BOSSY BOSS

Chapter 58 - Pernakah Mencintaiku?



Chapter 58 - Pernakah Mencintaiku?

0"Maaf, waktu kalian udah habis." Tiba-tiba Alvon datang dan memberitahukan bahwa pertemuan Daisy dan Ibunya sudah berakhir. Daisy menoleh ke arah Alvon, meminta waktu lebih, namun Alvon menggeleng.     

"Alvon, jaga anak saya. Jangan membuatnya kesusahan," pinta Weiske menatapnya.     

"Saya akan selalu menjaganya, Bu Weiske. Tinggal bagaimana caranya membuatnya menurut saja. Semua akan mudah, kok."     

Weiske menatap anaknya dan memeluknya cukup lama. "Menurut saja, Daisy. Ibu nggak mau kamu kenapa-kenapa." Daisy mengangguk lemah dan membiarkan Ibunya pergi lebih awal dengan diantar anak buah Alvon.     

Alvon pun menggandeng tangannya dan membuatnya masuk ke dalam mobil. Setelah itu barulah mereka benar-benar kembali ke rumah.     

Sampai rumah, Daisy disuruh masuk lebih dulu oleh Alvon, sehingga Alvon yang akan membawa barang-barang belanjaan mereka dan menaruhnya di sofa. Daisy memperhatikan benar-benar bagaimana Alvon melakukan semuanya sendiri tanpa anak buahnya. Padahal bisa saja ia menyuruh anak buahnya untuk melakukannya.     

"Kenapa lihat-lihat? Mulai jatuh cinta?" tanya Alvon menggoda.     

Daisy langsung menoleh ke arah lain dan membelakangi satu helai rambutnya ke belakang telinga. "Nggak. Aku cuma … mengantuk," jawabnya asal.     

"Tidur aja. Kamu bebas melakukan apa pun di rumah ini. Bagiku, wanita nggak wajib bekerja keras seperti Ibu-Ibu rumah tangga. Aku akan membuatmu menjadi ratu di rumah ini, Daisy," ujar Alvon.     

"Kedengarannya mudah sekali ya, untukmu. Menyenangkan juga kalau didengar," kata Daisy.     

"Memang mudah. Kan aku sudah bilang, semua tinggal bagaimana kamu menikmati dan menjalaninya."     

Daisy melirik kesal dan ia merebahkan diri di sofa. Alvon menatapnya dengan pandangan terkunci. "Kenapa lihat-lihat? Apa aku membuatmu benci dengan caraku begini?"     

"Malah aku jadi lebih jatuh cinta, Daisy," balas Alvon tersenyum.     

Kesal dengan segala usaha, Daisy pun menutup wajahnya dengan bantal dan mulai mencoba tidur di sana. Ia sedikit malas berjalan menuju kamarnya.     

Sejenak Alvon menatap Daisy yang bergerak ke sana ke mari, mencari posisi yang paling nyaman untuk tidur. Ia mengulum senyumnya karena senang bahwa Daisy tidak begitu takut padanya dan mencoba menjadi wanita penurut.     

Setelah melihat Daisy tertidur, Zen mengeluarkan cincin pernikahan Daisy. Ia memperhatikan cincin itu. Bernilai mahal dengan ukiran nama Zen di dalam lingkarannya. Alvon tersenyum kecut. Ia berniat mengembalikannya pada Daisy. Setidaknya hanya ini yang bisa menjadi pemecah rindu Daisy nantinya. Ia pun meletakkan cincin itu di meja depan Daisy, agar saat Daisy terbangun, ia langsung melihat cincinnya.     

Sementara untuk kalung Daisy, beruntung Alvon melepasnya. Ia sudah menduga Zen akan memasang sesuatu untuk memantau Daisy. Alat penyadap suara yang terpasang di liontinnya. Alvon berhasil membongkarnya dan menghancurkannya. Ia juga langsung mengembalikan kalung itu pada Daisy. Biar Daisy sendiri yang memasang semuanya.     

Alvon pun berpindah ke perpustakaan. Ia harus mengerjakan sesuatu di sana dengan laptopnya. Hari ini ia sudah meluangkan waktu untuk Daisy dan meninggalkan pekerjaannya. Ada proyek yang harus ia kerjakan dan tak bisa menunggu lama.     

Setelah beberapa jam tertidur cukup pulas, hingga tidak tahu kalau waktu sudah menunjukkan sore hari, Daisy langsung beranjak dan duduk. Ia mencoba mengumpulkan nyawanya dan meregangkan tubuhnya. Lalu matanya menatap sebuah cincin dan kalung miliknya. Ia menyentuh benda miliknya. Dahinya berkerut dan berpikir kenapa ada di sini, di hadapannya.     

