BOSSY BOSS

Chapter 59 - What If I'll Never Love You



Chapter 59 - What If I'll Never Love You

0"Kenapa harus tanya itu? Apa dulu aku terlihat punya perasaan sama kamu, Alvon?" tanya Daisy.     

Alvon menelan makanannya dengan susah payah ketika Daisy menjawabnya dengan sebuah pertanyaan.     

"Wanita terkadang suka menyembunyikan perasaan mereka," kata Alvon membalas.     

Alvon menatap reaksi Daisy yang terkejut sekaligus berusaha bersikap normal. Diam-diam Alvon menahan senyumnya dan tidak mempermasalahkan hal itu. Ia hanya ingin tahu, dan ia tahu dulu Daisy memiliki perasaan padanya. Hanya saja Daisy memang tidak mau berpacaran di masa SMA dan memilih alasan masih ingin belajar juga menolak langsung dirinya.     

Alasan klasik, tapi berhasil membuat Alvon meninggalkannya jauh ke luar negeri.     

"Sekarang boleh aku tanya sesuatu?" tanya Daisy bergantian.     

"Silakan."     

"Hmm, kenapa kamu harus ke luar negeri? Padahal kalau dipikir, kamu udah cukup kaya raya. Aku nggak yakin kamu ke luar negeri karena aku, Alvon."     

"Kenapa kamu nggak berpikir bahwa memang itulah alasannya? Aku kan, harus semakin maju lebih dari kemarin."     

"Dan kamu pikir semua wanita lebih memilih materi?"     

Alvon meletakkan sendok dan garpunya, menandakan ia selesai makan. Ia pun menatap Daisy sejenak. "Nggak juga. Tapi ada baiknya ketika seorang laki-laki mencintai wanita dan menginginkannya, setidaknya ia harus memiliki cukup materi untuk membahagiakan wanitanya."     

Daisy kalah telak. Ia tidak menyalahkan Alvon, ia juga membenarkan perkataan Alvon. Hanya saja, ia tidak senang bagian di mana bahwa semua wanita lebih memilih materi. Padahal hal terakhir itu, keluar dari bibirnya sendiri.     

"Obrolan selesai, kalau kamu sudah, bisa langsung ke ruang teater," kata Alvon dan mengangkat piring dan gelas kotornya ke wastafel dapur untuk ia cuci.     

Daisy memperhatikan Alvon dengan perasaan kagum sekaligus enggan mengagumi. Sekarang pikirannya sedikit tidak sinkron dengan hatinya.     

Sepuluh menit kemudian, Daisy masuk ke ruang teater. Ia kagum karena nuansanya benar-benar mirip teater yang ada di bioskop. Bagian dinding yang begitu gelap dengan kursi yang mungkin dipilih Alvon berwarna merah, berjajar rapi.     

Daisy menghitung jumlah kursi itu. Ada sepuluh kursi dan lantainya beralaskan karpet ala-ala teater. Lalu, ia melihat mesin popcorn yang sedang bekerja, terletak di paling pojok.     

"Ini menarik," ujarnya lalu duduk di kursi asal untuk menikmatinya.     

"Nggak beda dengan bioskop pada umumnya," timpalnya lagi.     

Alvon menahan senyumnya dan fokus pada mesin popcorn. Ia meraih tempat dan menaruh popcorn itu di wadah yang seharusnya. Alvon juga sudah menyiapkan empat kaleng minuman. Dua soda dan dua bir.     

Daisy heran kenapa ada bir di sini, sementara ia tidak minum bir.     

"Dua soda untukmu, dua bir untukku. Paham?" kata Alvon seperti membaca pikirannya.     

"Oke."     

"Siap?"     

Daisy mengangguk dan Alvon pun mulai mematikan lampu, sehingga ia membiarkan layar TV teaternya yang meneranginya.     

"Jangan sungkan pegang tanganku kalau filmnya kelewat horror, oke?"     

Daisy milih mengabaikannya dan fokus pada layar. Ia tidak ingin berbicara ketika sedang fokus akan film yang sedang ia tonton.     

Dua jam berlalu, lampu Alvon nyalakan dan ia cukup kaget karena ternyata Daisy tertidur. Entah ia tidur sejak kapan, yang jelas memang ini sudah cukup larut untuk beristirahat.     

Alvon pun mengangkat Daisy dengan perlahan sehingga ia tidak perlu terbangun dan memindahkannya ke kamarnya.     

Setelah memastikan Daisy tidak akan terbangun, sejenak Alvon memandangi wajah cantik Daisy. Ia tidak tahu sampai kapan akan seperti ini, yang jelas Alvon akan membuatnya lebih dulu mencintainya dan membuatnya bercerai dari Zen.     

