BOSSY BOSS

Chapter 66 - That New Guy is Jeremy



Chapter 66 - That New Guy is Jeremy

0"Eh, kenapa? Kamu … jangan sampai menyesal nantinya," responsku ketika aku teringat saat pertama kali tahu aku mengandung anak Zen.     

"Karena aku tahu Zen nggak akan bersamaku, Daisy. Dan aku belum siap untuk ini." Aku paham bagian di mana ia belum siap untuk menerima bahwa ia akan menjadi seorang Ibu. Tapi tidak akan bersama Zen? Memangnya apa yang ia pikirkan?     

"Kamu tahu dari mana bahwa kamu nggak akan bisa bersama Zen?" tanyaku.     

"Dia nggak mencintaiku, Daisy. Aku udah bilang kan, sebelumnya?" Aku sampai harus memijit pelipisku karena terlalu pusing memikirkan apa yang Rosi pikirkan. Ia berpikir begitu, tapi entah kenapa aku tahu bahwa Zen menyukainya. Lagi pula aku tidak bisa memaksakan sesuatu padanya. Jadi, biarlah itu menjadi urusannya.     

Saat ini aku lebih tertarik dengan bagaimana mereka bertemu. Aku harus tahu semuanya hingga rasa penasaranku benar-benar hilang. "Oke, itu adalah keputusanmu. Aku nggak akan mencampurinya. Tapi sebaiknya kamu memberitahunya. Dan satu lagi, apa aku bisa tahu bagaimana kamu bisa mengenal Zen?"     

Aku tidak menyangka bahwa Zen adalah mantan kekasihnya di masa SMA. Aku pikir Zen hanya memiliki Kanya sebagai mantan kekasihnya di masa SMA. Ternyata aku salah. Tentu saja aku salah. Mengapa aku berpikir bahwa Zen memiliki satu mantan kekasih di masa SMA, sementara bisa saja ia memiliki lebih.     

Ada perasaan menyesal telah menanyakannya. Karena aku bisa menangkap rasa cemburuku, mengetahui bahwa Rosi memang lebih tahu tentang Zen daripada aku. Itulah kenapa ia mengatakan bahwa ia dan Zen tidak akan bersama. Tapi, siapa yang tahu tentang masa depan, bukan?     

Rosi menjelaskan tanpa jeda. Aku pun mendengarnya dengan perasaan bercampur aduk dalam diriku. Terkadang aku menangkap rasa bahagia dalam dirinya ketika menyebutkan nama Zen di beberapa hal.     

Ternyata cemburu itu seperti ini. Ketika kamu tidak bisa mengatakan perasaanmu padanya, ketika itu juga perasaan itu lebih terluka dari apa pun juga.     

"Itu aja yang bisa aku jelasin, Daisy. Apa ada hal lain lagi yang kamu mau tahu?" tanyanya ketika ia sudah sampai akhir dari ceritanya.     

"Nggak ada. Dan rasanya nggak akan ada. Aku akan bercerai padanya, ingat? Aku cuma butuh itu aja, Rosi."     

"Hmm, apa Zen tahu kamu ke sini?" tanyanya.     

Aku menggelengkan kepalaku. "Tolong jangan katakan apa pun padanya bahwa aku ke sini. Anggap aja kita nggak saling kenal, oke?"     

"Oke, senang akhirnya aku bisa kenal kamu dengan cara yang baik seperti ini," ujarnya tersenyum.     

Aku membalasnya dengan senyuman juga. Rasanya Rosi selalu tersenyum ketika ia berbicara. Pesonanya benar-benar luar biasa. Aku yang wanita saja bisa menilainya seperti itu. Sangat mustahil jika Zen tidak menyukainya.     

"Omong-omong, aku harus pulang. Udah sore banget," kataku undur diri.     

"Oke. Apa kamu keberatan kalau aku minta nomor hp-mu, Daisy?" tanyanya.     

"Oh, nggak masalah. Silakan," kataku seraya memberitahukan nomorku padanya.     

Rosi mengantarku sampai depan dan aku berterima kasih padanya untuk waktu yang ia berikan. Aku sedikit menyesal karena tidak membawakan apa pun saat berkunjung. Apalagi aku bertamu lebih dari waktu yang kuperhitungkan.     

Sampai rumah, aku melihat mobil Zen terparkir. Untuk apa itu datang? Bahkan tidak memberitahuku sama sekali. Kuhembuskan nafasku secara teratur. Aku harus bersikap senormal mungkin dan cuek padanya. Satu-satunya cara membuktikan bahwa aku sudah tidak peduli padanya.     

