BOSSY BOSS

Chapter 65 - Bertemu Dengan Rosi



Chapter 65 - Bertemu Dengan Rosi

0Aku memandang Zen dengan wajah mengejekku. Jelas sekali ia terkejut melihat rupaku sekarang. Ia pasti juga tidak menyangka bahwa aku akan datang ke apartemennya. Dengan masukan dan dukungan Jeremy, tentu saja aku bisa berdiri menghadapnya.     

Sebelum Zen masuk, aku sedikit terkejut melihat keadaan sekitar apartemennya. Zen benar-benar banyak bercinta dengan wanita itu. Melihat beberapa pakaian yang terbuang di sembarang tempat dan benda-benda yang terjatuh, aku bisa membayanginya. Aku tahu bagaimana Zen saat bercinta.     

"Daisy," katanya berusaha terlihat normal.     

Aku tersenyum sinis padanya. Satu tanganku berkacak pinggang menatapnya. Aku benar-benar tidak duduk di sofa atau di mana pun. Rasanya aku tidak akan mau berada di tempat bekas percintaannya dengan wanita lain.     

"Sangat agresif," kataku menilai sekaligus mataku berputar ke segala arah. Zen mengikuti gerakan kepalaku melihat sekelilingnya. Ia pasti baru sadar akan hal itu.     

Zen tidak bergerak sama sekali dari tempatnya berdiri. Ia terlihat seperti baru saja tertangkap basah. Padahal wanitanya itu sudah pergi. Tapi suami mana pun yang merasa bersalah, akan berkelakukan sepertinya.     

"Aku ke sini cuma mau bilang, bahwa aku benar-benar ingin bercerai dari kamu, Zen," kataku memberitahunya.     

"Apa? Nggak! Kamu bilang kamu memberiku waktu tujuh hari untuk membereskan semuanya dengannya," katanya terkejut.     

"Aku berubah pikiran. Aku nggak mau berada di hubungan yang beracun, Zen. Tolong jangan paksa aku untuk meneruskan pernikahan ini. Lagi pula, aku nggak mencintaimu." Sejujurnya di bagian akhir kalimat aku berbohong. Aku sadar bahwa aku sudah mencintainya, tapi jika aku lebih jujur padanya, pasti akan terasa berat nantinya.     

"Daisy, kita bisa mengulangnya lebih baik. Aku-"     

"Nggak, Zen. Keputusanku udah bulat. Aku harap kamu menghargai keputusanku. Yang terjadi, biarlah terjadi. Dan aku rasa, kamu mulai memiliki perasaan sama wanita itu," ujarku jelas.     

"Namanya, Rosi," katanya memberitahu. "Dan aku nggak mencintainya!"     

Caranya memberitahu padaku mengenai nama wanita itu membuat hatiku teriris. Seolah ia tidak terima ketika aku mengatakan 'wanita itu' di hadapannya. Sampai sini sudah jelas sekali bahwa ia memang mulai memiliki perasaan padanya. Bukankah aku tidak boleh menghalangi perasaan seseorang yang sedang jatuh cinta?     

"Maaf, aku harus segera pergi. Besok aku udah mulai kerja dan aku harus bersiap-siap. Aku juga udah membawa beberapa barang pribadiku di sini, terima kasih buat semuanya, Zen." Aku langsung melangkah melaluinya membawa satu box yang berisi barang pribadiku.     

Ironisnya, Zen tidak mengejarku. Padahal langkahku sudah kuperlambat semungkin yang kubisa, tapi tetap saja, dia tidak mengejarku. Artinya, keputusanku untuk bercerai memang sudah benar.     

Setelah dari apartemen Zen, aku menuju rumah Ibu mertuaku. Aku harus memberitahunya secara pribadi dan meminta maaf untuk segalanya. Alangkah baiknya seperti itu daripada nanti beliau mendengarnya dari Zen, walau aku tahu Zen tidak akan melebih-lebihkan alasanku meminta ceria.     

Ibu mertuaku terdengar kaget begitu aku menyampaikan niat maksudku datang ke rumahnya. Sebisa mungkin aku tidak menangis dan malah tersenyum di hadapannya. Ini bukan saat yang tepat untuk bermenye-menye di depan Ibu mertua.     

Namun berbeda dari Zen, Ibu mertuaku terkesan menerima segala keputusanku. Beliau memang bijak dalam menyikapi hal-hal yang telah terjadi. Malah, beliau meminta maaf mewakili anaknya, atas perbuatan Zen selama ini di belakangku.     

