BOSSY BOSS

Chapter 54 - Dito & Nasihatnya



Chapter 54 - Dito & Nasihatnya

0"Memangnya kamu pikir saya melupakan hal sepenting itu?" tanya Zen     

"Saya pikir orang mudah melupakan sesuatu yang udah lama sekali, Zen."     

"Yah, tapi kamu nggak bisa menggeneralisasikan semua orang seperti itu, Rosi." Kali ini Rosi diam dan tidak membalas ucapan Zen. Ia tahu apa yang Zen katakan ada benarnya.     

Mereka pun sampai ditempat tujuan yang menjadi buah pikiran Zen. Kali ini Zen ingin sekali menikmati Soto Semarang yang beberapa kali ia lewati namun belum sempat ia singgahi. Mereka pun turun dan Rosi diam di tempat ia berdiri.     

"Ada apa? Kamu nggak keberatan kan, kita makan soto?" tanya Zen.     

"Ya … nggak masalah," jawab Rosi dan mengikuti Zen masuk ke dalam.     

Zen tahu apa yang membuat Rosi sangat bersikap tidak percaya bahwa mereka akan makan di pinggir jalan, adalah karena Zen bukan tipikal seperti itu. Tapi Zen memang banyak berubah sejak bertemu dan kenal dengan Daisy. Daisy menyadarkannya bahwa apapun makanannya, yang penting bersyukur masih bisa menikmati berkat dari Tuhan.     

Padahal Zen sama sekali tidak pernah berpikir hal seperti itu. Tapi Daisy, merubah segala pandangannya. Zen tahu bahwa jabatan dan harta tak akan ada apa-apanya jika kita tidak bersyukur.     

"Saya nggak tahu kalau kamu suka makanan seperti ini," ujar Rosi.     

"Saya juga berpikir begitu," balas Zen.     

Rosi menelengkan kepalanya ke menghadap Zen. "Jadi, kamu terpaksa makan di tempat ini?" Zen menggeleng kecil. Ia sebenarnya tidak ingin mengingat hal-hal berbau Daisy. Tapi siapa pun yang berharap bisa menghindar dari kenangan, pada akhirnya akan selalu ada yang membuat kita mengingatnya.     

"Ini … karena istri saya, Rosi. Dia yang mengenalkan saya dengan tempat sederhana seperti ini," jelas Zen begitu singkat.     

Rosi mengangguk mengerti. Namun ada ekspresi sedih dan sedikit cemburu pada wajahnya. Inilah hal yang tidak ingin Zen katakan pada Rosi. Karena walaupun sudah berlalu, biasanya perasaan yang pernah saling mencinta itu akan ada walau sekecil apa pun.     

"Kamu sangat mencintainya, ya?" tanya Rosi.     

Pembicaraan ini sedikit membuat Zen kehilangan selera makan. Rosi terus menerus memancingnya dengan obrolan tentang Daisy. Padahal Zen tidak ingin mengingatnya. Bukan karena tidak suka, hanya saja ia butuh relaksasi di saat seperti ini. Akhirnya Zen memilih tidak bicara sepatah kata pun.     

Setelah mereka selesai sarapan, keduanya kembali ke villa tanpa pembicaraan. Rosi seperti sedang kesal dengan Zen karena pertanyaan terakhirnya tidak di jawabnya. Zen pun membiarkannya karena ia tidak ingin berhubungan dengan wanita pun yang membuat Daisy sedih.     

Sayangnya, kenyataan berkata lain. Bahkan di hari pertama Zen sudah bercinta dengan wanita lain. Ia menikmatinya dan berhasil mengalihkan pikirannya dari Daisy.     

Rosi langsung turun dengan pintu mobil ia tutup dengan kencang. Zen langsung meraih pergelangan tangan Rosi hingga wanita itu berbalik menatap Zen. "Maaf, saya hanya nggak mau membicarakan dia, Rosi," ujar Zen akhirnya. Perasaannya benar-benar dilemma di saat seperti ini. Ia memang tidak ingin berurusan dengan wanita lain, tapi kehendak berkata lain. Setidaknya ia tidak mau bermusuhan dengan Rosi. Tidak di saat mereka di tempat yang sama.     

"Saya tahu. Kamu juga nggak perlu minta maaf. Saya yang nggak … tahu diri," timpal Rosi.     

"Rosi, kamu tahu hubungan kita nggak bisa seperti dulu, kan?" tanya Zen padanya.     

