BOSSY BOSS

Chapter 61 - Perceraian



Chapter 61 - Perceraian

0"Ayo, kita jalan!" perintah Daisy pada Alvon saat ia sudah masuk ke dalam mobil. Alvon mengangguk dan mendorong pedal gasnya sampai akhirnya Zen berhenti di hadapan mobilnya. Alvon menatap Daisy sampai Daisy memberikan perintah.     

Berkali-kali Zen mengetuk-ketuk jendela mobil agar Daisy mau membukanya dan mendengar penjelasannya. Namun Daisy tidak bisa, bahkan ia semakin menangis. Daisy pun menatap Alvon agar ia langsung jalan saja tanpa pedulikan Zen.     

Isak tangis Daisy pecah. Wajahnya sudah berwarna merah. Alvon fokus pada kemudinya dan ia mencoba berusaha agar Zen atau anak buahnya tidak mengikutinya. Jadi Alvon hanya menyuruh anak buahnya untuk mengalihkan hal-hal milik Zen.     

Setelah sampai rumah Alvon, Daisy langsung masuk ke dalam dan menuju kamarnya. Alvon sampai harus menghela nafasnya dan ia melihat ke belakang untuk memastikan semuanya aman. Baru setelah itu ia ikut masuk.     

"Maaf, kamu harus mellihat itu semua. Aku cuma mau kamu meyakinkan perasaanmu sendiri, Daisy. Aku datang karena ini … karena Zen bermain di belakangmu. Untuk itu aku …"     

Tiba-tiba pintu kamar Daisy terbuka dan menampakkan betapa kacaunya penampilan Daisy. Daisy bahkan langsung berhambur ke tubuh Alvon untuk memeluknya. Awal Alvon merasa canggung karena ia tidak pernah memeluk Daisy. Tapi setelah ia mengikuti keadaan, ia tahu Daisy membutuhkan ini. Walau kesedihannya karena Zen, setidaknya Alvon memang ada untuknya.     

Alvon tidak berpikir bahwa ternyata Daisy terasa kecil dalam pelukannya. Isak tangis Daisy semakin pecah dan Alvon bisa merasakan kemejanya basah oleh air mata Daisy. Ia pun mulai mencoba mengusap rambut kepala Daisy lembut. Mencoba menenangkannya dan benar-benar membuktikan bahwa ia ada untuknya.     

"Aku … aku nggak tahu kalau kamu nggak memperlihatkan aku dengan apa yang dia lakukan di belakangku secara langsung," ucap Daisy.     

"Aku mencoba membantu keputusanmu, Daisy.     

"Terima kasih, Alvon. Ternyata kamu nggak seburuk yang aku pikirkan," kata Daisy lalu melepaskan pelukannya. Ia menatap Alvon sejenak. "Aku butuh waktu sendiri, apa nggak masalah?"     

"Pergunakan waktumu sebaik mungkin," kata Alvon akhirnya.     

***     

Rosi tersentak saat ia mendengar Zen berteriak memanggil Daisy. Ia langsung mengenakan pakaian yang seadanya dan menunggu Zen kembali entah dari mana.     

Lalu tak lama Zen muncul dengan wajah yang kacau. Garis rahangnya mengeras dan tangannya masih menggenggam kaleng bir yang sudah kosong. Kaleng itu sudah tidak terbentuk.     

"Apa? Ada apa?" tanya Rosi dengan perasaan panik.     

"Dia datang. Seperti yang kamu bilang tadi. Dan dia … terlihat terluka," kata Zen lirih.     

Rosi memberikan wajah penuh simpati dan mendekati Zen. Ia memeluk Zen dan mengusap pucuk kepalanya.     

Walau menyakitkan dirinya juga, tapi Rosi tahu bahwa Zen membutuhkan perhatian. Setidaknya membuatnya tenang.     

"Jadi selama ini ia bersama Alvon. Lalu tiba-tiba muncul. Aku nggak tahu apa maksudnya," kata Zen dengan suara bergetar. Walau tidak menangis, Rosi tahu keluhan seorang laki-laki yang terluka itu terdengar lebih menyakitkan dari apa pun juga.     

"Aku benci menyakitinya, Ros. Tapi aku juga kecewa begitu tahu dia ternyata bersama Alvon. Aku … "     

"Sssttt, jangan diteruskan. Aku ada untukmu, Zen."     

"Maaf," kata Zen menatapnya. "Maaf membuatmu jadi terlibat dan terlihat dalam keadaan seperti ini."     

