BOSSY BOSS

Chapter 47 - Two People On Fire



Chapter 47 - Two People On Fire

0Hujan turun dengan lebat ketika Zen dan Daisy keluar dari pusat mal. Tidak ada yang menyangka bahwa cuaca hari ini akan hujan. Memang, sedari pagi kota sudah menunjukkan cuaca mendungnya, tapi sekali lagi, tidak ada yang tahu kalau hujan akan segini derasnya.     

Zen terpaksa mengemudi mobilnya dengan pelan. Menjalankan instruksi menyetir mobil yang benar dan aman. Sementara itu, di sebelahnya, Daisy hanya diam. Diamnya Daisy sudah terjadi sejak ia merasa keanehan dan mengatakan tidak ada apa-apa.     

"Daisy? Kamu kenapa? Apa sesuatu terjadi?" tanya Zen berempati.     

Daisy menatap Zen dengan nanar. Ekspresinya kali ini tidak ia sembunyikan dari hadapan Zen. "Aku ... mau cerita sesuatu padamu," katanya kemudian.     

"Ceritalah." Zen sudah berantisipasi pada bagian ini. Jikalau suatu saat Daisy ingin menceritakan mengenai Alvob, Zen siap mendengarnya tanpa emosi sekali pun.     

"Nggak di mobil. Aku nggak mau buat kamu terganggu."     

"Oke, kita cari kafe yang enak dulu," balas Zen seraya melihat ke kanan kiri untuk memastikan apakah ada tempat yang sesuai di kala hujan turun seperti ini.     

Akhirnya Zen menemukan sebuah tempat. Kedai kopi dengan miniatur vintage dan dengungan suara musik blues. Perpaduan yang indah di kala hujan tiba.     

"Ayo," ajak Zen menggandeng tangan Daisy untuk masuk ke dalam.     

Genggaman tangan Zen yang menyentuh tangannya membuat dirinya bergetar. Sadar, bahwa ia merindukan sentuhan Zen dibawah kulitnya. Apalagi ketika itu juga darah Daisy berdesir, menginginkan lebih dan berhasil melupakan rasa amarahnya karena Zen.     

Setelah memesan minuman dan sedikit camilan, Daisy mulai bercerita. Benar yang terjadi, ia bercerita tentang Alvon. Sampai saat ini Daisy memang takut dengan keagresifan Alvon yang menginginkan dirinya. Namun tentu Daisy cukup berani menolaknya terus menerus walau Alvon memiliki sifat yang baik di sampingnya.     

"Kamu mau aku melakukan apa, Daisy?" tanya Zen setelah mereka sampai di akhir pembicaraan.     

"Biarin ... biarin dia sampai bertemu denganku. Aku, akan memutuskannya nanti apa yang harus kita lakukan."     

"Daisy, aku nggak ingin ambil risiko kamu kenapa-napa," ujar Zen.     

Daisy menggeleng lembut. Kali ini ia tersenyum. Senyuman yang baru ia berikan pada akhirnya pada Zen. "Aku akan baik-baik aja, Zen. Sebenarnya Alvon bukan tipikal yang membuat seseorang terluka. Bahkan di saat ia merasa hilang kendali, ia nggak akan melukaiku.     

Zen mengecup tangan Daisy setelah beberapa saat waktu. Mereka kemudian saling berpandangan satu sama lain. Pandangan yang mendama dan saling ingin. Lalu, keduanya memutuskan untuk pulang segera dan menuntaskan apa yang selama ini belum dituntaskan.     

Belum sampai apartemen, Zen sudah membopong Daisy seraya menciuminya. Sementara itu Daisy membantu membuka pintu apartemen dan menutupnya kembali. Mereka pun saling melepas kerinduan. Berciuman, bersentuhan, hingga yang terakhir saling memberikan kenikmatan yang sempat tertunda karena sebuah masalah.     

Di sofa yang panaslah mereka akhirnya bercinta dan berkeringat. Deruan nafas setelahnya mereka atur bersama dan Zen memeluk Daisy dari belakang setelah permainan berakhir.     

Daisy sesaat tertidur di pelukan Zen hingga suata Tino membuat Zen mengumpat lirih. Beruntungnya Daisy tidak bangun. Zen memberikan isyarat untuk Tino jangan bergerak mendekat sampai Zen memberikan selimut untuk menutupi tubuh Daisy yang mempesona.     

Di satu sisi, ada perasaan malu pada diri Tino setelah melihat Bos-nya dan istrinya bercinta di sofa. Bukan satu kali, tapi sering, namun Tino sudah cukup terbiasa melihatnya.     

"Ada apa?" tanya Zen seraya mengenakan celananya. Zen bahkan tidak malu bertelanjang di hadapan Tino sehabis bercinta.     

