BOSSY BOSS

Chapter 69 - Mom's Secret



Chapter 69 - Mom's Secret

0"Aku nggak merasa keberatan dengan semua ini, Dai. Aku-"     

"Jeremy … tolong, mengerti posisiku. Aku hanya nggak ingin terlalu dekat dengan laki-laki untuk saat ini," jelasku memotong ucapannya.     

Akhirnya aku dan Jeremy saling diam di jalan. Mobilnya berhenti tepat di depan rumahku. Aku mengucapkan terima kasih padanya dan meminta maaf atas segala ucapanku. Jeremy hanya membalasnya dengan senyuman lalu pergi setelahnya.     

Aku, belum apa-apa sudah menyakiti hati seseorang. Entah apa yang harus aku lakukan saat ini selain hanya pasrah dengan keadaan.     

Masuk ke rumah, Ibu tidak ada. Biasanya ia memang jam segini tidak ada, aku tidak tahu alasannya apa yang jarang di rumah di jam-jam segini, padahal hari sudah malam.     

Sempat terpikir olehku untuk mencari pekerjaan yang lain. Mungkin aku harus mencoba di perkantoran. Lumayan jika ijazah sarjanaku terpakai untuk pekerjaan itu.     

Aku mengirim beberapa lamaran ke beberapa perusahaan yang mana aku berharap semoga ada kabar baik. Lalu aku menutup laptopku dan dan mencoba berbaring.     

Matahari belum terbit, aku sudah terbangun dengan keadaan jauh lebih bugar. Kulihat Ibu sedang menyapu halaman. Aku membantunya dan sekaligus bertanya ke mana ia semalaman dan selalu seperti itu setiap malam.     

"Bu," sapaku.     

"Loh, udah bangun?"     

"Memangnya aku ini pemalas banget ya, Bu, sampai jam segini udah bangun aja ditanyain?" tanyaku kesal.     

Ibu tertawa dan melanjutkan sapuannya.     

"Bu, semalam ke mana, sih? Bukan cuma semalam sih, tapi lebih tepatnya Ibu setiap malam nggak ada di rumah di saat aku pulang kerja," tanyaku jelas.     

"Ibu ada urusan, Dai. Kamu nggak perlu tahu."     

"Urusan apa sampai malam hari gitu, Bu?" Walaupun ada larang aku yang tidak perlu tahu urusannya, tetap saja rasanya aku penasaran dengan apa yang Ibu lakukan di malam hari ini.     

"Dai, nggak sekarang. Nanti kamu juga tahu," jawabnya singkat. Beliau lalu memasukkan sampah halamanke tempatnya dan masuk ke dalam rumah meninggalkanku yang masih diam.     

Kalau sikapnya seperti itu, jelas sekali ada hal yang Ibu sembunyikan tapi tidak berani ia katakan padaku. Tapi apa? Bahkan ketika Ibu pergi, aku saja tidak tahu.     

Aku berpamitan berangkat kerja dan memilih memikirkan tentang Ibu nanti saja jika ada waktu yang tepat untuk memata-matainya.     

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Sebuah notifikasi masuk dan di situ jelas tercetak bahwa aku mendapatkan kesempatan untuk interview di salah satu hotel yang aku lamari semalam.     

Untungnya interview itu dilakukan di hari Senin ketika aku masuk siang. Jadi paginya aku bisa interview dengan leluasa.     

Saat sampai kedai, maksudku, belum benar-benar sampai kedai, aku melihat Zen berdiri di sana. Bagaimana ia tahu tempat kerjaku dan jadwalku? Lalu, untuk apa dia ke sini?     

Mata Zen bertemu denganku dan ia mendekat. Aku memang sengaja tidak melangkah ke dekat kedai karena aku tidak mau teman kerjaku tahu bahwa mantan suamiku ke sini. Walau mereka tahu siapa mantan suamiku.     

"Ada apa?" tanyaku dingin. Hal-hal seperti ini yang tidak bisa kuhindari. Sejauh apapun aku mencobanya.     

"Aku hanya ingin memastikan dengan benar sekali lagi, apakah-"     

"Iya, keputusanku udah bulat, Zen. Aku ingin cerai," kataku memotongnya.     

Aku sudah tahu niatnya saat ia ingin memastikan itu. Untuk apa juga aku menjilat ludahku sendiri? Aku tahu aku mencintainya, tapi aku juga tahu diri bahwa kadang cinta tak harus memiliki.     

