BOSSY BOSS

Chapter 64 - Making Love



Chapter 64 - Making Love

0"Maaf, saya belum bisa memberitahu banyak," jawab Daisy.     

Jeremy tersenyum padanya. "Nggak apa-apa. Saya yang lancang bertanya banyak padamu. Saya tinggal di daerah sini. Biasanya ke sini karena memang sedang nggak bisa tidur."     

Daisy mengangguk paham apa yang dikatakan Jeremy.     

Ia berpikir bahwa tidak masalah jika ia berkenalan dengan laki-laki lain, bukan? Lagi pula Daisy melihat Jeremy sebagai laki-laki yang baik. Tapi Daisy juga merasa pusing dengan urusan Alvon dan Zen.     

"Wajahmu kelihatan sedih," ujar Jeremy.     

"Aku, cuma lelah aja. Iya, lelah."     

Jeremy tertawa kecil. Bukan bermaksud mengejek Daisy. Tapi ia tahu bahwa Daisy memang sedang bersedih.     

"Ini kartu namaku," tiba-tiba Jeremy memberikan kartu namanya. Kartu nama yang mencetak jelas namanya dengan huruf kapital dan mencantumkan apa pekerjaannya.     

Daisy menahan malunya dan tersenyum kecil. Ternyata Jeremy adalah seorang psikiater. Tentu saja ia tahu apa yang terjadi padanya.     

"Sekarang kamu tertawa," ujar Jeremy yang ikut tertawa.     

"Ya, aku merasa dibodohi," katanya tertawa lagi.     

"Dan aku merasa ditipu," tambah Jeremy.     

Semakin Daisy tertawa, semakin kelihatan akhirnya ia mulai menangis di hadapan Jeremy tanpa ia sadari. Dan di saat itu Jeremy berhenti tertawa dan membiarkan Daisy menangis dulu sepuas mungkin.     

"Maaf, ke-kenapa aku jadi menangis begini, sih?" kata Daisy kesal.     

"Menangislah, Daisy. Sepertinya kamu terlalu sering menahan beban atau masalah," ujar Jeremy.     

Daisy tidak perlu membenarkan ucapan Jeremy karena begitulah sebenarnya. Hanya saja ia belum menemukan sosok yang nyaman untuk diajak berbicara.     

"Kamu mau menceritakannya padaku?" tawar Jeremy.     

Akhirnya Daisy menceritakan semua hal-hal yang ia lalui. Tanpa ia kurangi juga. Ada guncangan hebat saat ia menjelaskan rasa sakit dikhianati suaminya sendiri.     

Daisy merasakan aneh saat ia menceritakan masalahnya pada orang asing. Tapi tidak bohong jika Daisy merasakan lega setelah menceritakan semuanya.     

"Jadi, kamu belum bisa mengakui bagaimana perasaanmu padanya, sementara ia sudah menyakitimu?"     

Daisy mengangguk.     

"Daisy, kamu sudah mencintainya. Apalagi yang membuatmu belum yakin?"     

Ini kesekian kalinya ia dinilai bahwa sudah mencintainya. Tapi Daisy takut ketika ia mengatakannya, malah akan semakin membuatnya merasa sakit.     

"Aku takut perasaanku semakin disakiti kalau aku mengatakannya, Jeremy," jawab Daisy.     

"Itu risiko jatuh cinta. Kamu nggak bisa menghindar dari rasa sakit."     

***     

Berita gosip Zen bersama Rosi sudah mulai surut. Sekarang diganti dengan berita bahwa penculik Daisy sudah ditemukan. Dan tentu media merasa penasaran dengan siapa orang itu.     

Kini Zen tinggal mengatur bagaimana membicarakannya pada Rosi. Sebenarnya banyak momen di mana ia bisa mengatakannya, tapi Rosi selalu memberinya kenikmatan hingga Zen merasa terkunci ketika bibirnya akan mengatakan yang sebenarnya.     

"Nanti malam aku balik, ya?" ujar Rosi dengan ceria.     

"Hmm, oke."     

"Kamu kenapa? Apa ada yang mau kamu katakan, Zen?"     

"Nggak ada. Yuk, aku antar kamu sampai kost." Mereka sempat berciuman dengan waktu lama sampai Rosi yang harus menghentikannya lebih dulu karena jika tidak, mereka akan beradu keringat lagi.     

Sepanjang perjalanan Zen hanya diam. Masih ada waktu lima hari lagi untuk mengatakannya.     

"Kalau ada yang mau diomongi, katakanlah. Kalau memang tentang istrimu, aku nggak masalah, Zen," kata Rosi lembut.     

Zen menatap Rosi yang tersenyum ke arahnya. "Lima hari lagi, dia akan di apartemen. Aku … aku disuruhnya untuk membereskan masalah kita."     