"Terima kasih, Ma. Walau nantinya kita bukan anak menantu dan mertua lagi, tapi Mama Neva akan menjadi Ibu keduaku," kataku menghiburnya.     

Aku tersentuh melihat Ibu mertuaku menangis di hadapanku. Benar-benar tulus dan merasa bersalah. Tapi sudahlah, yang terjadi akan tetap seperti itu dan tak bisa dirubah.     

Tak perlu waktu lama, aku pun lekas pergi dari rumahnya dan kembali ke rumahku. Sampai rumah, aku baru merasa lelah. Kududukkan bokongku di atas kursi ruang tamu dan memandang depan dindingku dengan datar. Baru setelah itu aku sadar aku tak sekuat itu. Aku mulai menangis. Menangis sebisaku. Kata Jeremy, tidak masalah aku menangis di saat tidak ada orang, malah itu adalah the best heal. Secara tak langsung, aku mengeluarkan racun-racun dari dalam tubuhku.     

Masih dalam keadaan menangis, aku langsung mengeluarkan isi-isi barangku yang ada di dalam box. Aku benar-benar cekatan mengambil barang yang bukan milik Zen, sehingga tentu aku tidak perlu merasa terkenang dengan barang-barangnya itu.     

Kuusap air mataku dan kemudian aku teringat saat aku tadi berada di apartemen Zen. Aku menemukan sebuah alat tes kehamilan di kamar mandi yang telah di buang di tempat sampah. Kenapa aku bisa tahu? Karena aku melihat hanya tes kehamilan itulah yang menjadi sampah, tidak ada sampah lainnya.     

Apakah wanita itu hamil dan tak mau mengatakannya pada Zen lantas ia membuangnya? Apa dia pikir Zen tidak akan tahu ia membuangnya? Ck! Kenapa juga aku harus memikirkan serumit itu? Itu kan, urusannya bukan urusanku. Tapi aku menemui wanita itu, setidaknya berbicara sedikit padanya. Aku tidak akan memarahinya. Mungkin memang ada ada rasa cemburu dalam diriku karena ia berhasil merampas hati Zen saat aku tidak ada, tapi lagi-lagi aku harus tahu bahwa yang terjadi biarlah tetap seperti itu.     

Karena aku masih menyimpan nomor Tino, aku menghubunginya untuk membuat aku bertemu wanita itu tanpa Zen ketahui. Ya, aku memang harus menemuinya dan berbicara empat mata padanya.     

Setelah Tino bisa memastikan dan memberitahukanku mengenai pertemuanku bersama wanita itu, aku pun mulai mengosongkan jadwalku. Sebenarnya aku tidak sibuk-sibuk sekali. Hanya saja karena aku besok mulai bekerja di kedai kafe yang terletak dekat rumahku, aku harus memastikan aku bisa menemui wanita itu di saat aku pulang kerja.     

Aku pun menaruh barang-barangku di kamar dan menatanya. Kusimpan foto-foto pernikahanku bersama Zen di gudang dan menutupnya sebisaku agar aku tidak perlu melihatnya lagi.     

***     

Hari pertama kerjaku berjalan lancar. Saking lancarnya, tidak terasa aku sudah bisa kembali pulang. Aku langsung mandi dan bersiap-siap menemui wanita itu, wanita yang bernama Rosi.     

Dulu, aku bisa mengemudikan mobil yang di fasilitasi Zen, dan sekarang aku harus menaiki sepeda motorku yang cukup lama tidak kupakai. Tapi bukan masalah, aku hanya mengingat beberapa momen yang kulalui itu.     

Dan sekarang, di sinilah aku. Aku berdiri memarkir sepeda motorku di sebuah kost-kostan bebas. Rosi ternyata anak kost, sesuatu yang tidak kubayangkan sebelumnya.     

Aku sudah mendapatkan nomor kamarnya, hanya tinggal masuk dan menemuinya. Tapi langkahku berhenti ketika aku melihat seorang wanita yang tak asing, pernah kulihat di televisi, saat itu. Dia Rosi.     

Rosi melihatku dengan keterkejutan di wajahnya. Aku berusaha tersenyum padanya dan ia mulai membalas senyumanku dengan bibirnya. Ternyata ia manis. Tidak heran Zen menyukainya.     

"Apa kita bisa berbicara?" tanyaku padanya.     

Sepersekian detik tidak ada balasan dari Rosi sampai aku harus membangunkannya dari lamunannya. Ia benar-benar tidak percaya dengan kedatanganku, kurasa.     