Zen tergelak dan kemudian menciumku refleks begitu saja. Iya, mencium bibirku yang mana aku aku menahan diri untuk tidak meresponsnya.     

Kudorong tubuhnya perlahan sebelum banyak orang melihat. "Cukup," kataku. "Kamu udah ada Rosi. Apalagi dia mengandung anakmu, kan? Sebaiknya fokus di sana."     

"Dia udah menggugurkannya," katanya memberitahu.     

Hatiku mencelos begitu ia mengatakannya. Ada nada sedih dalam dirinya. Mungkin ia memang mengharapkan anak itu ada dalam kehidupannya, sebab anaknya bersama Kanya, tidak tinggal dan hidup berdampingan dengannya.     

Rosi juga ternyata benar-benar dengan ucapannya. Ia benar, ia memang belum siap untuk hal itu.     

"Oh. Lalu jangan anggap aku akan mau kembali, Zen," kataku dengan tega.     

Aku melihat dari kejauhan Putri berjalan menuju kedai. "Aku harus bekerja," kataku dan berlalu. Zen tidak mencegahku. Ia mungkin berbalik untuk melihatku, tapi tidak sedikit pun aku berbalik untuk melihatnya.     

***     

Senin itu tiba. Aku sudah siap dengan pakaianku ala kantor maupun hotel. Dokumen untuk wawancara juga sudah siap, kini aku tinggal berangkat tanpa memberitahu Ibu. Lagi pula, ia sedang tidak ada di rumah.     

Hotel Stars Home. Itulah nama tempat yang kelak akan menjadi tempat kerjaku nantinya. Kini aku berdiri di parkiran dan diam sejenak. Entah kenapa, proses wawancara hari ini aku yakin pasti berhasil. Maksudku, aku akan bekerja di sini setelah hari ini berlalu.     

Aku duduk di sebuah kursi bagian ruang tunggu untuk menuju human resource department sesuai instruksi. Ada beberapa calon pelamar yang berpenampilan sepertiku. Rasanya canggung dan membuat jantungku berdegup kencang.     

Setelah tiba giliranku, aku masuk ke dalam. Proses wawancaraku akhirnya berjalan sesuai rencana selama kurang lebih lima belas menit.     

Lalu, di bagian akhir akan ada wawancara dengan pemilik hotel tersebut. Yang kudengar dari bisikan mereka, pemilik hotel tersebut adalah seorang laki-laki muda dan tampan. Tapi aku tidak begitu yakin karena menurut yang aku pikirkan, kebanyakan pemilik hotel adalah sosok tua dengan keriput di wajahnya. Maksudku, yah tidak terlalu tua.     

Tapi aku salah sangka. Penilaianku benar-benar salah. Gosip berbisik yang kudengar tadi ternyata mengungkapkan waktu.     

Kini aku ada di hadapan si pemilik hotel tersebut. Namanya Gruda. Wajahnya memang tampan, tidak tua sama sekali atau memiliki keriput. Malahan, pesonanya bisa kulihat dengan jelas.     

"Jadi, kamu Daisy?" tanyanya membuyarkan penilaianku sendiri.     

"A-iya, Pak. Saya Daisy," kataku akhirnya dengan kegugupan.     

"Saya suka latar belakangmu. Jadi, tanpa banyak bicara, selamat … kamu diterima di hotel Stars Home," ujarnya seraya mengulurkan tangannya untuk kujabat.     

Aku refleks berkedip berkali-kali. Mematung dan uluran tangan itu tidak langsung kubalas. Bagaimana bisa langsung secepat dari yang kupikirkan?     

"Daisy?" Gruda memanggilku.     

"Ya! Baik! Ah, maksud saya … terima kasih, Pak. Saya syok dan tidak tahu harus berkata apa," kataku kemudian dan membalas uluran tangannya untuk kujabat.     

Gruda tersenyum dan terkekeh. "Ini ada form yang harus kamu isi mengenai apa yang kamu inginkan selama bekerja di sini, gaji berapa dan lain sebagainya. Kemudian di situ terlampir SOP hotel, silakan dipelajari dan buat kamu sendiri. Sementara form-nya, kembalikan pada bagian HRD jika kamu udah selesai. Tolong hari ini juga ya untuk pengisiannya," jelasnya dan memberikan form yang harus kutulis dengan lampirannya lengkap.     