Daisy juga berpikir akan mengenakannya kembali, namun akhirnya ia memilih meletakkan kembali benda itu dan bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia tidak berminat mengenakan sesuatu yang mengingatkannya pada Zen.     

Alvon keluar dari perpustakaan dan membawa laptopnya setelah akhirnya ia selesai mengerjakan proyeknya. Ia melihat Daisy keluar dari kamar, lengkap dengan pakaian baru setelah mandi. Dilihatnya tangannya dan lehernya, tidak ada cincin atau pun kalung di sana. Alvon jadi berpikir kenapa Daisy tidak mengenakannya.     

"Aku mau masak nasi goreng pedas, kamu mau?" tiba-tiba Daisy menawarinya.     

"Ya, kalau kamu nggak keberatan."     

"Jadiin makan malam sekalian, deh. Aku mau bereksperimen sama dapurmu," katanya dan melalui Alvon begitu saja menuju dapur.     

Alvon menaikkan satu alisnya. Mendadak Daisy berubah. Tapi Alvon tentu tidak akan percaya begitu saja. Anggaplah Daisy sedang ingin bersantai tanpa mengenal kekhawatiran. Ia pun juga mandi dan ingin terlihat tampan di hadapan Daisy.     

Seketika bau masakan Daisy menyeruak ke rongga hidung Alvon. Setelah rapi, Alvon pun keluar dan duduk di sofa dengan kopi buatannya sendiri. Ia melihat-lihat kaset DVD yang kayak untuk ditonton bersama Daisy.     

Seingatnya, Daisy suka film horor. Ia sudah siap dengan kaset itu, hanya tinggal menunggu Daisy selesai.     

"Kamu ngapain? Ayo, makan," tanya Daisy saat melihat Alvon sedang di depan rak kaset DVD.     

"Habis makan, kita ke ruang teater, ya. Aku kamu menonton sesuatu."     

"Apa? Blue film? Aku nggak minat," tolak Daisy.     

"Kenapa harus lihat blue film kalau akhirnya nanti kita bisa bikin sendiri?" balas Alvon menggodanya.     

Daisy memutar bolanya, hal yang sering ia lakukan ketika kesal dengan seseorang. "Di mimpimu, sana. Serius, mau nonton apa?"     

"Horor. The Conjuring. Aku rasa kamu belum menontonnya."     

"Apa kita nggak bisa nonton sambil makan?" tanya Daisy mulai girang.     

Alvon menggelengkan kepalanya dan menuju meja makan. "Di ruang teater nggak boleh ada nasi. Bolehnya pop corn. Nanti nyemil yang ada aja. Soal pop corn, aku ada mesinnya dan tinggal bikin," kata Alvon jelas.     

Daisy hampir terkesima dengan segala yang Alvon miliki. Bahkan Zen tidak memiliki ruang teater. Membuatnya susah menahan terkejutnya Alvon memiliki semuanya.     

"Jangan begitu, bisa-bisa kamu tergoda. Bahaya, kan?" goda Alvon.     

"Ngomong-ngomong … " ujar Daisy seraya duduk di hadapannya. "Kenapa kamu mengembalikan cincin dan kalungku?"     

Alvon mengedikkan bahunya. "Terlintas aja di kepalaku ingin ngembaliin. Dan kenapa kamu nggak memakainya?"     

"Simpan aja. Aku nggak mau ada hal tentang Zen di rumah ini," jawab Daisy lemah.     

Alvon sebisa mungkin tidak membuatnya berkata lebih banyak mengenai Zen. Ia pun tidak membahasnya lebih jauh dan memilih menikmati masakan Daisy yang ternyata sangat lezat di lidahnya.     

"Enak juga," nilai Alvon.     

"Kamu nggak ingat dulu aku pernah masakin kamu?"     

Alvon berpura-pura mengingatnya. Tentu saja ia mengingat setiap jengkal tentang Daisy. Bagaimana bisa ia melupakan wanita yang sudah mengambil hatinya tanpa sengaja? "Aku nggak pernah lupa, Daisy. Tapi masakanmu dulu agak buruk."     

"Itu karena aku baru belajar."     

Alvon bergumam dan meneruskan kunyahannya. "Aku mau tanya sesuatu, Daisy," tiba-tiba Alvon membuka suara setelah keheningan cukup lama terjadi. Satu pertanyaan muncul begitu saja dibenaknya. Setidaknya ia harus bertanya pada Daisy agar merasa lega.     

"Apa?"     

"Apa dulu kamu senggaknya ada rasa padaku? Jawab dengan jujur," tanya Alvon tanpa ragu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.