BOSSY BOSS

Chapter 60 - Tertangkap Basah



Chapter 60 - Tertangkap Basah

0Setelah penjelasan Alvon ia nyatakan, Daisy hanya diam. Begitu juga Alvon. Hanya dentingan sendok dan garpu yang bersuara hingga tidak terlalu hening.     

Daisy melihat Alvon beranjak berdiri dan membawa piring gelas kotornya ke dapur. Ia masih ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Alvon, tapi sayangnya Alvon selalu mengunci bibirnya dengan perasaan-perasaan yang ia nyatakan.     

"Aku ke kantor dulu," kata Alvon kemudian.     

"Sekarang?" tanya Daisy seperti orang bodoh.     

Alvon mengangguk ragu. Ia tahu masih ada yang ingin Daisy katakan, tapi Alvon membiarkannya sampai Daisy yang berbicara dulu. "Ya, sekarang. Mungkin aku akan kembali sebelum pukul enam," infonya.     

"Alvon," panggil Daisy lirih. Ia menghentikan Alvon yang baru saja melangkah hingga membuatnya berhenti dan membalikkan tubuhnya.     

"Aku ingin cerai dari Zen" katanya memberitahu tanpa ragu.     

Alvon mendekati Daisy. Jarak mereka hanya tinggal sejengkal saja. Alvon menatap Daisy dengan serius. Ia memang tidak salah dengar, tapi lagi-lagi ia terkejut dengan permintaan tiba-tiba Daisy.     

"Dan aku mau bertemu Ibu lagi," katanya menambahkan.     

"Daisy, pikirkan lagi. Aku senang jika akhirnya kamu bercerai dari Zen. Tapi kamu memang harus memikirkannya lagi. Mungkin sore nanti saat aku kembali, aku harap pilihanmu udah benar-benar mantap," kata Alvon jelas seraya ia mengacak-acak rambut Daisy lalu pergi darinya.     

Daisy langsung jatuh terduduk. Tiba-tiba matanya memanas dan perasaannya bercampur aduk. Perasaan yang pernah ia rasakan pada Zen mendadak bisa ia rasakan pada Alvon. Dengan Zen saja ia belum berani menyatakannya, bagaimana bisa ia juga merasakan perasaan itu pada Alvon?     

***     

"Hapus semua berita nggak benar itu! Tolong Tino, urus semuanya!" seru Zen pada Tino ketika ia melihat bahwa media massa sudah tidak ada yang waras, menggosipinya dengan wanita lain, yaitu Rosi.     

Ia memang jalan bersama Rosi, tapi tidak seharusnya media memberikan pernyataan yang jelas-jelas salah. Ia tidak tahu bagaimana perasaan Rosi setelah masuk berita itu. Ia juga tidak tahu apakah Daisy melihatnya atau tidak.     

Rosi masuk ke dalam apartemennya dengan kacamata hitam yang ia pakai untuk menutupi diri dari media yang masih panas-panasnya menggencar apartemen Zen.     

"Apa mereka masih di bawah?" tanya Zen pada Rosi seraya ia melepaskan jaket Rosi. Mereka sudah mulai menggunakan "aku-kamu" sebagai pengganti obrolan yang formal.     

"Ya, masih. Untungnya mereka nggak tahu aku, Zen."     

"Apa kamu nggak apa-apa?" tanya Zen. Ia mulai memainkan tangannya pada pipi dan dagu Rosi dengan lembut.     

Rosi mengangguk dan melenguh ketika belaian Zen menggetarkannya. Akhirnya mereka memang bersama walau harus berada di belakang Daisy. Zen sendiri mencoba tidak begitu serius padanya karena ia masih memikirkan Daisy.     

Entah kenapa sejak hilangnya Daisy, Zen jadi lebih haus dan lapar akan seks. Sehingga ia menggunakan Rosi sebagai pemuasnya walau memang ada perasaan yang terlibat di antara mereka.     

"Apa kamu lapar?" tanya Zen mencoba sadar bahwa tak seharusnya ia memulai seks saat Rosi baru saja datang.     

"Hmm, ya. Kamu ada makanan atau mau aku masakin?"     

"Aku beli pizza dan burger tadi. Minuman ada di lemari es, kita makan itu. Oke?"     

Rosi mengangguk lagi dan mereka pun duduk di sofa. Sebelum itu Rosi melepas pakaiannya dan berganti dengan kemeja putih kebesaran milik Zen. Ia melakukannya sejak pertama kali masuk ke apartemen Zen.     

Beruntungnya Zen, Rosi ternyata sama gilanya seperti Zen. Sama-sama gila akan seks. Bedanya, Rosi hanya pertama kali melakukannya pada Zen dan hanya gila pada Zen. Sementara Zen, ia akan selalu gila akan seks terhadap siapa pun.     

Zen suka melihat Rosi dengan kemeja putih yang terlihat besar di tubuhnya. Apalagi saat Rosi selalu sengaja melepas branya, sehingga di balik kemeja putih, memperlihatkan payudara dan putingnya yang menyembul indah. Transparan tapi selalu membangkitkan gairah Zen.     