"Ada apa ke rumah?" tanyaku langsung ketika masuk. Ia sedang berbicara dengan Ibuku.     

"Daisy, dia datang dengan niat baik. Jangan begitu, Nak," celetuk Ibu.     

"Ibu bisa tinggalkan aku sebentar dengannya?" pintaku. Ibu langsung meninggalkan aku bersama Zen. Aku duduk di tempat Ibu duduk tadi. Kami benar-benar berjauhan dan tak bersentuhan sama sekali.     

Zen tampak diam dan menunduk. Ia tidak langsung bicara padaku dan malah aku yang harus memulainya lebih dulu. "Ada apa?" tanyaku. Kali ini nadaku lebih rendah daripada tadi.     

"Aku menerima perceraianmu, Daisy. Aku … "     

"Katakan aja," potongku karena tidak sabar dengan apa yang ingin ia katakan.     

"Rosi … dia hamil. Aku melihat tes kehamilannya di kamar mandiku," ujarnya.     

Zen memberitahuku tanpa menatapku. Aku sudah menduga ia akan tahu. Sebab Zen juga tidak sebodoh itu tidak memperhatikannya. Caranya memberitahuku juga seperti beban baginya. Aku tahu ia mencintaiku dan di sisi lain, ia merasa beban itu semakin berat ketika tahu wanita yang ia tiduri berkali-kali mengandung anaknya.     

"Kalau gitu, kamu harus bertanggung jawab. Seperti ketika kamu bertanggung jawab pada Kanya dan … aku," balasku.     

Kudengar Zen menghela nafasnya dan merasa frustrasi. "Bagaimana jika Rosi tidak mau? Seperti Kanya? Apalagi dia membuang hasilnya tanpa memberitahuku hasilnya." Rasanya menyakitkan sekali ketika ia meminta saranku, seolah aku adalah temannya, bukan istri atau mantan kekasihnya.     

"Coba dulu aja. Kamu bukan laki-laki pesimis dan pengecut, kan?"     

***     

Pagi ini aku terbangun dengan sangat cepat. Matahari belum terbit, udara pagi masih dingin dan berkabut. Tapi aku enggan beranjak dari kasurku. Sebentar lagi aku akan menyandang status janda di usiaku yang masih cukup muda. Sebenarnya tidak ada yang berbeda, tapi beberapa orang pasti menganggapnya ada yang berbeda.     

Kemarin, Zen datang hanya untuk mengatakan itu. Sementara di lubuk hatiku mengharapkan ia mengejarku. Begini ya, ternyata mengharapkan seseorang yang tidak mungkin menjadi milik kita. Aku baru tahu kalau cinta tak harus saling memiliki itu seperti ini.     

Walau begitu, aku harus bersikap realistis. Aku yang meminta cerai, aku juga yang harus menghadapinya dengan kuat. Tidak mungkin aku mengemis cinta pada Zen. Lagi pula, aku sendiri tidak ingin jatuh di lubang yang sama. Sudah cukup hubunganku dan Zen begitu toxic.     

Di tempat kerja, aku sudah lihai dalam bidang pekerjaanku sebagai pelayan. Kembali menjadi seorang yang seharusnya memang menyenangkan. Apalagi aku menyukai pekerjaan ini.     

Ada Farah, Anggi dan Putri yang menjadi teman baruku di sini. Mereka semua baik padaku dan mereka cukup tahu kehidupanku sebagai istri yang akan menjadi janda.     

"Tuh, Jeremy kayaknya tahu jadwalmu, ya? Dia datang terus," timpal Putri menunjukkan gestur ke arah Jeremy yang baru saja masuk ke dalam kedai.     

"Dia kan memang suka menu di sini. Jangan mikir yang bukan-bukan, deh," balasku.     

"Kita lihat aja, dia pasti suka sama kamu, Dai … "     

Aku mengabaikan ucapan Putri dan kembali bekerja untuk mengantar pesanan-pesanan para customer. Kulihat Jeremy selalu duduk di kursi dan meja saat pertama kali aku dan dirinya bertemu. Ia memang selalu datang sesuai dengan jadwal kerjaku. Aneh sih, tapi aku tidak mau menganggapnya sesuatu yang istimewa.     