Aku menerimanya dan mengangguk. Lalu aku keluar dari ruangannya sebelumnya mengucap terima kasih, dan aku mulai mengisi form itu.     

"Yah, masa nggak diterima. Padahal gue yakin banget kalau gue bakal diterima." Aku mendengar salah satu pelamar menggerutu. Tapi aku mencoba fokus pada form itu.     

"Iya, dan katanya yang keterima itu cuma satu orang. Katanya sih dari awal udah ditandai gitu, maksudnya yang ditandai itu bakal langsung diterima. Siapa, ya?" Salah satunya membalasnya dengan penjelasan itu.     

Jadi, tidak ada yang diterima kecuali aku? Apakah yang dimaksud aku? Tapi aku rasa mereka tidak tahu apa-apa.     

"Wah, iya? Berarti si pelamar itu penggoda kali. Atau melet? Ih! Ngeselin, deh! Cabut, yuk! Gue nggak mau ngelamar lagi di hotel ini!"     

Mereka pergi begitu saja setelah merasa kesal dengan hasil keputusan. Tapi beruntunglah jika salah satu dari mereka tidak ada yang tahu bahwa akulah yang diterima di sini.     

Tapi, mendengar penjelasan mereka, jelas membuatku merasa bersalah. Padahal aku tidak melakukan apapun, tapi pihak atasan sendiri sudah langsung menerimaku.     

Sudahlah, apapun yang terjadi, di sini aku hanya ingin bekerja untuk diriku sendiri.     

Aku langsung kembali ke rumah setelah selesai melakukan wawancara dan segala macamnya. Sudah diterima juga, kini saatnya aku membuat surat pengunduran diriku untuk kedai. Bagaimanapun, sesuatu yang dimulai dengan baik, maka harus diakhiri dengan baik juga.     

Jadi hari ini aku tetap bekerja dan memberikan surat pengunduran diriku. Lagi pula, aku mulai bekerja di tempat baru juga dimulai Senin minggu depan.     

Aku melihat Ibu yang sedang duduk di depan televisi. Ia sepertinya baru saja kembali dari tempat yang tidak kuketahui. Entah kenapa sejak kembali tinggal bersamanya, Ibu jadi sedikit berbeda.     

"Dai, Ibu mau bicara," katanya membuatku berhenti masuk kamar.     

Aku pun duduk di sisinya untuk mengetahui apa yang ingin dibicarakannya.     

"Ibu akan menikah dengan seorang duda yang mempunyai dua anak laki-laki."     

Singkat, padat, jelas dan tanpa merasa gugup, tiba-tiba Ibu memberitakan sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan akan terjadi.     

Perlahan aku jadi sadar selama ini Ibu ke mana saja tanpa memberitahuku. Tapi, menikah? Bahkan aku sendiri tidak tahu siapa Ayah kandungku.     

"Namanya Pak Thomas. Yah, Ibu kenal beliau saat dia menolong Ibu ketika kamu masih bersama Zen. Saat itu ban sepeda motormu bocor, dan beliau datang menolong Ibu. Jadi yah, hubungan kami sampai sekarang," jelasnya.     

Aku masih terlalu kaku mendengar semua pengakuan ini. Tidak masalah jika Ibu memang ingin menikah dengan pilihannya. Tapi, kenapa juga harus menyembunyikannya sedari awal?     

"Dua minggu lagi, kami akan menikah. Hanya keluarga inti saja yang terlibat, Nak."     

Aku menarik dan menghembuskan nafasku. Sebisa mungkin aku harus menerima ini. Penolakanku tidak akan ada artinya jika Ibu terlihat benar-benar memiliki tekad bulat untuk menikah dengan laki-lakinya.     

"Dia baik, kok. Kamu pasti menyukainya. Dia tahu banyak tentang kamu. Dua anak laki-lakinya namanya Raja dan Raka. Keduanya tinggal di luar negeri. Dan-"     

"Berhenti, Bu," kataku menghentikannya. Aku tidak ingin mendengar apapun tentang latar belakang calon suami Ibu hanya untuk mengambil alih perhatianku. Ia tentu memasang wajah kecewanya saat itu juga.     

"Terserah Ibu jika memang ingin menikah. Ibu punya pilihan dan aku juga demikian," timpalku kemudian.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.