"Aku mencintaimu, Daisy," katanya lalu mengecup kening Daisy perlahan dan menutup pintu kamar Daisy.     

***     

Berita pagi tentang gosip terdengar jelas di dapur saat Daisy tengah membuat sesuatu. Ia memang menyalakan TV untuk mendengar beberapa berita. Ternyata yang ia dengarkan adalah berita gosip. Ia terkejut ketika nama Zen disebut. Ia pun langsung menuju ruang TV untuk melihatnya.     

Dikabarkan bahwa Zen tengah bersama wanita lain yang bukan istrinya. Bahkan beberapa media mengatakan bahwa Zen tidak peduli jika istrinya menghilang.     

Daisy bisa melihat jelas wanita itu. Zen bahkan mencoba melindunginya dari paparazi ketika keluar dari kantornya. Wajah terkejut Daisy tak bisa ia tahan. Bahkan bibirnya terbuka tak percaya dengan apa yang dilakukan Zen. Daisy sempat berpikir, apakah Zen memang melupakannya.     

Dimatikan TV itu dan ia berdiri untuk menuju dapur. Namun ia sudah melihat Alvon berdiri di hadapan TV entah sejak kapan. Air matanya sudah terjatuh begitu melihat Alvon, dan sesegera mungkin Daisy menyekanya.     

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Alvon.     

Bukannya menjawab, Daisy langsung berlalu dari hadapannya. Alvon pun tidak mengejarnya dan membiarkannya. Ia lalu mematikan TV-nya dan tersenyum kecut melihat dan mendengar apa saja yang baru terjadi.     

"Hari ini kamu buat sarapan apa?" tanya Alvon saat ia akhirnya ke dapur untuk melihat Daisy.     

"Omelet mie. Nggak sehat, tapi enak," jawabnya sekenanya.     

"Aku suka omelet buatanmu," kata Alvon.     

"Kamu masih ingat omelet buatanku? Padahal itu udah lama banget."     

"Aku udah bilang kan, Daisy, aku selalu ingat hal-hal tentangmu. Yah, aku tunggu di meja makan kalau gitu." Alvon berlalu dan Daisy melihatnya sampai Alvon di meja makan.     

Ia benar-benar tidak percaya jika Alvon mengingat semua hal tentangnya dulu. Memang, Daisy tidak pernah mengenal laki-laki seperti Alvon. Hanya Alvon yang benar-benar mengingat tentangnya. Sejauh apa pun Alvon dulu. Sementara Zen, entah apa rencananya hingga terlihat seperti tidak ingat akannya.     

Daisy merasa pernikahannya sia-sia. Sejak melihat video Zen, baginya Zen sama saja. Masih bermain wanita di belakangnya. Apa pun alasannya, bersama wanita lain saat sudah beristri itu merupakan sebuah kesalahan.     

Daisy ingin bertanya sesuatu pada Alvon. Terdengar cukup mengejutkan, tapi ia merasa harus bertanya. "Aku mau tanya sesuatu," kata Daisy kemudian.     

"Silakan."     

"Bagaimana kalau aku mengajukan perceraian pada Zen? Apa yang akan kamu lakukan seandainya aku benar-benar bercerai?"     

Alvon tampak syok. Bukan dengan kesengajaan, tapi ia benar-benar terkejut dengan pertanyaan Daisy. Ia pikir, kata bercerai akan memakan waktu lama untuk keluar dari bibir Daisy. Tapi ia salah, Daisy sudah mulai membahasnya.     

"Aku … kita bisa saling terbuka satu sama lain. Kamu mencoba mencintaiku dan aku akan terus membuatmu bahagia," jawab Alvon.     

"Bagaimana kalau aku nggak akan pernah mencintaimu, Alvon?"     

"Ini teoriku sebagai yang mencintaimu, Daisy, jadi akan aku katakan satu hal sama kamu," katanya menghela nafasnya sebelum melanjutkannya. "Sebaiknya bersama orang yang mencintaimu dari pada dengan orang yang tidak mencintaimu sama sekali."     

Daisy memandang Alvon skeptis dengan satu alis terangkat. "Bukannya itu seharusnya kamu tujukan ke dirimu sendiri?"     

"Di awal aku udah bilang kan? Ini teoriku sebagai laki-laki yang mencintaimu. Jadi aku nggak peduli sekali pun kamu nggak akan pernah mencintaiku. Senggaknya aku membuatmu bahagia tanpa merasa sedih dan menjatuhkan air matamu. Lagi pula, aku percaya bahwa cinta itu bakal hadir seiring berjalannya waktu," jelas Alvon.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.