Rosi tersenyum padanya. Tangannya mengusap pipi Zen dengan lembut. "Aku nggak apa-apa. Itu kan, udah risiko yang harus aku tanggung. Benar, kan?"     

Dan sejenak Zen langsung bergairah lagi. Merasakan dan melihat Rosi seperti ini membuat sedihnya seolah hilang dengan cepat. Ia tidak tahu apa yang Rosi lakukan padanya, dan apa yang membuatnya berbeda dari Daisy. Tapi ia tahu Rosi berbeda.     

Zen meraih tubuhnya dan mengangkat Rosi. Membawanya ke meja bar dan mendudukinya di sana. Sekarang ia benar-benar terbakar oleh nafsu karena perhatian Rosi. Ia pun membuat Rosi merasakan apa itu kepuasan bersamanya.     

Setelah mereka bercinta untuk yang tak terhitung berapa kali, kali ini Rosi benar-benar lemas dengan keringat. Zen akhirnya membawanya menuju kamarnya. Bukannya membiarkannya terlelap, ternyata Zen belum puas juga. Akhirnya ia bercinta lagi dengan Rosi hingga wanita itu benar-benar terkapar lemas tak berdaya.     

Sampai selesai, barulah Zen mendengar suara pintu apartemen terketuk. Zen merutuk kesal karena ia masih berkeringat dan lelah. Mau tak mau ia pun membuka pintunya dan melihat Dito di luar.     

Dito terkejut melihat betapa basahnya tubuh Zen. Ia sudah cukup menduga apa yang sahabatnya lakukan. Walau begitu, Dito tidak bertanya. Ia hanya langsung duduk di sofa, bekas pertempuran cinta antara Zen dan Rosi.     

"Jadi, ada apa?" tanya Dito, karena Zen menghubunginya untuk datang ke apartemennya.     

Zen menceritakan semua yang terjadi hari ini. Dito meresponsnya dengan beberapa gerakan untuk menunjukkan rasa simpati pada Zen.     

"Tindakan lo terus apa?" tanya Dito.     

"Gue bingung," jawabnya.     

"Jelas lo bingung! Sekarang lo ada Rosi. Lo harus memilih salah satu, Man! Atau nggak memilih sama sekali."     

"Tapi Daisy istri gue!" seru Zen berbisik. Ia tidak ingin Rosi mendengar pembicaraan mereka, walau yang ia tahu saat ini Rosi sedang tertidur.     

Dito mengedikkan bahunya. "Well, terlepas dari dia itu istri lo, gimana pun lo udah selingkuh, Bro. Apalagi dia benar-benar menangkap basah lo!"     

Zen diam dan mengusap-usap kepalanya kesal sekaligus frustrasi. Dirinya yang lebih percaya diri dan berkuasa tanpa merasa terganggu sekali pun, kini seakan semuanya berubah. Ya, berubah sejak Daisy tak di sisinya.     

Tiba-tiba tino masuk membawa amplop cokelat. "Bos, ada surat dari … Pengadilan Agama," katanya memberitahu dengan wajah sungkan.     

Zen dan Dito saling berpandangan satu sama lain. Ia langsung meraih amplop itu dan membiarkan Tino pergi lebih dulu. Zen dan Dito kini menatap amplop itu bersamaan. Dengan perasaan cemas, akhirnya Zen meraih amplop itu dan membukanya perlahan.     

Di dalam surat itu tercetak jelas jika Daisy menginginkan perceraian dengan alasan Zen berselingkuh, yang mana artinya memang benar. Zen langsung merobek kertas itu hingga menjadi serpihan yang tak beraturan. Nafasnya memburu dan ia langsung meraih pakaiannya juga kunci mobilnya.     

"Gue harus pergi!" kata Zen kemudian.     

"Loh, loh … Zen jangan sambil emosi! Gue ikut kalau gitu, bahaya kalau lo doang," kata Dito langsung ikut ke belakang Zen.     

"Lo tahu kan, gue nggak akan mau cerai dari dia?" tanya Zen pada sahabatnya.     

"Kalau gitu, berubah untuk nggak main cewek dan fokus pada dia, Zen," nasihat Dito.     

"Tapi kalau udah begini, apa yang harus gue buktiin sama dia? Rasanya matanya udah ditutupi oleh perselingkuhan gue, Dit."     

Dito diam karena ia memikirkan jawaban untuk Zen. Ia hanya tetap waspada pada mobil yang Zen kemudikan dengan kencang menuju kantor Alvon. "Gue harus beri pelajaran Alvon!" geramnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.