki kenangan apa pun tentangnya. Jadi, aku hanya membawa milikku saja.     

Ibu melihatku di ambang pintu kamar begitu aku sedang mencoba beberapanya melalui cermin. Ia tersenyum padaku dan mendekat. "Kamu ada acara?" tanyanya.     

"Ya, Bu. Aku diundang temanku untuk datang ke pembukaan restorannya. Ibu bisa bantu pilihkan aku pakaian mana yang pantas?" tanyaku meminta saran.     

"Tunggu sebentar," ujarnya lalu beliau meninggalkan kamarku.     

Tak lama Ibu datang kembali dengan membawa hanger baju yang mana menggantungkan dress lokal anggun namun terlihat langka dan mewah. Aku tentu terpesona dan mengalihkan perhatianku di sana.     

"Pakai ini. Ini milik Ibu di zaman dulu," katanya seraya menyerahkannya padaku.     

"Bu, ini cantik banget! Kenapa Ibu nggak pernah memakainya? Aku baru tahu, loh."     

"Karena ini gaun pertama kali yang Ibu beli dan harganya dulu sangat mahal, jadi ya, Ibu simpan aja."     

"Tapi, apa Ibu yakin mau meminjamkannya ke aku?" tanyaku dengan ekspresi terharu.     

"Daisy, Ibu nggak meminjamkannya. Ibu memberikannya ke kamu. Jadi, pakailah," jawabnya. Aku langsung memeluk Ibu dan berterima kasih. Lalu beliau membiarkan aku bersiap dan juga tak sabar melihatku memakai dress miliknya.     

Setelah aku cukup berias, aku terkejut karena ternyata dress milik Ibu sangat cocok di tubuhku. Padahal kupikir aku akan merasa kebesaran atau kelonggaran, nyatanya tidak. Artinya ukuran tubuh Ibu dulu sangat mirip denganku, atau memang akulah yang mengikuti jejaknya, lebih tepatnya.     

Aku keluar kamar dan memperlihatkan penampilanku pada Ibu yang sedang menonton televisi. Ia tersenyum padaku dan memberikan jempolnya. "Anak Ibu selalu cantik pakai apa pun," pujinya.     

"Ini semua kan karena Ibu," balasku. Aku dan Ibu lalu mendengar suara ketukan pintu. Kulihat arloji di tangan kananku dan waktu menunjukkan pukul setengah tujuh. Itu pasti Jeremy. Jadi aku melangkah ke pintu dan membukanya.     

Untungnya ia benar-benar Jeremy. Tadinya aku sempat berpikir bahwa Zen-lah yang akan datang. Tidak! Aku bukannya berharap ia berkunjung atau apa. Aku hanya tidak ingin Zen melihatku dengan laki-laki lain dan merusak semuanya.     

"Wow, kamu kelihatan cantik," puji Jeremy dengan senyumnya.     

"Terima kasih, Jer. Kamu kelihatan bukan dokter," kataku padanya dan kami tertawa. Aku memang selalu melihatnya hanya mengenakan celana training dan hoodie setiap kali ia ke kedai. Dan sekarang, Jeremy tampak benar-benar seperti seorang pemilik restoran.     

"Apa aku bisa berpamitan sama Ibumu?" tanya Jeremy sopan.     

"Hmm, itu … "     

"Oh, temannya Daisy, ya?" tiba-tiba Ibu datang dari belakang. Membuat ucapanku terpotong atau seharusnya aku bersyukur bahwa ia tidak masalah jika aku berjalan dengan laki-laki baru, walau kamu tidak berpacaran atau memiliki hubungan khusus?     

Ibu menatapku dengan penuh makna dan ia tersenyum pada Jeremy. Jeremy menyalaminya dengan sopan.     

Aku dan Jeremy segera pergi setelah ia berbasa-basi juga meminta izin pada Ibu. Kupikir Ibu akan melarangku, tapi melihat ia tersenyum padaku dan menanti penjelasan tentang siapa Jeremy, aku cukup lega.     

"Ibumu cantik,ya? Awet muda," kata Jeremy saat kami dalam mobil.     

"Tapi kerutannya nggak bisa bohong kan, kalau dia udah menua?"     

Jeremy mengangguk. "Benar, kerutannya nggak bisa bohong. Tapi pesonanya bisa menutupi kerutan itu. Dan lagi, sepertinya pesonanya menurun ke kamu." Aku tersipu mendengar pujiannya dan tidak membalas perkatannya lebih lanjut.     

