BOSSY BOSS

Chapter 50 - Daisy Menghilang



Chapter 50 - Daisy Menghilang

0Kesialan menimpa Daisy. Ban mobilnya bocor di saat malam seperti ini. Ponselnya juga mati dan ia tidak membawa kabel data atau semacamnya untuk mengisi daya ponselnya. Terpaksa ia duduk diam di dalam mobil dan berusaha menyalakan ponselnya walau pun ia tahu ponsel itu tidak akan menyala sesuai harapannya.     

Apalagi ban mobilnya bocor di jalanan yang sepi. Seharusnya ia bisa sampai apartemen lebih awal jika tidak menuruti Ama untuk menemaninya di kost. Sekarang Daisy cuma berharap dengan keajaiban.     

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan mobilnya. Wajah Daisy terasa kaku seketika ia melihat seorang yang turun dari mobil itu adalah orang yang dikenalnya. Daisy berusaha mengatur nafasnya senormal mungkin dan bersikap biasa. Ia tidak boleh merasa ketakutan.     

"Butuh tumpangan?" tanya laki-laki itu. Daisy hanya diam tidak menjawab. Tatapannya ia tujukan pada jalanan di depannya.     

"Bahaya loh, wanita malam-malam seperti ini di luar. Apalagi sepi seperti ini," katanya seraya menakuti Daisy.     

"Kalau gitu aku telepon suamimu aja biar dia panik dengan siapa istrinya sekarang," ujarnya mengancam dan meraih ponselnya dari saku.     

"Alvon jangan!" seru Daisy akhirnya berseru.     

Alvon tersenyum dan satu tangannya memberikan isyarat untuk ikut dengan mobilnya. Daisy pun dengan kesal mengambil tasnya dan keluar dari mobil. "Aku akan urus mobilmu setelah ini. Biar mekanikku mengambilnya," kata Alvon tenang.     

"Nggak usah! Bisa bahaya kalau Zen sampai tahu kamu!" tolak Daisy.     

"Oke kalau gitu," balas Alvon sekenanya. Ia pun membukakan pintu depan untuk Daisy.     

Sejujurnya Daisy merasa takut jika ia sedang berduaan dengan Alvon seperti ini. Bukan karena sisi buruknya, tapi takut jika Zen mengetahuinya dan berbuat sesuatu yang tidak diinginkan.     

"Kamu dari mana, Daisy, malam-malam seperti ini?" tanya Alvon lembut.     

"Bukannya kamu tahu aku ke mana? Sehingga kamu bisa ngikutin aku?"     

Alvon tertawa mendengar ucapan Daisy yang terlihat sekali meremehkannya. Ia butuh jeda karena fokus dengan kemudinya. "Percayalah, jalanan ini adalah jalanan yang setiap malam aku lewati, Daisy. Masalah aku tahu mobil itu mobilmu ya, karena aku tahu semua tentangmu," jelas Alvon menjawab.     

"Sebenarnya apa yang membuatmu kembali ke Indonesia, Alvon?" tanya Daisy mengalihkan sekaligus masih penasaran.     

"Aku udah bilang kan, alasanku adalah kamu. Kamu nggak ingat dulu? Aku selalu ada di sisimu. Bahkan aku akan kembali untukmu, Daisy."     

"Itu udah lama. Kenapa kamu masih bertahan sementara kebanyakan orang melupakan apa yang udah lama berlalu," timpal Daisy.     

Alvon membalasnya dengan senyuman. Pembawaannya begitu tenang. Tidak seperti Zen yang keras dan bersikap bossy. Mendadak Daisy merindukan Zen. Ini bahkan sudah seminggu dan Zen hanya memberi kabar sekali di minggu pertama ini.     

"Daisy? Kamu melamun?" tanya Alvon.     

"Hah?" Daisy tidak tahu sejak kapan ia melamun hingga ia bisa melihat perubahan air muka Alvon.     

"Kamu benar-benar mencintai Zen, ya?" tanya Alvon dengan nada sendu.     

Tidak ada balasan dari bibir Daisy. Daisy sendiri juga tidak berniat menjawabnya. Karena memang ia masih belum tahu perasaannya pada Zen. Atau mungkin tahu namun tidak mengakuinya.     

***     

Entah kenapa Zen sama sekali tidak merasa begitu marah ketika ia mendengar ada Alvon yang sedang bersama Daisy secara tidak sengaja. Pembicaraan normal layaknya musuh jelas terdengar. Zen tidak merasa Daisy sedang terancam. Ia tahu, laki-laki mana pun yang menyukai Daisy, tidak akan melakukan hal yang gila dari padanya.     

