BOSSY BOSS

Chapter 46 - Alvon Brahma Gunawangsa



Chapter 46 - Alvon Brahma Gunawangsa

0Kehadiran Alvon cukup membuat Zen waswas. Bagaimana tidak, Alvon yang setara dengannya jelas mengancam dirinya. Sedari dulu. Bahkan, Kanya hampir masuk dalam perangkapnya. Walau gagal, tapi harus Zen akui, Alvon memang berbeda.     

Bagaimana bisa seorang Alvon memiliki relasi dengan Daisy, yang bahkan tidak kuketahui? Batinnya dengan rasa penasaran.     

Zen tidak mungkin bertanya langsung pada Daisy. Satu-satunya cara adalah dengan mencari tahu secepat mungkin.     

Sembari memandang Daisy yang masih bermain dengan air laut, Zen menghubungi Tino.     

"Cari tahu siapa Alvon Brahma Gunawangsa dan memiliki relasi apa dengan Daisy," perintahnya lalu menutup panggilan itu dengan sepihak.     

Ia cukup tahu siapa Alvon, tapi kenal dengan Daisy ... Zen tidak tahu.     

Setelah mereka memutuskan untuk kembali ke apartemen, Zen tidak bisa berhenti berpikir tentang Alvon. Ia bahkan sesekali melirik Daisy yang hanya diam. Bibirnya yang membisu jelas membuat Zen ingin memulai topik pembicaraan. Sayangnya, pikiran Zen sedang tidak seimbang.     

"Bisa tolong biarin aku pulang ke rumah Ibu?" tanya Daisy tiba-tiba.     

Cukup lama bagi Zen menjawab pertanyaan Daisy karena sedang banyak pikiran.     

"Zen?" panggil Daisy.     

"Ya ... oke, aku akan antar ke rumah Ibu," jawab Zen sekenanya.     

Dahi Daisy berkerut. Jauh di luar dugaannya, Zen mengizinkannya untuk pulang ke rumah Weiske. Padahal Daisy sedikit berharap bahwa Zen mencegahnya.     

Daisy langsung masuk ke dalam rumahnya begitu saja tanpa mengucapkan sepatah dua kata pada Zen. Ia benar-benar muak dengan kelakuan Zen dan Zen membiarkannya sementara seperti itu. Walau pun sebenarnya dalam hati Zen ingin sekali marah pada Daisy, tapi Daisy benar-benar menguji kesabarannya. Lagi pula, Zen juga tidak mungkin langsung marah begitu saja pada Daisy setelah apa yang diperbuatnya beberapa hari lalu.     

Zen pun cepat-cepat menuju apartemennya karena anak buahnya sudah mendapati info mengenai hubungan Alvon dan Daisy.     

Panjang lebar Tino menjelaskan tentang Alvon, dan itu berhasil membuat Zen kesal juga mengepalkan tangannya.     

Alvon, laki-laki berparas tampan rupanya memiliki perasaan pada Daisy. Sudah lama sekali sejak di bangku SMA. Sayangnya perasaannya ditolak oleh Daisy hingga membuatnya harus berpindah ke luar negeri, membuktikan bahwa ia memiliki segalanya, dan kini kembali karena ingin menarik Daisy agar jatuh cinta padanya.     

Pekerjaannya sebagai direktur sekaligus pemilik di bidang jasa konstruksi membuatnya memiliki segalanya yang bisa ia raih. Zen yang mengamati riwayatnya saja sampai harus menelan ludahnya.     

Sementara itu, hubungan Zen dan Alvon sendiri bisa saling mengenal karena hampir saja Alvon membuat Kanya goyah. Dengan segala kekayaan yang dimiliki, ia menggoda Kanya agar mau bersamanya. Dan beruntungnya Kanya menolak lantaran Kanya tidak suka dengan laki-laki agresif.     

"Sial!" seru Zen.     

***     

Cermin yang ada di hadapannya membuatnya mengamati dirinya sendiri. Tubuh yang kurus dan kurang segar, membuatnya merasa jijik seketika. Ia bahkan sudah lama tidak pergi ke salon.     

Daisy pun akhirnya memilih untuk pergi ke salon langganannya yang berada di pusat mal. Karena ia sedang marah pada Zen, ia tidak perlu susah payah meminta izinnya. Daisy hanya perlu berpamitan pada Weiske.     

Saat sampai salon, Daisy langsung tersenyum pada terapis yang biasa menanganinya. Mereka sempat kecup pipi bersamaan dan tinggal Daisy melakukan perawatan yang diinginkannya.     

"Kurus banget sih, kamu?" ujar si terapis yang bernama Wini.     

"Iya, nih. Diet ternyata membuat aku jauh lebih buruk," timpal Daisy tak sepenuhnya bohong.     