"Orang kantor menelepon Anda, Bos. Tadi sempat menghubungi langsung ke ponsel Anda, tapi Anda tidak mengangkatnya," info Tino.     

Zen memeriksa ponselnya dan benar saja beberapa panggilan dari kantor memenuhi notifikasinya. "Terima kasih, Tino. Kamu boleh keluar," ujar Zen.     

Dengan meninggalkan catatan di meja sofa untuk Daisy dan mengecupnya pelan, Zen langsung pergi menuju kantornya dengan pakaian formal. Ia memang ada pertemuan dengan klien besar sehingga mengharuskannya memakai pakaian yang serba formal dengan persiapab singkat.     

"Maaf, saya ada kendala di apartemen. Apakah beliau marah?" tanya Zen pada Ita.     

"Nggak, Pak. Bapak Alvon sudah di dalam menunggu Bapak," ujar Ita kemudian.     

Gerakan Zen berhenti ketika sekretarisnya menyebut nama Alvon. Padahal yang Zen tahu, ia akan melakukan pertemuan dengan direktur jasa konstruksi bernama Alvi, bukan Alvon. Zen pun memastikan kembali pada Ita.     

"Siapa tadi kamu bilang?" tanya Zen.     

"Bapak Alvon, Pak. Alvon Brahma Gunawangsa," jelas Ita.     

Zen langsung kaku seketika. Ia bahkan butuh sepersekian detik untuk memutuskan apakah ia akan masuk ke ruang pertemuan atau tidak.     

"Tunggu, kamu bilang namanya Alvi? Kenapa jadi Alvon?"     

"Bapak Alvi adalah adiknya, Pak. Lebih tepatnya lagi, manager di perusahaan itu. Tapi ternyata ada perubahan yang mengharuskan Bapak Alvi diganti oleh Bapak Alvon, kakaknya." Cukul jelas Ita menjelaskan, Zen mengepalkan tangannya kesal. Entah mengapa ia mendadak menjadi bodoh seperti ini. Sekarang musuhnya sendiri adalah klien di perusahaannya.     

Akhirnya Zen masuk ke dalam dengan langkah santai dan profesional. "Maaf, menunggu lama," ucapnya sopan.     

Alvon yang duduk di kursi dengan pandangan tenang, mengangguk secara profesional juga. Ia tersenyum sedikit menatap Zen saat itu juga.     

"Nggak kusangka, kita akan menjadi partner, ya?" kata Alvon.     

"Yah, nggak kusangka juga," timpal Zen.     

"Jadi, kita akan mulai sekarang?"     

Zen mengangguk dengan pandangan waspada dan pertemuan yang membahas mengenai kesepakatan pekerjaan pun dimulai.     

Setelah pertemuan akhirnya selesai, Zen bersalaman dengan Alvon secara profesional san Alvon pun membalasnya juga. Sayangnya, mereka tidak langsung selesai begitu saja. Bahkan Alvon sendiri yang memilih menetap dan memulai pembicaraan pada Zen.     

"Aku rasa Daisy udah tahu kehadiranku?" tanya Alvon memancing.     

"Kenapa lo masih single?" tanya Zen mengalihkan topik.     

Terdengar kekehan Alvon seolah tak percaya bahwa Zen akan menanyakan itu padanya.     

"Dan kenapa lo masih sempatnya mengejar sesuatu yang udah milik orang lain?" sambung Zen.     

"Daisy bukan milik lo. Dari dulu dia milik gue. Gue udah pastikan itu sejak gue meninggalkan dia," jelas Alvon.     

"Wow! Cara lo nggak elegan, Alvon. Apa pantas seseorang yang meninggalkan orang lain disebut seorang yang baik? Padahal kalian nggak ada hubungan apa pun."     

Tiba-tiba Alvon berdiri dan mengancingi jasnya serta merapikannya. "Gue nggak main-main, Zen. Dia milik gue. Gue nggak akan diam aja lihat dia sama orang yang bukan gue. Gue permisi."     

"Oh, satu lagi," tiba-tiba Alvon berhenti berjalan dan membalikkan tubuhnya ke arah Zen. "Daisy cukup tahu hal-hal apa aja yang menjadi ciri khas gue. Kemarin, gue udah memberikan clue itu sama dia. Jadi, kalau sampai dia tercengang, artinya dia belum lupa akan gue."     

Zen membiarkan suara klotak sepatu Alvon menggema di ruang pertemuan dan menjauh hingga tak terdengar sekali pun. Ia sudah berhasil memancing emosi Alvon, sekarang tinggal bagaimana melindungi Daisy agar terhindar dari manusia yang bernama Alvon. Tapi mendengar nada Alvon barusan, ia sama halnya terpancing dan tersulut emosi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.