Ditambah sekarang Daisy sudah sampai apartemen, Zen merasa lega. Walau di tiap nada bicara Alvon seolah mengancamnya, Zen hanya diam mendengarkan.     

"Bagaimana reaksi suamimu kalau tahu kita pergi bareng, ya?" tanya Alvon menggoda ketika mobilnya sudah sampai di depan apartemen.     

"Kita bukan pergi bareng. Ini hanya kebetulan, Alvon!" tegas Daisy. "Dan terima kasih untuk tumpangannya!" sambungnya lalu keluar mobil dan tanpa menoleh ke mobil Alvon.     

Zen mengulum senyumnya. Setidaknya Daisy benar-benar menjaga perasaannya. Memang seharusnya seperti itu, tidak seperti Zen yang malah tetap bermain wanita dengan alibi seks. Walau kenyataannya memang seks-lah yang Zen butuhkan di saat ia dan Daisy tidak saling bersentuhan seperti saat ini.     

Zen akhirnya memberanikan diri menghubungi Daisy. Setidaknya ia harus menghubunginya sesering mungkin, bukan malah menghindar begitu saja.     

"Halo?" sapa Daisy lemah.     

"Kenapa dengan suaramu?" tanya Zen.     

Terdengar jelas Daisy menghela nafasnya. Ia pun menceritakan segalanya yang terjadi hari ini dan Zen mendengarkan dengan sangat khidmat. Setelah Daisy menceritakan semuanya, Zen diam tidak merespons.     

"Apa kamu marah?" tanya Daisy di akhir ia bercerita.     

"Nggak. Aku rindu kamu, Daisy," ucap Zen akhirnya. Ia tidak bisa menahan lebih lama walau pikirannya tadi ingin mengikuti cara Daisy mendiamkannya.     

"Pulanglah kalau gitu," tutur Daisy halus.     

"Apa artinya kamu udah nggak marah sama aku?"     

"Pulang dulu aja, Zen. Kita ini suami istri, masa jauh-jauhan gini?" Lalu tiba-tiba panggilannya diputus oleh Daisy. Zen tahu saat ini jantung Daisy sedang berdebar. Belum lagi Daisy pasti merasa malu dengan kalimatnya tadi. Ia cukup mengenal Daisy bagaimana pipinya merona merah karena kata-kata manis yang kadang Zen katakan begitu saja.     

Zen lalu mengepak kembali pakaian-pakaiannya ke dalam kopernya. Ia berniat kembali ke apartemen besok dan memberikan kejutan pada Daisy tanpa memberitahu dan mengabarinya.     

"Mau ke mana?" tanya Neva saat ia masuk ke kamar Zen membawakan nampan berisikan susu dan camilan buatannya.     

"Besok saya harus kembali ke apartemen, Ma. Sepertinya Daisy udah mulai membaik sama saya."     

"Kamu yakin?" tanya Neva dengan senyuman.     

"Hmm ... yah, saya rasa begitu."     

"Ya, sudah. Susunya diminum, Mama keluar dulu."     

Baru saja Zen menghabiskan susunya, ia sudah menerima panggilan lagi. Nama Tino terpampang jelas di sana.     

"Ya?" sapa Zen.     

"Bos! Nona Daisy ... Nona Daisy!" seru Tino panik. Seketika itu juga Zen langsung ikut panik.     

"Apa? Katakan, Tino!"     

"Saya nggak tahu kejadiannya gimana, tapi saat Nona Daisy turun untuk ke resto di depan apartemen, Nona nggak balik-balik sampai saya datangi dan nggak menemukan beliau di mana pun. Sekarang ponselnya nggak aktif," jelas Tino terburu-buru.     

Zen langsung mematikan panggilan Tino dan ia bergegas keluar rumahnya dengan terburu-buru. Ia pun mengemudi mobilnya dengan cepat tanpa peduli lalu lintas yang ada. Hanya saja Zen sedang beruntung karena lalu lintas seakan mendukungnya untuk berjalan terus.     

Sampai apartemen, Zen langsung menemukan Tino dan anak buahnya yang lain. "Bagaimana? Apa sudah cek CCTV resto itu?" tanya Zen cemas.     

"Sudah, Bos. Tapi kami nggak mengenalinya. Yang kami tahu dia laki-laki berpakaian serba hitam. Kami lihat saat laki-laki itu mengikutinya dari belakang," jelas Tino tanpa kurang suatu apa pun.     

"Mobil apa?"     

"Jeep hitam, Bos. Tapi nomor polisinya kebetulan tidak kelihatan."     

Zen langsung memukul meja di ruang tamu apartemennya hingga terbelah pecah. Emosinya langsung naik seketika dan teringat akan seseorag yang terlintas dibenaknya, berencana menculik Daisy.     

Alvon.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.