BOSSY BOSS

Chapter 56 - Dia Tahu Segalanya



Chapter 56 - Dia Tahu Segalanya

0Entah sudah berapa kali ia tertidur. Setiap kali dirinya memberontak, obat bius selalu ada untuknya, lalu ia tertidur dengan tenang. Namun kali ini berbeda, mungkin efek dari rasa lelah yang tak membuahkan hasil, Daisy mengerjapkan matanya berkali-kali. Menatap langit-langit yang berwarna putih. Matanya menoleh ke segala arah. Ruangan serba putih yang merupakan sebuah kamar membuatnya bertanya-tanya, di manakah ia selama ini?     

Tangannya bahkan memegang saku celana jeansnya. Ia tidak memiliki apa-apa di sakunya. Bahkan perhiasannya juga diambil. Hanya tersisa anting. Cincin pernikahannya tidak ada juga. Daisy pun melangkah ke arah pintu. Ia membukanya dan pintu itu terbuka. Pikirnya, akan aman jika setidaknya ia keluar dari tempat antah berantah ini.     

Rumah yang menjadi tempat ia disekap sangat besar. Daisy menjadi bingung harus memulai dari mana. Ia juga melihat jejeran foto-foto zaman SMA. Satu foto membuatnya terkejut bahwa dirinya ada di bingkai itu. Foto dirinya bersama Alvon tersenyum. Ia ingat betul masa-masa itu. Masa di mana mereka selalu bersama sebelum adanya perasaan yang terlibat.     

"Teringat masa lalu?" tiba-tiba suara laki-laki membuatnya terkejut. Daisy membalikkan tubuhnya dan ia benar-benar melihat Alvon ada di hadapannya sekarang.     

Suara fantofel Alvon melangkah mendekat. Penampilannya mirip sekali dengan saat pertama ia bertemu Zen. Mendadak Daisy seolah merasakan dejavu.     

"Kamu … yang bawa aku ke sini?" tanya Daisy dengan suara berhati-hati.     

"Lebih tepatnya anak buahku, Daisy. Yah, sebenarnya atas perintahku juga. Bagaimana? Apa aku udah terlihat seperti Zen saat menculikmu?"     

Mata Daisy membelalak karena terkejut Alvon tahu apa yang dilakukan Zen padanya saat dulu. Entah sejak kapan Alvon memperhatikannya hingga kelihatannya sangat mengerikan.     

"Kamu tahu soal itu?" tanya Daisy ingin tahu. Kali ini Daisy meredam rasa ketakutannya. Bahkan ia merasa tidak begitu takut pada Alvon. Mungkin karena ia cukup kenal Alvon lebih lama dari Zen.     

Alvon mengangguk pelan dengan senyumannya. "Aku udah bilang kan, aku selalu ada, Daisy. Kamu aja yang nggak pernah sadar akan keberadaanku."     

"Lalu apa yang mau kamu lakukan padaku, Alvon? Kita bisa bicara baik-baik tanpa kamu harus melakukan ini sama aku."     

"Tentu kita bisa bicara baik-baik. Tapi sayangnya aku nggak tahan melihat kamu dan Zen bersama. Jadi, aku putuskan untuk mengambil paksa kamu tanpa seorang pun yang tahu," terang Alvon.     

"Zen akan tahu ini, Alvon. Kamu akan dalam bahaya!" lirih Daisy.     

Alvon tertawa mendengar nada bicara Daisy. Ia bahkan seraya menggelengkan kepalanya dan duduk di sofa. "Daisy, aku perlu membuktikan padamu bahwa Zen nggak ada apa-apanya dibanding aku. Duduklah, kita bicara baik-baik kali ini. Dan jangan berontak, karena kalau kamu berontak, obat bius akan menidurkanmu lagi."     

Susah payah Daisy menelan ludahnya, namun akhirnya ia duduk dengan tenang dan bahkan bersandar. Matanya terus mengawasi Alvon karena ia ingin lebih tahu semuanya. Semua yang Alvon ketahui, apakah benar-benar atau hanya menggertaknya.     

"Apa yang kamu tahu tentang aku selama ini, Alvon?"     

"Semuanya. Dari penculikan, kehamilanmu, keguguranmu, perselingkuhan Zen, pekerjaanmu menjadi model dan banyak, Daisy. Kamu nggak mungkin membuat aku menyebutkan hal-hal semacam itu, kan?" kata Alvon.     

"Zen … bagaimana dia sekarang? Kamu pasti tetap memperhatikannya, bukan?" tanya Daisy.     

