BOSSY BOSS

Chapter 62 - Sebuah Rencana



Chapter 62 - Sebuah Rencana

0Hantaman langsung Zen berikan pada Alvon saat ia sudah pasti kantor Alvon. Ia tidak memberi ampun padanya sehingga leraian Dito pun juga percuma.     

Namun akhirnya sekuriti datang dan memisah mereka dengan paksa.     

Bibir Alvon sedikit robek hingga mengeluarkan darah di ujungnya. Wajahnya menjadi lebam dan Alvon tidak membalas pukulan Zen.     

Setelah terpisah, Alvon menahan senyumnya. Ia membiarkan sekuriti kantor dan anak buahnya keluar, agar waktu untuk Zen berbicara bisa terlaksana baik.     

"Jadi, gue udah menebak lo akan begini, Zen. Ck! Mudah sekali ya lo itu ditebak," kata Alvon menatapnya.     

"Apa yang udah lo racuni pada Daisy?" tanya Zen geram.     

"Gue nggak meracuni, gue cuma menunjukkan siapa suaminya sebenarnya."     

Sempat akan menghajarnya lagi, Dito langsung menahannya. "Zen, Zen … gue nggak berpikir kalau lo akan sebodoh ini. Tampang dan kekayaan bukan menjadi tolak ukur kalau lo sendiri aja nggak bisa berpikir dengan dingin."     

"Sialan!" teriak Zen kesal. Namun sekali lagi, Dito menahannya.     

"Dia aman bersama gue, Zen. Dia juga nggak menangis saat bersama gue. Pikirkan itu. Surat dari pengadilan juga udah turun, kan?"     

"Gue nggak akan mau bercerai dari Daisy!"     

"Oh ya, teruslah berusaha dan sebaiknya, lo Dito kan? Bawa sahabat lo keluar dari ruangan gue." Ada ekspresi terkejut ketika Alvon menyebut nama Dito. Padahal mereka tidak saling kenal. Namun walau begitu, Dito benar-benar langsung membawa Zen keluar.     

Kali ini Dito yang mengemudikan mobil. Ia membiarkan Zen menenangkan dirinya terlebih dahulu. Zen memang harus kelihatan lebih tenang seperti dulu, bukannya malah melakukan semua hal dengan emosinya. Dito sendiri merasa Zen berubah menjadi sosok yang penuh dengan emosi sejak bersama Rosi.     

Zen kembali ke apartemennya bersama Dito, sayangnya Dito harus segera kembali. Jadi ketika Zen masuk ke dalam, ia hanya sendiri dan melihat Rosi masih tertidur.     

Pikirannya kacau sekali setelah mendapatkan surat dari pengadilan mengenai perceraian yang diajukan Daisy. Ia harus segera bertindak untuk ke pengadilan. Membayar berapapun hingga meniadakan perceraian itu. Setidaknya membatalkannya.     

Buru-buru Zen bersiap namun dengan perlahan. Ia tidak ingin membangunkan Rosi yang masih kelihatan lelah. Setelah itu ia pun keluar lagi dari apartemennya.     

***     

Daisy terkejut melihat wajah Alvon yang terluka akibat perseteruannya dengan Zen. Alvon mengatakan bahwa ia baik-baik saja tidak perlu khawatir. Walau begitu, Daisy tetap mengobatinya perlahan.     

"Apa Zen … "     

"Dia baik-baik aja, Daisy. Aku sama sekali nggak membalas pukulannya," jawab Alvon memotong ucapan Daisy.     

"Kenapa kamu nggak membalasnya?"     

"Karena kalau dia terluka, kamu akan terluka dan menangis. Aku nggak akan melakukan hal itu."     

Daisy memilih tidak membalas ucapan Alvon. Ia tidak menyangka Alvon akan sebaik ini walau dia jugalah yang menculiknya dan membuat semua hal-hal baru terjadi. Setelah membersihkan luka Alvon, Daisy menuju dapur. Ia menangis di sana. Kekesalan dan kekecewaan yang ia alami membuatnya tidak tahan dengan semua ini.     

Alvon mendekatinya dan menyentuh bahu Daisy. Daisy menolehnya dan menunjukkan wajahnya yang sedang menangis itu. Refleks, Alvon pun memeluknya dengan inisiatif. Pelukannya sangat hangat bagi Daisy dan benar-benar terasa tulus. Daisy bahkan membalas pelukannya lebih lama. "Alvon," ucap Daisy dalam pelukan.     

Alvon bergumam sebagai jawaban.     

"Apa aku boleh bertemu empat mata dengan Zen? Kamu yang menentukan tempatnya, aku perlu berbicara dengannya mengenai perceraian itu," izin Daisy.     

