BOSSY BOSS

Chapter 48 - Ancaman Daisy



Chapter 48 - Ancaman Daisy

0"Aku hanya keluar jalan-jalan sama Ama. Kamu nggak perlu khawatir yang berlebihan," ujar Daisy ketika ia meminta izin pada Zen.     

"Kabari aku kalau kamu ketemu dia?"     

"Iya," kata Daisy memutar matanya.     

Daisy pun meraih tasnya dan kunci mobil yang Zen fasilitasi untuknya. Namun sebelum pergi Zen memegang pergelangan tangannya. Membuat Daisy berhenti dan menoleh.     

"Apa lagi?" tanya Daisy sedikit kesal.     

"Apa kamu masih marah padaku?" tanya Zen dengan pertanyaan yang sama sejak mereka bertengkar.     

"Aku harus pergi, Zen." Daisy melepaskan tangan Zen dan kali ini benar-benar pergi tanpa menoleh atau Zen hentikan.     

Setelah keluar apartemen, Daisy merasa cukup tenang. Ia bahkan harus mengembuskan nafasnya lega dan mulai mengemudi mobil menuju tempat di mana ia akan bertemu Ama.     

Saat sampai mal, Daisy turun dari mobil. Ia melihat seeorang mengikutinya di parkiran mobil. Buru-buru Daisy masuk ke dalam demi menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Namun terlambat, kini langkahnya disamakan oleh seseorang. Daisy langsung menatap sisi kanannya. Sebuah senyuman simpul ditujukan padanya.     

Alvon akhirnya muncul, batin Daisy.     

"Halo, Daisy ... "     

Walau begitu, Daisy tetap berjalan. Ia mencoba tenang dan tegap lurus memandang ke depan.     

"Sapaanku nggak kamu balas?" tanya Alvon. Daisy tetap mengabaikannya hingga ia sedikit lega ketika ia sudah tiba di dalam mal dengan keramaian orang-orang yang berjalan. Matanya memandang ke segala arah untuk menemukan Ama. Hingga sebuah tangan melambai dan Daisy mendekatinya.     

"Berhenti! Kalau kamu mau bicara, jangan sekarang. Waktuku terlalu sibuk buat melayani kamu, Alvon," kata Daisy seraya membalikkan tubuhnya dan berhenti sebelum Ama bertanya macam-macam mengenai Alvon.     

"Oke. Aku akan menemuimu selama yang aku bisa, Daisy. Ingat ... aku selalu ada di sisimu. Dulu dan sekarang," kata Alvon membisikkannya dan melangkah maju meninggalkan Daisy.     

Sekejap Daisy memejamkan matanya dan kembali membalikkan tubuhnya menuju Ama.     

Sempat beberapa kali Daisy mencari-cari keberadaan Alvon karena ia merasa waswas dengan kehadirannya. Seharusnya juga Daisy memberitahu Zen, tapi ia merasa percuma. Sebab selama Alvon tidak macam-macam padanya, Daisy merasa aman-aman saja. Lagi pula, Daisy sendiri penasaran alasan apakah yang tepat di balik kembalinya Alvon ke Indonesia.     

Di sela-sela obrolan yang ke sana ke mari, tiba-tiba Daisy bertanya, "menurut lo, apa sebaiknya gue cerai sama Zen?"     

Mata Ama membelalak terkejut. Bahkan biar dikata berlebihan juga, ia tersedak ketika meminum minumannya.     

"Gila, lo? Lo mau cerai?" tanya Ama.     

"Gue ... cuma nanya, Ama."     

"Gue belum pernah nikah atau bercerai sekali pun, jadi gue nggak tahu. Lagian, ada hal yang bisa diselesaikan dengan kepala dingin ketika masalah datang, kan?" jelas Ama bijak.     

Daisy mengangguk paham dengan pernyataan Ama. Hanya saja Daisy merass jauh sedikit berbeda sejak seringnya Zen bermain di belakangnya. Sebab setiap kali mereka punya waktu berdua, Daisy teringat lagi akan apa yang dilakukan Zen.     

"Ya udah, lupain aja pertanyaan gue barusan," timpal Daisy kemudian. Ia akan bertahan selama yang ia bisa.     

***     

Tangan kiri Zen mengepal, sementara yang kanan menggenggam erat bir kaleng yang sedang ia minum. Ia benar-benar merasa emosi ketika mendengar dan tahu bahwa Daisy tak sengaja bertemu dengan Alvon dan tidak menghubunginya sama sekali. Sementara lagi, Zen mendengar tentang perceraian.     

Fatal, pikir Zen. Apa yang ia lakukan di belakang Daisy membuat istrinya itu berpikiran untuk bercerai.     