"Ah, iya. Silakan masuk," katanya kemudian.     

Pakaiannya terlihat sederhana, kemungkinan ia akan keluar ke tempat yang dekat. Sebab tidak mungkin dengan pakaian ala kadarnya itu ia bekerja, kan? Jadi aku berasumsi sendiri.     

Rosi membawaku menuju kamarnya yang luasnya cukup untuk diisi beberapa orang. Ada dua kursi dan satu meja. Ia pun mempersilakanku untuk duduk di sana sementara ia membuat minuman.     

Aku melihat bagaimana cara Rosi berjalan dan penampilannya yang cukup mirip denganku. Langkahnya benar-benar anggun. Mungkinkah kesamaan pada diri Rosi dan aku, membuat Zen menyukainya? Aku jadi penasaran.     

"Silakan diminum, Mbak," katanya padaku.     

"Tolong panggil nama aja. Kita belum berkenalan dengan resmi. Aku Daisy," kataku seraya mengulurkan tanganku padanya.     

"Rosi," balasnya dengan senyuman.     

"Maaf, apa tadi aku mengganggu kamu?" tanyaku padanya. Ia ikut duduk di hadapanku/     

Rosi menggeleng dengan senyumannya. "Tadi sebenarnya mau ke supermarket depan, Mbak. Hmm, maaf Daisy, maksudku."     

Aku mengangguk paham. Lalu selama beberapa menit kami sama-sama terdiam. Lidahku rasanya kelu untuk menyampaikan niatku. Ada rasa ngilu dalam hati ini karena wanita di hadapanku ini sepertinya sangat sering tidur bersama Zen selama aku tidak ada.     

"Daisy, apa ada yang ingin kamu katakan?" tanyanya memulai lebih dulu.     

"Hmm, ya. Langsung aja, aku sedang proses bercerai dengan Zen," kataku memberitahu. Rosi terlihat terkejut. Ia pasti tidak menyangka. Ia tidak mengatakan apa pun dan aku tahu saat ini dirinya merasa bersalah. Sebenarnya bukan sepenuhnya salahnya. Zen bahkan sudah mengkhianatiku cukup sering. Tapi aku tidak bisa mengatakan itu di depannya. Karena pasti ia berpikir nantinya ketika Zen bersamanya, Zen akan melakukan hal yang sama padanya.     

"Ini murni keputusanku, Rosi. Aku … nggak mencintainya. Dan aku nggak bisa melanjutkan pernikahan ini," kataku dengan alasan yang kubuat-buat.     

"Aku pikir kamu mencintainya dan perceraianmu karenaku," katanya.     

"Dari awal aku belajar untuk mencintainya sampai aku diculik oleh seseorang, aku merasakan cinta itu semakin nggak ada," balasku.     

"Tapi Zen begitu mencintaimu," ujarnya.     

Aku tidak membalas bagian itu. Yang aku tahu, jika seorang laki-laki mencintaimu, ia tidak akan berusaha atau mencoba mengkhianatimu. Tapi lagi-lagi aku tidak mengatakannya pada Rosi. Entah kenapa aku merasa bersalah jika harus membuatnya waspada pada sikap Zen.     

"Dan dia memiliki perasaan padamu," kataku kemudian.     

"Nggak mungkin. Hubungan kita bahkan hanya sebatas … " tiba-tiba ucapannya berhenti dan menatapku dengan perasaan bersalah. Aku mengangguk paham dan aku tidak apa-apa. "Maaf, aku nggak bermaksud menyakitimu, Daisy. Aku hanya … hanya nggak tahu bahwa kami akan sejauh ini," katanya kemudian.     

"It's ok. Aku nggak apa-apa. Sekarang, aku harus bertanya sesuatu padamu, Ros," kataku.     

"Ya, apa?"     

"Kemarin setelah Zen mengantarmu, aku menemukan sesuatu di apartemennya. Aku datang ke sana karena mau mengambil beberapa barang pribadiku. Dan saat aku ke kamar mandi, aku menemukan alat tes kehamilan yang menunjukkan bahwa positif. Apa itu milikmu?" tanyaku.     

Wajah Rosi menegang. Lalu ia refleks memegang perutnya. Dari situ aku sudah tidak perlu memerlukan jawabannya karena aku cukup yakin bahwa itu memang miliknya.     

"Tolong, jangan beritahu Zen. Aku harus menggugurkan kandungan ini," katanya yang lebih membuatku terkejut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.