BOSSY BOSS

Chapter 45 - Siapa Dia?



Chapter 45 - Siapa Dia?

0Musik jazz mengalun indah di pagi hari. Membuat Daisy terbangun dan sadar bahwa ia sudah kembali lagi ke apartemen. Ia melihat sisinya, Zen sudah tidak ada. Lalu musik jazz yang menyala itu, milik siapa? Batinnya.     

Saat Daisy keluar kamar, ia melihat Zen sedang berolahraga. Seperti biasa, ia berolahraga di balkon dengan musik jazz itulah yang menemaninya hingga membangunkan Daisy.     

Cuaca bahkan sangat mendukung dengan musik jazz itu. Dan juga Daisy masih sedikit merasa mendung di hatinya. Pertengkaran semalam hingga membuatnya kembali ke apartemen, membuatnya menjadi canggung.     

Diraihnya air mineral yang ada di dalam kulkas, hingga Zen menoleh ketika suara pintu kulkas tertutup. Senyumannya membuat Daisy lupa akan rasa canggungnya.     

Sial! Dia selalu punya cara membuat aku luluh, batinnya.     

"Selamat pagi, Daisy. Hari ini kita akan ke pantai, jadi bersiaplah," kata Zen.     

"Pa-pantai? Untuk ... apa?" Pertanyaan yang sudah terlontar membuat Daisy sadar bahwa Zen sedang mencoba mendamaikan suasana.     

"Liburan. Lebih tepatnya aku ingin memperbaiki semuanya. Beri aku kesempatan, oke?"     

Genggaman tangan Zen memberi sengatan pada darah Daisy hingga terasa hangat dan lebih hidup. Namun Daisy segera melepas genggaman itu buru-buru.     

"A-aku bersiap dulu kalau gitu." Daisy langsung meninggalkan Zen kembali ke kamar dan membiarkan Daisy menikmati waktu adaptasinya.     

Cuaca mendung sebenarnya sangat tidak cocok jika harus ke pantai. Namun Zen tidak peduli akan hal itu. Yang penting baginya adalah mengembalikan bagaimana diri Daisy yang dulu. Tentu saja ia merasa bersalah atas segala sikapnya di belakang Daisy. Tapi ia juga tidak merasa hal itu mempengaruhi bagaimana perasaan Zen pasa Daisy.     

Perjalanan panjang menuju pantai diisi dengan keheningan. Benar-benar hening dan keduanya sangat kaku. Daisy sendiri merasa canggung, berharap ia setidaknya bisa berhenti di pinggir jalan atau segera saja sampai pantai agar suasana tak sesuram yang ia rasakan.     

"Aku dapat laporan dari Gery, kamu berhenti jadi model?" tanya Zen memecah keheningan.     

Daisy memejamkan mata sebentar karena tahu Gery sudah pasti melaporkannya.     

"Ya. Aku memutuskan untuk berhenti."     

"Apa kamu nggak kenapa-napa?"     

"Apa kamu mau aku tetap jadi model?" tanya Daisy balik.     

Zen menggeleng. "Dari awal aku udah nggak suka kamu jadi model. Istriku nggak boleh mengekspos tubuhnya di hadapan orang lain selain aku." Nada bicara Zen benar-benar mendominasi. Sejenak membuat Daisy merasa senang mendengarnya.     

"Berarti aku benar ambil keputusan itu," timpal Daisy.     

"Lalu kamu mau bekerja apa? Kamu bilang kamu ingin menyibukkan diri."     

Belum ada jawaban dari bibir Daisy. Ia sendiri masih memikirkan hal itu. Bisa saja ia diam di apartemen, melakukan hal yang disukainya. Tapi Daisy masih bingung.     

"Aku belum tahu," jawabnya akhirnya.     

"Kalau kamu butuh sesuatu, kamu tinggal bilang aku, Daisy."     

Daisy hanya diam menanggapi ucapan Zen. Ia tahu Zen bisa melakukan segalanya untuknya. Tapi Daisy sendiri memilih segalanya seorang diri. Ia benar-benar ingin melakukan hal yang disukainya dengan usahanya sendiri, bukan dari Zen.     

Dua jam perjalanan menuju pantai akhirnya sampai. Ternyata cuaca tidak sesuai dengan apa yang dilihat dan dirasa ketika sudah sampai pantai.     

Cuaca pantai memang seperti cuaca pantai. Hiruk pikuk orang-orang berlalu lalang dengan ceria bisa Zen lihat di balik kacamata hitamnya itu. Zen bahkan sesekali melirik Daisy yang ada di sisinya. Mengenakan baju terusan pantai yang sangat anggun dan seksi di matanya.     