Wini berdecak sekaligus memijat beberapa bagian tubuh Daisy. "Terus ini datang sendiri? Biasanya sama suami?"     

"Dia ... sibuk, Win. Jadi aku mutusin buat datang sendiri."     

"Ah, masa?"     

Kali ini gantian Daisy yang berdecak. Ia menahan tawa kecilnya karena walau baru berteman dengan Wini, rupanya Wini cukup tahu jika Daisy menyembunyikan sesuatu.     

"Yah, oke, kami ... ada selisih paham. Dikit," ucap Daisy mengalah.     

"Namanya rumah tangga kan, Dai. Pasti ada selisih paham. Sabar, ya?"     

Daisy hanya bergumam dan tak melanjutkan pembicaraan karena ia sedang ingin menikmati pijatan dari terapis favoritnya. Lagi pula, Daisy berniat mempercantik diri.     

Setelah urusan pijat dan scrub, Daisy membersihkan tubuhnya dengan mandi susu sesuai permintaan perawatannya. Cukup lama Daisy mandi hingga ia tak sadar bahwa sedari tadi ponselnya bergetar.     

Barulah Daisy menyentuh ponselnya dan dahinya berkerut karena panggilan dari Zen dengan jumlah lima belas kali menghubunginya. Tapi Daisy mengabaikannya dan membiarkan Zen menghubunginya lagi.     

Namun apa diharap, Zen tidak menghubunginya lagi sehingga Daisy sedikit merasa kesal. Ia pun memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menuju salon perawatan rambut di bawah.     

Saat Daisy akan duduk di kursi salon yang telah di sediakan, tiba-tiba ia melihat Zen. Ya, Zen ternyata ada di salon ini yang sepertinya memang datang untuk Daisy.     

"Dia kayaknya khawatir sama kamu," bisik Wini memberitahu.     

"O-oh ... sebentar ya, Wini."     

Daisy menuju tempat di mana Zen berdiri. Ia menyilangkan kedua tangannya dengan wajah judesnya itu. "Ada apa?" tanya Daisy sengak.     

"Aku cuma mau cek kamu setelah tahu di rumah kamu nggak ada. Kenapa nggak bilang, Daisy?"     

"Aku lagi mau refreshing. Sebaiknya kamu pulang."     

"Nggak. Aku duduk di sini dan menunggu kamu sampai selesai," tegas Zen lalu duduk di kursi tunggu. Daisy tidak bisa lebih galak dari ini. Jadi ia membiarkan Zen menunggunya. Lagi pula, ia cukup senang ditunggu suaminya seperti momen-momen ini.     

Selesai sudah sesi perawatan Daisy hingga kini ia bisa melihat dirinya terlihat berbeda dari sebelumnya. Setidaknya lebih enak dipandang dan terlihat menawan. Ia bisa menilai dirinya sendiri. Bahkan Daisy mengecup pipi Wini secara bergantian dan meninggalkan salon setelah akhirnya Zen memaksa membayar semuanya.     

"Kamu ... cantik," puji Zen ketika keduanya sudah keluar salon.     

Dengan malu-malu namun masih marah, Daisy berterima kasih atas pujian itu dan mendahului Zen berjalan lurus.     

"Apa kamu masih marah?" tanya Zen dengan suara yang kembali datar, khas Zen sekali.     

"Belikan aku es krim," pinta Daisy tanpa menjawab pertanyaan Zen.     

Tiba-tiba Daisy berhenti ketika ia mencium aroma parfum yang bukan biasa. Daisy cukup mengenal bau parfum itu. Parfum yang hanya bisa dipakai oleh seseorang dari masa lalunya. Itu pun karena baru saja seorang laki-laki melewatinya dengan sangat dekat, sehingga memberikan efek bau parfum yang sangat wangi.     

Daisy menoleh ke belakang, namun ia tidak melihat siapa pun. Wajahnya bahkan seketika memucat. Matanya ke segala arah, mencari-cari orang yang baru saja melewatinya.     

"Ada apa, Daisy?" tanya Zen menyentuh pinggang Daisy setengah memeluk.     

"Nggak ... nggak ada apa-apa," jawab Daisy bergetar dan kembali membalikkan tubuhnya. Zen sendiri menoleh ke belakang ketika mereka kembali berjalan. Bahkan Daisy ikut menoleh juga karena masih ingin memastikan.     

Tepat saat Daisy menoleh, saat itu juga sebuah lambaian tangan tertuju padanya. Seringaian membentuk senyum dengan wajah tampan ia tunjukkan pada Daisy. Daisy langsung berbalik dan tak ingin melihat ke belakang lagi. Ia berharap Zen tidak melihatnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.