Rosi duduk di pangkuan Zen seraya memakan pizza.     

"Kamu nggak terganggu dengan berita tentang kita?" tanya Zen tiba-tiba.     

"Hmm, nggak. Kamu?"     

Zen menggelengkan kepalanya. Dari dulu ia sama sekali tidak terganggu dengan berita-berita itu. Ia hanya merasa terganggu jika orang lain yang ikut masuk bersamanya, merasa terganggu dengan berita itu. Jika tidak, maka Zen tidak akan mempermasalahkannya.     

"Jadi, bagaimana Daisy? Apa kamu menemukannya?"     

"Kenapa kamu selalu bertanya tentang dia di saat kita bersama?" tanya Zen.     

Rosi membalikkan tubuhnya dan berpindah pangkuan menghadap Zen. Ia mengalungkan kedua tangannya di leher Zen. "Karena aku takut jika dia kembali dan kita seperti ini, Zen," jawabnya.     

Zen menghela nafasnya. Ada dua hal yang membuatnya menghela nafas. Satu, karena ia tidak kuat menahan godaan Rosi yang ada di pangkuannya. Dua, karena ia juga tidak tahu harus bagaimana jika Daisy menemukan mereka lagi seperti ini.     

Ditangkupnya bokong Rosi hingga ia tertawa geli. Lalu perlahan Zen mengecup bibirnya berkali-kali dengan lembut. Kedua tangannya membuka beberapa kancing kemeja yang di pakai Rosi hingga memperlihatkan dua bahu yang indah dengan dua buah payudara yang sempurna dan mengeras.     

"Kamu mau ini, kan?" tanya Zen menggodanya dan langsung mengisapnya. Rosi berdeham dan kepalanya tersentak ke belakang.     

Mereka lalu bercinta dengan dahsyat dan hebat di sofa dalam keadaan terduduk. Sekujur tubuh berkeringat dan basah, dan Zen melihat betapa seksinya Rosi di saat itu. Rosi tertidur lelap di sofa dan Zen beranjak berdiri untuk meraih minuman. Ia membiarkan Rosi tertidur dengan selimut yang ia ambil dan menutupi tubuhnya.     

Sejenak, lagi-lagi ia merasa dejavu. Daisy pernah pada posisi itu. Sofa itu pernah ia pakai juga bersama Daisy. "Maafkan aku, Daisy," lirih Zen.     

***     

"Ayo, kamu harus ikut aku!" tiba-tiba Alvon menarik pergelangan tangan Daisy dan memasukkannya ke dalam mobil.     

"Kita mau ke mana?" tanya Daisy panik karena Alvon menariknya dengan cepat dan mobil melaju dengan kencang.     

Alvon memberikan key card apartemen pada Daisy. Daisy menolehnya dengan terkejut. "Inikan, kunci apartemen Zen."     

"Ada yang harus kamu lihat. Setelah itu kamu bisa memutuskan tentang perceraianmu," kata Alvon dingin.     

"Ada apa, Alvon? Kenapa kamu nggak bilang langsung?"     

Alvon enggan menjawab pertanyaan Daisy. Ia ingin Daisy melihatnya sendiri. Tidak peduli sesakit apa nanti, yang jelas, Daisy harus melihat langsung dan setelah itu ia akan memutuskan apakah layak bercerai atau tidak.     

Setelah sampai apartemen, Daisy mulai ragu untuk turun. Ia hanya duduk diam sementara Alvon sudah membukakan pintu mobil untuknya. "Ayo, Daisy! Aku udah mengatur beberapa orang untuk mengalihkan perhatian anak buah Zen."     

Setelah melihat tangan Alvon terulur, Daisy menatapnya dan meraih tangan itu. Ia pun keluar dari mobil Alvon dan memegang tangannya hingga mereka masuk dan berada di pintu apartemen Zen.     

Daisy perlahan membuka pintu itu dengan kartu hingga suara khas pintu terbuka berbunyi. Ia membuka kenop pintu itu dan melihat isi dalam apartemen Zen yang berantakan dengan pakaian wanita dan pakaian milik Zen.     

Seketika bibirnya menganga, melihat ada wanita lain yang tertidur di sofa yang pernah membuatnya dan Zen bercinta di atasnya. Wanita itu tertidur di sana. Air mata Daisy terjatuh hingga suara langkah kaki mendekat ke arah sofa.     

Daisy melihat Zen hanya bertelanjang dada dengan celana jeans yang menggantung. Tangannya memegang bir kaleng yang mana Zen ikut terkejut melihat kehadiran Daisy. Untuk sepersekian detik mereka sama-sama terdiam hingga Daisy melangkah mundur dan meninggalkan apartemen Zen.     

"Daisy, tunggu!" teriak Zen tanpa memperdulikan Rosi yang masih tidur, maupun Alvon yang mulai mengikuti Daisy.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.