Tiba-tiba Jeremy berdeham lalu menatapku sekilas kemudian memalingkannya. Aku tahu tanda-tanda seperti itu biasanya ada yang ingin dikatakan dan terkesan penting. Jadi aku mulai bertanya sendiri, "ada apa?"     

"Begini, karena nanti yang datang keluarga dan teman-temanku, mereka tahu aku akan mengajak seorang wanita ke sana, dan mereka berharap bahwa wanita itu adalah kekasihku. Hmm, apa kamu nggak keberatan senggaknya nanti kita bersandiwara?" jelasnya dan bertanya.     

Untuk sejenak aku terdiam. Memerankan diri sebagai kekasih dari seorang pemilik restoran dan dokter psikiater, layaknya seperti di sinetron, tidak pernah kubayangkan.     

"Kamu mau kita melakukan itu?" tanyaku padanya. Dan kenapa pula dia tidak mengatakannya saat tadi sebelum mengajakku?     

"Sejujurnya, ya. Aku nggak punya opsi lain. Karena kalau aku menjelaskan siapa kamu sebenarnya, maksudku, kita hanya teman, mereka pasti nggak percaya," jelasnya.     

Sebuah gagasan muncul di benakku. Aku tahu tipe apa Jeremy ini. Lagi pula, tidak ada salahnya jika aku menolongnya. Toh, hanya untuk malam ini saja.     

"Oke, aku akan melakukannya," jawabku menyetujui.     

"Terima kasih, Dai. Cukup nanti berlaku apa adanya saja. Toh, mereka pasti anggap baru jadian." Aku mengangguk paham.     

Kami akhirnya tiba di restoran milik Jeremy. Aku tidak heran jika Jeremy memiliki nilai khusus terhadap sebuah bangunan. Ia benar-benar klasik sekali. Aku menyukai desainnya dan terperangah sejenak. Sebuah tulisan "Jer's Restaurant" terpasang di atas bangunan ini. Jelas sekali ia mengambil namanya untuk diletakkan di sana.     

"Keren," kataku lirih, lebih kepada diriku sendiri.     

"Terima kasih." Tiba-tiba Jeremy bersuara dan aku baru sadar bahwa aku memang bersamanya.     

Kami masuk dan keramaian menjadi teman di sekeliling. Saking ramainya, tiba-tiba aku merasa sedikit panik. Aku, benar-benar segugup ini di depan keramaian yang padat. Bodohnya, aku tidak mengatakan pada Jeremy bahwa aku punya rasa kecemasan berlebihan di keramaian seperti ini.     

Kucengkeram kuat lengan Jeremy, padahal tadinya kami tidak berpegangan. Ia langsung menatapku. "Ada apa, Dai?" tanyanya.     

"Maaf, aku … aku nggak bisa terlalu … ramai," kataku dengan nafas memburu. Seakan sesak nafas, Jeremy langsung membawaku ke tempat yang cukup terbuka tanpa keramaian di sekitar. Ia membiarkanku duduk dan membiarkan aku mengatur nafasku.     

"Maaf, aku nggak tahu akan ini," katanya menyesal.     

"Aku yang seharusnya minta maaf. Aku nggak memberitahumu. Kamu nggak keberatan kan, kalau aku di sini aja?" tanyaku.     

Jeremy mengangguk. "Aku hanya akan opening di sana, dan setelah mereka kubiarkan menikmati apa yang ada di restoran, aku segera kembali. Oke?"     

Kali ini aku mengangguk dan membiarkannya pergi. Kutatap kepergiannya dengan senyuman sesalku. Betapa payahnya aku yang seperti ini. Bagaimana bisa aku merasa seperti ini?     

Setelah aku merasakan aku baik-baik saja, aku mendengarkan pidato Jeremy dengan senyuman. Untungnya aku cukup bisa mendengar jelas apa yang dikatakannya. Pidatonya cukup menarik dan ia terlihat sangat jenius dari yang kupikir.     

Tunggu, tiba-tiba aku melihat dua orang yang jelas sekali kukenal. Aku merasa pandanganku tidak kabur. Tapi kenapa mereka bisa ada di sini?     

Aku melihat Zen dan Rosi. Mereka berdiri di sana dengan senyuman dan tentu mereka baru saja datang. Tapi kenapa bisa ada di sini? Mendadak nafasku jadi tak terarah lagi. Rasa sakit yang menumpuk membuatku harus ke toilet untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.     