Bukannya aku tak ingin membuka perasaanku pada laki-laki lain. Masalahnya adalah, aku masih mencintai bakal mantan suamiku. Aku nggak mungkin menyukai laki-laki lain demi membunuh perasaanku pada Zen. Hal yang seperti itu tidak akan bekerja di sebuah hubungan, malahan hubunganmu akan rusak.     

Saat jam kerjaku selesai, aku keluar dan Jeremy mengejarku. Aku tidak mengendarai sepeda motorku karena jarak kedai ke rumah cukup dekat. Jadi, lebih sehat jika aku berjalan kaki.     

"Hei," sapanya di sampingku, menyamakan langkah kakiku.     

"Hei, Jer … kamu udah selesai ngopi?" tanyaku basa-basi.     

"Ya. Udah. Omong-omong, apa kamu ada waktu nanti malam jam tujuh?"     

Aku langsung menggelengkan kepalaku. Aku memang tidak ada jadwal apa pun hari ini. " Ada apa?" tanyaku.     

"Hmm, keberatan nggak kamu ikut aku ke restoranku yang baru akan opening nanti malam?" tawarnya.     

Langkahku terhenti ketika ia mengatakan 'restoranku'. Aku sungguh tidak tahu bahwa Jeremy memiliki restoran. "Aku nggak tahu kamu punya restoran," balasku penasaran.     

Jeremy tersenyum seraya menggaruh bagian tengkuknya yang kurasa tidak gatal. "Sebenarnya aku cukup malu mengakuinya, karena kamu pasti berpikir seorang cowok punya restoran, pasti aneh, kan?"     

Kini aku yang tertawa besar. Sampai tawaku cukup berhenti dan baru aku menjawab ucapannya, "duh, kamu mikirnya begitu? Dokter psikiater macam apa kamu kalau mikirmu sampai situ? Ya nggaklah, malahan keren banget kalau kamu punya usaha sendiri di samping profesimu itu."     

"Jadi, kamu nggak merasa aku aneh atau apa?" tanyanya memastikan.     

"Coba jelaskan ke aku, kenapa aku harus merasa aneh atau semacamnya?"     

"Karena teman-temanku menganggap aku cowok aneh. Baik dulu di bangku kuliah bahkan sampai sekarang."     

Aku tersenyum padanya sebagai rasa perhatianku. Jeremy, menurutku bukan laki-laki yang aneh. Justru karena bantuannya, aku merasa sangat berterima kasih. "Menurutku, kamu unik. Kamu punya cara sendiri bikin orang nyaman sama kamu. Itu yang aku rasakan sejak bertemu dengan kamu, Jer. Ini kejujuranku, ya."     

Wajahnya terlihat cerah, secerah kulit putihnya. "Begitu? Jadi, apa kamu mau ikut?" tanyanya.     

"Tentu. Aku akan senang banget diajak ke opening restoranmu itu. Jadi, apa yang kamu pikirkan sampai kamu membuka sebuah restoran?" tanyaku.     

"Pertama, karena aku memang ingin punya kepemilikan sendiri di samping profesiku ini. Kedua, aku mau membagikan menu-menu restoran kepada orang yang nggak mampu untuk makan di setiap hari Minggu. Aku ingin memiliki sesuatu yang memuliakan orang-orang, Dai," jelasnya.     

Aku terperangah dengan niat kejujurannya itu. Walau terdengar baru teori, tapi aku rasa Jeremy memang orang yang seperti itu. "Wow, keren Jer! Apa aku bisa ikut membantu setiap hari Minggu itu?" tanyaku mengajukan diri.     

"Dengan senang hati. Nah, sekarang udah sampai rumahmu," katanya dan aku baru sadar bahwa ini sudah di depan rumah. Berarti sedari tadi Jeremy hanya mengantarku seraya kami mengobrol.     

"Jangan bilang kamu … "     

"Memang niatku mengantarmu pulang, Dai. Masuklah, nanti setengah tujuh aku jemput, oke?"     

Aku mengangguk dan berterima kasih. Lalu aku masuk ke dalam rumah dan berbalik melihat Jeremy belum juga beranjak. Kulambaikan tanganku dan aku benar-benar menghilang dari pintu rumahku. Setelah itu aku iseng melihat apakah Jeremy sudah pergi, ternyata sudah.     

Sepertinya Jeremy tadi ingin memastikanku untuk masuk ke dalam rumah dan ia baru akan beranjak meninggalkan rumahku. Rasanya seperti Zen saat hubungan kami masih baik-baik saja. Rasanya benar-benar dejavu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.