Alvon memegang janggutnya dan menatap Daisy dengan mata menusuknya. "Zen, ah … suamimu itu ternyata bodoh, ya? Cukup bersandiwara di hadapannya, ia langsung percaya. Dan satu lagi yang mungkin membuatmu ingin bercerai dengannya, dia selingkuh lagi. Lebih tepatnya dia bercinta dengan teman wanitanya di masa SMA. Hmm, mantan kekasihnya." Setiap kata-kata yang keluar dari bibir Alvon membuat Daisy menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia bahkan menutup telinganya tidak ingin mendengar lebih jauh.     

Alvon langsung berdiri dan berpindah ke sisi Daisy. Ia mengeluarkan handy cam untuk membuktikannya sendiri pada Daisy. Dinyalakannya handy cam itu dan ia letakkan di meja, di hadapan Daisy.     

"Semoga kamu percaya, Daisy. Setiap momennya udah aku rekam dan aku edit agar menjadi satu film tanpa jeda buat kamu lihat dan kamu pikirkan lagi, bahwa suamimu pantas untuk diceraikan," bisik Alvon lalu berpindah lagi ke sofa awal yang ia duduki.     

Walau begitu, Daisy menonton handy cam itu. Matanya berkaca-kaca melihat Zen. Tahu bahwa Zen memang terluka akan kehilangannya, tapi yang lebih menyakitkan bagi Daisy adalah ketika Zen bercinta dengan seorang wanita yang disebutkan Alvon. Rekaman itu sangat jelas sekali memperlihatkan semuanya.     

Alvon menikmati pemandangan di hadapannya. Ia merentangkan kedua tangannya dengan kaki jenjangnya ia buka sedikit. Senyumannya terpampang jelas melihat reaksi Daisy yang sangat terluka akan ulah suaminya.     

Daisy langsung menutup handy cam itu karena tidak kuat dengan apa yang dilihatnya. Ia menatap Alvon yang tersenyum ke arahnya. "Bagaimana?" tanya Alvon.     

"Aku nggak habis pikir kamu sampai sehina merekam aktivitas seseorang," cibir Daisy.     

Dikedikkannya bahunya dengan bibir tertarik ke bawah. "Aku akan selalu membuatmu percaya bahwa Zen bukan laki-laki yang pantas untukmu, Daisy. Cuma aku seorang yang pantas di sisimu."     

"Oh, ya? Kenapa kamu nggak buktikan sendiri kalau kamu memang pantas untukku, hah?" tantang Daisy tanpa berpikir ulang.     

"Kamu menantangku? Kamu nggak berpikir aku akan menolaknya, kan? Sayang sekali jika tantangan wanita yang aku cintai nggak aku beli."     

Alvon langsung berdiri dan merapikan jasnya. "Pergunakan apa yang ada di rumah ini. Kamu bisa jelajah semuanya, tapi jangan coba berani pergi, karena anak buahku juga nggak sebodoh anak buah Zen. Aku harus mengurus sesuatu." Alvon berjalan mendekat ke arah Daisy yang berdiri di hadapannya. Ia ingin mengecup kening Daisy namun ia urungkan niatnya dengan erangan kesal.     

"Selamat menikmati rumah barumu, Daisy," ucap Alvon dan pergi dari hadapannya.     

Daisy menatap bahu lebar Alvon yang meninggalkannya tanpa menoleh ke arahnya lagi. Ia memikirkan tentang perubahan Alvon yang sangat drastis. Daisy mengenal Alvon sebagai sosok yang penuh dengan rasa ceria. Bahkan Alvon tidak pernah kasar atau berbuat hal buruk pada seseorang. Kini waktu menunjukkan perubahan seseorang.     

Setelah Alvon benar-benar pergi, Daisy pun melakukan sesuatu yang dinamakan room tour. Ia akan mencoba lari jika ada kesempatan. Saat ini setidaknya ia harus menunjukkan bahwa ia ingin menetap di rumah mewah ini. Rumah putih yang tanpa cacat cela.     

Mata Daisy melihat banyaknya anak buah Zen yang memang menjaga beberapa tempat. Saking banyaknya, Daisy hampir lemas memikirkan bahwa ia benar-benar tidak mempunyai kesempatan untuk lari.     

Ia akhirnya terduduk sebentar di kursi teras dan menatap sekelilingnya. Jalan menuju pagar utama sangat jauh. Bahkan pagar itu menjulang tinggi dan berwarna hitam. Daisy juga tidak mendengar suara kendaraan apa pun di luar sana. Sudah pasti letak rumah ini di yang jarang dilalui pengendara, pikirnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.