Zen sibuk melebarkan tikar pantai di pasir, lalu Daisy menaruh keranjang bawaan mereka yang berisi makanan dan minuman di atasnya. Zen pun lalu merebahkan diri dengan satu sikunya menumpunya. Ia menghadap Daisy yang masih duduk menghadap pantai dengan ombak yang berderu.     

"Apa kamu merasa tenang melihat pantai?" tanya Zen.     

"Ya."     

"Kamu terlihat sangat kurus sekali, Daisy," kata Zen.     

"Aku melakukan diet, ingat itu?" Kali ini Daisy menatap Zen dengan kacamata hitamnya yang ia turunkan sendiri. Menegaskan aktivitas dietnya pada Zen.     

Daisy meraih bir dan membukakannya untuk Zen. Sementara ia sendiri memilih cola diet untuk dikonsumsi.     

"Kamu bahkan nggak pernah minum soda, Daisy," kata Zen lagi setelah melihat Daisy meminum soda.     

Daisy menatap soda yang ia pegang. Menyesapnya sekali lagi dan membiarkan angin menerpa rambut hitamnya ke belakang.     

"Memangnya seburuk itu perubahanku di depanmu?" tanya Daisy yang merasa sedikit risi dengan pertanyaan-pertanyaan Zen.     

"Ya. Mereka menggangguku," bisik Zen. Ia sudah dalam posisi duduk dan membisikkan kata-kata itu di telinga Daisy.     

"Kamu nggak akan bisa menggoda aku, Zen!" ucap Daisy lalu berdiri dan meninggalkan Zen menuju ombak pantai. Zen hanya memandangnya dengan decakan dan membiarkan matanya menjelajah setiap inci tubuh Daisy.     

Mata yang memandang Daisy itu teralihkan oleh deringan ponsel milik Zen. Ia melihat nama yang tertera di sana. Nomor kantornya menghubunginya. Zen berdecak kesal karena ia sudah mengatakan pada Ita bahwa tidak ada yang boleh mengganggunya hari ini.     

"Ada apa, Ita?" tanya Zen langsung.     

"Maaf, Pak. Hari ini Dera mengundurkan diri dan memaksa ingin pesangon hari ini juga," info Ita menjelaskan.     

Awalnya Zen hanya diam. Nama Dera ia dengar lagi setelah beberapa hari lalu ia tidak mendengar dan melihatnya. Memang, sejak itu Dera tidak kelihatan. Dan sekarang, secara mendadak Zen mendengar info darinya.     

"Bagaimana, Pak?" Suara Ita membuyarkan keheningan Zen.     

"Sampaikan pada HRD dan biar bagian sana yang mengurusnya. Saya sedang nggak bisa diganggu, Ita."     

"Baik, Pak. Mohon maaf dan selamat menikmati waktu Bapak."     

Dimatikannya panggilan itu dan Zen kembali memandang Daisy yang masih bisa ia lihat dengan kedua matanya. Dari belakang Daisy benar-benar tampak menawan. Zen bahkan harus bersusah payah menghela nafasnya.     

Dera mengundurkan diri dan baginya sangat aneh. Sebab yang dilakukan Dera itu mendadak, sementara Zen tidak tahu di balik alasan itu.     

Tapi seharusnya Zen merasa lega. Setidaknya tidak ada yang mengganggu imannya. Setidaknya Zen bisa mengurangi hal-hal negatif yang Dera berikan.     

"Hai, Zen ... " Suara besar milik laki-laki tiba-tiba duduk bersamanya di tempat milik Daisy.     

Zen menoleh dan mengatupkan rahangnya. Ia cukup terkejut dengan apa yang dilihatnya. Musuh dari segala musuh lama yang tiba-tiba muncul di hadapannya.     

"Alvon," ujar Zen datar dan kembali memandang Daisy.     

Keduanya sama-sama diam. Zen berharap Daisy tak segera kembali ke sisinya jika Alvon masih di sini. Berharap semoga Alvon segera enyah darinya.     

"Jadi, lo akhirnya menikah," kata Alvon.     

"Ngapain lo di sini, Alvon? Lo ngikutin gue? Atau mau kembali merusak kebahagiaan gue?" Zen tidak menjawab pertanyaan Alvon dan malah mengalihkannya.     

Terdengar decakan Alvon tanpa Zen menoleh ke arahnya. "Artinya lo belum tahu apa-apa soal istri lo," jawab Alvon.     

Tubuh Zen merasa kaku ketika Alvon membahas soal Daisy. Pikirannya berkelit tentang apa yang sebenarnya belum Zen ketahui mengenai Daisy. Padahal Zen merasa ia sudah tahu cukup banyak seluk beluk kehidupan Daisy.     

Alvon menepuk-nepuk bahu Zen dan berdiri hendak pergi. "Itu PR buat lo, oke? Gue cabut," katanya dan berlalu dengan santai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.