Kutatap diriku di cermin. Semua tampak baik-baik saja. Hanya hatiku yang merasa tidak demikian. Setelah aku mencoba untuk menerima ajaka ini demi menghilangkan pikiran-pikiran negatif itu, kini aku seperti ditampar oleh karma. Aku melihat keduanya ada di tempat yang sama denganku.     

Zen dan Rosi benar-benar seperti sepasang kekasih dengan senyuman lebar. Bahkan aku bisa melihat Rosi mengalungkan tangannya di lengan Zen. Rasa cemburu tiba-tiba membakar darahku hingga berdesir.     

Ponselku berbunyi membuatku tersentak. Jeremy meneleponku, ia pasti mencari-cari keberadaanku.     

"Dai, kamu di mana?" tanyanya.     

"Jer, aku di toilet," kataku akhirnya. Tadinya aku ingin membuat alasan bahwa aku merasa tidak enak badang dan ingin pulang. Tapi rasanya tidak sopan sekali dan aku juga merasa tidak enak padanya yang sudah sebaik itu padaku.     

"Oke, aku ke toilet," katanya dan mematikan panggilannya. Padahal tidak perlu, tapi kurasa Jeremy sudah terlalu khawatir padaku.     

Tak lama Jeremy muncul, tidak peduli ia berada di toilet wanita saat ini. Aku hanya tersenyum padanya. Tapi aku juga harus bertanya padanya tentang Zen.     

"Jeremy, aku mau tanya sesuatu," ujarku.     

"Ayo, kita keluar dulu."     

Setelah di depan toilet, Jeremya menatapku dan menungguku untuk bertanya. "Apa kamu kenal dengan laki-laki bernama Zen itu?" tanyaku seraya menunjuk ke arah Zen dan Rosi.     

"Hmm, aku nggak mengenalnya begitu dalam. Dia adalah salah satu klien Papaku, dan mereka dekat, jadi Papaku mengundangnya bersama kekasihnya. Ada … apa?" jelasnya dan ia merendahkan suaranya begitu menyadari sesuatu.     

Aku mengangguk untuk mengiyakan kesadarannya itu. "Dia, bakal mantan suamiku," jelasku.     

"Dai, maaf … aku nggak tahu namanya. Dan, ah, betapa bodohnya aku sedari awal juga nggak tanya nama mantan suamimu itu," katanya merutuki diri sendiri.     

"Nggak apa-apa, Jer. Sidang akan berlangsung seminggu lagi. Aku cuma butuh untuk merasa kuat di depannya. Apa kamu mau membantuku juga?"     

Jeremy mengangguk dan kami mulai berjalan. Tangannya merengkuh pinggangku dari belakang. Awalnya aku ragu ide itu terlalu berlebihan, tapi melihat Zen baik-baik saja bersama Rosi, rasanya tidak masalah jika aku melakukan hal yang sama.     

Aku tidak tahu korelasi Papanya Jeremy dengan Zen apa. Tapi sepertinya orang tuanya tidak tahu bahwa aku pernah menjadi istrinya Zen. Jadi, untuk saat ini aku merasa aman. Tapi saat Zen dan Rosi melihatku, mereka diam dan kaku. Aku bisa melihat Rosi melepaskan genggamannya dari Zen. Sementara Zen, matanya terus menangkap satu tangan Jeremy yang melingkar di sekitar pinggang belakangku.     

Kami berkenalan secara formal dan, benar, semuanya menganggap aku adalah kekasih Jeremy tanpa Jeremy punya kesempatan untuk menjelaskan yang sebenarnya.     

Aku hanya tersenyum seraya sesekali menatap Zen yang merasa kesal sepertinya, ketika mendengar aku dan Jeremy berpacaran. Ia pasti tidak menyangka, padahal kami hanya bersandiwara.     

Kulangkahkan kakiku menuju toilet lagi setelah izin sebentar, karena merasa lipstiku menghilang. Jadi aku memolesnya lagi dan terlihat lebih hidup dari pada saat lipstik itu menghilang dari bibirku.     

Saat aku akan keluar dari toilet, tiba-tiba Zen masuk dengan wajah tegangnya. Ia membawaku ke dalam salah satu bilik dan mengunci pergerakanku. "Jadi, karena pacar barumu, kamu mau bercerai dariku?" tanyanya kesal.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.