Zen tidak tahu bagaimana hidupnya nanti jika Daisy benar-benar sampai meminta cerai. Ia harus melakukan sesuatu. Memperbaiki segalanya dan membuat Daisy lupa, setidaknya.     

Demi mengusir rasa kesal akibat Alvon dan topik perceraian, akhirnya Zen menuju kantornya. Ia akan kembali jika Daisy pulang. Zen tidak ingin menjadi orang tolol di sepinya ruangan tanpa Daisy di dalamnya.     

"Alvon si orang kaya itu?" tanya Dito tersentak setelah Zen menceritakan mengenai Alvon dan segalanya yang berhubungan dengan Daisy.     

Zen mengangguk. Ia memang butuh teman bicara di saat-saat seperti ini. "Menurut lo, apa gue harus merasa lemah dengan kehadirannya?" tanya Zen sedikit bimbang.     

Dito menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Lo pesimis dengan hadirnya dia?"     

"Lo bisalah nilai gimana perbedaanya dia sama gue, Dit."     

"Hey, Man! Lo itu udah punya Daisy secara legal. Punya segalanya! Memangnya lo perlh sepesimis ini?" tegas Dito memberi semangat.     

Zen mengedikkan bahunya. "Entahlah ... di depan Daisy gue mungkin terlihat biasa seperti apa yang biasanya gue lakukan, tapi setelah nggak di depan dia, mendadak gue sedikit merasa ciut," terangnya.     

"Lo tenang aja. Nanti, sebisa mungkin gue bantu ngomong ke Daisy. Gue rasa dia lebih open ke orang lain dari pada sama suaminya sendiri. Lo tahu kenapa?"     

Zen menggeleng.     

"Karena dia mulai mencintai lo dan dia sedikit nggak terima dengan perasaan asingnya itu," jawab Dito penuh percaya diri.     

***     

Malam saat sampai apartemen, Daisy tidak menemukan keberadaan Zen. Suasana gelap dan Daisy merasa kesepian. Ia pun segera merapikan hal yang berantakan dan mandi. Setelah itu Daisy memilih menuju kasur untuk tidur.     

Langit-langit kamar ia pandangi dengan seksama. Hari ini baginya hari yang panjang. Rasa aneh dalam dirinya dan bertemu dengan Alvon sangat kelihatan berbeda dari dulu.     

Memikirkan Zen membuatnya berdebar. Tapi juga tak munafik membuatnya merasa kesal dengan cemburu dalam dada. Walau Dera sudah keluar dari kantor, entah kenapa hati Daisy belum merasa lega.     

Ia jadi ingat hari di mana ia menemui Dera dan mengancamnya dengan elegan, tanpa diketahui Zen sekali pun.     

"Tinggalkan kantor dan Zen. Kamu nggak mau kan, keluargamu jadi berantakan karena wanita yang diagung-agungkan, ternyata bermain dengan suami orang?" ancam Daisy saat ia meminta Dera menemuinya di sebuah resto yang Zen sama sekali tidak tahu.     

Dera hanya diam tak menjawab. Ia hanya mendengarkan apa yang Daisy sedang bicarakan.     

"Saya nggak main-main, Dera. Mungkin saya kelihatan diam saja dan lemah, tapi saya bisa membuat ancaman saya terjadi dengan satu jentikkan jari," jelas Daisy lebih antagonis.     

"Bagaimana kalau saya ternyata nggak peduli dengan keluarga saya sendiri?" balas Dera membuka suara.     

Daisy mengangguk paham dan mengeluarkan ponselnya. "Senggak pedulinya seseorang dengan keluarganya, mereka tetap merasa takut kehilangan keluarganya. Well, kalau kamu benar-benar nggak takut, saya akan hubungi Ibu yang berharga di kehidupan kamu itu," timpal Daisy tegas dan fokus pada ponselnya.     

"Halo, Ibu Siska?" sapa Daisy sopan dan menatap Dera     

Dera yang mendengar itu pun langsung meraih ponsel Daisy, walau sangat disayangkan ia tidak berhasil meraihnya.     

"Ups, oke. Ada yang mau dikatakan?" tanya Daisy dan mematikan panggilannya itu.     

"Ya ... oke! Saya akan keluar. Kamu nggak perlu mengganggu Ibu saya!" terang Dera.     

Daisy tersenyum kecil. Ia pun mengeluarkan lembaran cek yang berisi tulisan tangannya dan menyerahkan pada Dera. "Ambil itu sebagai penjamin kehidupanmu sampai kamu dapat pekerjaan baru. Jangan datang atau muncul lagi! Karena kalau saya sampai tahu, saya akan nekad lebih dari ini," ancam Daisy tegas dan berdiri lalu meninggalkan Dera sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.