Sejenak Alvon diam seraya tetap mengusap rambut Daisy. Ia sudah memikirkan jauh-jauh perihal seperti ini. Kelak Daisy pasti akan meminta untuk bertemu Zen dan Alvon harus memberikan izin untuknya.     

"Oke. Nanti biar aku atur aja, kamu tinggal tunggu kabarku," jawab Alvon kemudian lalu melepaskan pelukannya dan berlalu dari Daisy.     

"Alvon," panggil Daisy lagi.     

"Ya?"     

"Terima kasih, ya."     

Alvon tersenyum tipis dan meninggalkan Daisy menuju ruang kerjanya. Dilemparnya jas kerjanya dengan kasar. Ia melempar barang-barang miliknya kesal dan terduduk sedih merasa kesakitan.     

Memang rasanya sakit mencintai orang yang tak mencintai kita balik. Atau mungkin belum, tapi beginilah Alvon ketika ia kesal dan ingin menyendiri. Ia hanya bisa meluapkan emosinya pada ruangan kerjanya yang kedap suara ini.     

Biasanya Alvon membutuhkan hal-hal semacam pelampiasan seperti ini. Lalu ia akan membaik dengan sendirinya.     

Daisy duduk di sofa dengan buku di genggamannya. Tadinya ia ingin membaca, tapi menyendiri ternyata menyenangkan baginya.     

Dilihatnya pemandangan halaman depan melalui jendela yang teduh dan tentram itu. Pikirannya kembali memikirkan hari-hari di mana ia belum bertemu Zen.     

Ia merindukan masa lajangnya tanpa tangisan, kekacauan mau pun pernikahan. Ia sedikit menyesal menikah dengan cepat saat dulu dirinya tengah mengandung.     

Tapi semua udah terjadi, keadaan berubah, dan begitu juga dirinya. Terima atau tidak sama sekali, Daisy tidak punya pilihan.     

Sekarang pernikahannya terancam. Alvon di sisinya seperti yang selalu dikatakannya. Tapi ia harus menyakiti Alvon dengan saat nanti ketika ia bertemu Zen. Ia masih mengharapkan Zen berubah dan saat berbicara nanti, Daisy harus memberikan sebuah kode untuk memanggil polisi atau apa pun agar Alvon dipenjarakan.     

Dalam hatinya merasa bersalah sekali dengan tipuan yang akan ia lakukan pada Alvon. Tapi Daisy tahu bahwa ia memang harus begitu. Setidaknya pilihannya saat ini adalah Zen. Ke depan, apa pun yang terjadi, Daisy tetap harus menghadapinya.     

"Oke, kita berangkat sekarang," kata Alvon tiba-tiba keluar dari ruangannya.     

"Se-sekarang?" tanya Daisy gugup.     

Alvon mengangguk. "Iya. Ada apa?"     

"Aku siap-siap dulu kalau gitu."     

"Nggak usah, Daisy. Kamu udah cantik, untuk apa siap-siapa?" Alvon menghentikannya saat Daisy akan menuju kamarnya.     

"Kalau gitu, oke. Ayo kita jalan," balas Daisy.     

Entah kenapa Daisy merasa gugup saat akan bertemu Zen. Padahal tadi ia melihat Zen dan ia merasa dirinya sudah dipenuhi kebencian melihat Zen bersama wanita lain yang sama seperti di berita gosip itu.     

"Apa kamu gugup?" tanya Alvon.     

"Hmm, ya, sedikit."     

Alvon berdecak dengan senyuman tipis. "Bicara yang seperlunya aja dan waktumu hanya satu jam saat kalian sudah mulai berbicara."     

Daisy hanya mengangguk paham. Satu jam bersama Zen akan ia manfaatkan sebisa mungkin untuk menjebak Alvon.     

Mereka sampai di sebuah restoran terbuka. Alvon membimbingnya untuk duduk di tempat yang ia siapkan. Lalu Alvon menjauh dan akan duduk di tempat lain seraya memperhatikannya.     

Tak lama Zen datang. Daisy bisa melihat dari dekat bagaimana Zen berbeda. Walau ketampanannya tidak hilang, tapi Daisy bisa melihat rasa sakit di matanya.     

"Daisy," ucapnya lirih. Matanya lalu memandang ke meja pojok di mana Alvon memperhatikan mereka dan melambai pada Zen.     

"Dengarkan aku dan ikuti instruksi, Zen. Ambil ponselmu dan hubungi polisi. Bicara pada polisi seakan kamu nggak bicara pada polisi. Jangan sampai Alvon tahu!" bisik Daisy lirih tanpa Alvon ketahui.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.