Rosi mengangguk lemah. Ia memikirkan hal kemarin yang mereka lakukan. Bagi Zen mungkin hanya biasa dan pemuas nafsu saja, tapi bagi Rosi adalah segalanya. Apalagi ia menyerahkan hal yang berharga miliknya pada Zen.     

"Dan semalam, aku nggak bermaksud mengambil apa yang kamu miliki. Aku pikir … "     

"Aku tahu, Zen. Kita akhirnya hanya sebatas ini, kan? Aku … harus ke dalam, terima kasih untuk tumpangannya dan sarapannya." Rosi langsung meninggalkan Zen tanpa mendengar balasan Zen terlebih dulu. Zen kembali ke dalam mobilnya. Ia merutuki dirinya sendiri karena sadar ia telah melukai perasaan wanita. Entah kenapa pesona dalam dirinya selalu membuat para wanita merasa sakit karenanya.     

Ketukan di jendela mobil mengejutkan Zen. Dito ternyata yang mengetuknya dan Zen pun membuka jendela mobilnya.     

"Lo dari mana aja?" tanya Dito.     

"Gue cuma jalan-jalan aja. Ada apa?" Bukannya membalas pertanyaan Zen, Dito malah ikut masuk ke dalam mobil.     

"Gue bosen di dalam. Sial, mana baru besok selesai lagi!" keluh Dito.     

"Emangnya kita nggak bisa balik hari ini aja?" tanya Zen.     

"Lo mau pulang sekarang? Bisa aja sih, kalau balik sekarang. Tapi Bro, gue lagi dekat si Monic, nih," kata Dito.     

Zen mengingat-ingat Monic yang Dito maksud. Pernah sekelas dengannya dengan kepintaran di atas rata-rata. Saat ini Dito sedang dekat dengannya. "Jadi akhirnya dia suka sama lo?" tanya Zen memastikan.     

Jika diingat lagi, Monic memang pernah digosipkan suka dengan Dito, hanya saja Monic mengelak dengan alasan ia tidak suka dan ingin fokus pada sekolah. Dan sekarang semua seolah memang sudah ada yang merencanakan.     

"Gue sih, berharapnya begitu. Karena dari cara kita dekat selama dua hari ini, dia kayak suka sama gue gitu," ujar Dito.     

Zen mengangguk paham. "Kalau gitu, kita baliknya sesuai yang direncanakan anak-anak aja. Gue nggak mungkin ngerusak acara lo, kan?"     

"Lo nggak apa-apa kan, Zen? Maksud gue di sini, lo jadi merasa baik nggak?"     

Ada niat dalam hati Zen ingin menceritakan tentangnya dan Rosi. Karena Dito memang selalu terbuka padanya, akhirnya Zen benar-benar melakukan niatnya itu. Ia menceritakan semuanya hingga membuat Dito terkejut bukan main. Apalagi di bagian mereka bercinta. Sesekali Dito tertawa hingga membuat Zen ikut tertawa.     

"Gila, gila, gila! Lo ini benar-benar bad boy yang disukai banyak cewek, ya? Bahkan udah menikah aja lo masih begini, Zen?" ejek Dito sekaligus memujinya.     

"Gue tetap salah kan, Dit? Dosa banget gue ke istri dan cewek-cewek yang gue jadiin pemuas doang."     

"Ya kalau bicara soal dosa, itu sih udah pasti. Tapi yah, yang namanya manusia, udah pasti nggak luput dari dosa, apalagi kesalahan. Kata gue sih, selagi bisa ya dinikmati. Konsekuensi dan risiko harus udah lo pikir matang-matang!" nasihat Dito.     

Anggukan kepala Zen ia berikan karena setuju dengan ucapan Dito. Apalagi biasanya laki-laki sangat susah untuk hal yang berurusan dengan wanita. Sukar menolak dengan alasan tidak enak.     

"Jadi, gue harus apa? Ngejar Rosi di saat gue juga lagi cari Daisy?" tanya Zen seperti orang bodoh.     

Dito tertawa melihat dan mendengar nada Zen. "Zen, Zen … Lo tuh, ya, kalau soal cewek benar-benar seperti orang tolol."     

"Jadi?" tanya Zen tanpa memperdulikan ejekan Dito.     

"Let it be aja, Zen. Kalau emang lo harus berurusan sama Rosi, maka lo harus hadapi. Lebih jelasnya, terhadap wanita mana pun, bukan cuma sama Rosi. Karena gue yakin lo nggak cuma akan berurusan sama Rosi. Bisa jadi setelah keluar dari villa, lo akan bertemu dengan wanita lain lagi."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.