Seketika Rosi terdiam. Lalu bibirnya tersenyum tipis. "Kalau gitu, kita masih punya waktu untuk dinikmati, kan? Apa yang menjadi bebanmu sampai harus diam gitu? Aku tahu kita hanya sebatas ini, kok," kata Rosi membalas tanpa ekspresi sedih.     

Zen diam. Ia tidak mau membahasnya di saat seperti ini.     

"Daerah ini sepi, kan?" tanya Rosi.     

"Ya, ada apa?"     

"Menepi," perintah Rosi dengan senyuman. Zen menepikan mobilnya. Sementara itu, Rosi menutup tirai jendela mobil sehingga mereka benar-benar tidak melihat pandangan luar.     

"Ada apa, Ros?" tanya Zen bingung.     

"Ayo, aku ingin bercinta denganmu, Zen," katanya. Rosi langsung melepaskan pakaiannya hingga ia benar-benar telanjang.     

Tanpa pikir panjang, Zen menurunkan celananya dan membiarkan Rosi duduk di pangkuannya. Ia juga berusaha agar miliknya masuk ke milik Rosi. Mereka pun mulai bercinta.     

Lenguhan, keringat dan teriak Rosi membuat gila dan frustrasi. Ia terus mengguncangnya hebat dengan detakan jantung yang berpacu cepat.     

"Lagi, Zen! Lagi!" teriak Rosi memohon ketika pelepasan pertama telah terjadi.     

"Apa yang membuatmu begitu nikmat, Ros?" erang Zen karena ia begitu sangat bernafsu akannya.     

"Sampai aku lelah! Rasanya nikmat sekali di mobil!" seru Rosi tanpa menjawab Zen.     

Rosi bahkan naik turun dengan gerakan hebat dan cepat. Zen merasa benar-benar meledak dengan gerakan erotis Rosi yang penuh dengan godaan itu.     

"Kamu suka ini? Hah?" tanya Rosi memancingnya.     

"Hmm, ya … "     

"Kalau gitu, nikmati ini juga!" Rosi menyodorkan payudaranya dan semakin mempercepat gerakan naik turunnya itu. Sampai kedua tangan Zen memegang erat panggulnya dan membiarkan ledakan mereka terlepas begitu saja.     

"Kamu gila, Ros," ujar Zen ketika mereka selesai.     

"Kamu yang buat aku gila. Sekarang, apa bisa kamu mengemudi sambil bercinta?" tanya Rosi malu-malu.     

Zen menatapnya tercengang. Ia menelan ludahnya karena pertanyaan Rosi sangat membuatnya bernafsu.     

"Apa bisa?" tanyanya sekali lagi.     

"Ya, bisa. Biarkan tirainya terbuka, kaca mobilku hitam dan nggak ada yang akan tahu." Rosi langsung membukanya dan ia takjub dengan pemandangan yang begitu terang.     

"Aku sangat bergairah," katanya menggigit kecil telinga Zen. "Bersiaplah," ujarnya dan mulai berinisiatif membuat Zen naik.     

Zen langsung mengemudikan mobilnya dengan detak jantung yang berdetak cepat. Rosi lalu langsung naik begitu melihat Zen sudah bereaksi. Ia menggoyangkan panggulnya dengan perlahan membuat Zen gila.     

"Kenapa pelan? Yang cepat, Ros!" gertak Zen tak tahan.     

"Aku ingin menikmati ini. Diamlah, akan aku buat kamu merasakan bagaimana aku tidak ada duanya!"     

Lalu begitulah mereka bercinta seraya Zen mengemudikan mobilnya hingga mereka sampai di kost Rosi.     

"Kamu memang hebat," puji Zen.     

Rosi melenguh lelah. "Sebentar saja begini, ya?" pintanya masih dalam pangkuan Zen.     

"Bagaimana kalau aku naik … lagi?" tanya Zen yang tiba-tiba ia memang merasa tinggi lagi. Rosi langsung menatapnya dan membalikkan tubuhnya namun tetap duduk di pangkuan Zen. Ia membelakangi Zen dan menyampirkan rambutnya ke samping.     

"Ini terakhir," bisiknya pada Zen.     

Kali ini Zen yang mengguncang tubuh Rosi. Sementara Rosi mengikutinya namun ia membuat kedua tangan Zen menangkup payudaranya kuat dan ia menggerakan tubuhnya naik turun hingga keduanya benar-benar mencapai puncak.     

***     

Saat Zen sampai apartemen, ia langsung menuju resepsionis dan menanyakan apakah masih ada kamar kosong di lantai bawah kamarnya atau di atasnya.     

Beruntungnya di atas lantai kamarnya masih ada yang kosong, dan Zen pun memesannya sekaligus membayarnya kontan untuk dipakai minggu depan.     

Saat masuk ke dalam apartemennya, Zen dikejutkan oleh Daisy yang berdiri di dalam tanpa duduk.     

"Habis bercinta hebat, huh?" tanya Daisy tersenyum ejek.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.