BOSSY BOSS

Chapter 44 - Pemberontakan Daisy



Chapter 44 - Pemberontakan Daisy

0Memilih jauh dari kenangan akan Daisy adalah langkah terbaik bagi Zen. Ia sementara meninggalkan apartemennya begitu saja dan menetap di rumah Neva, Mamanya. Tidak ada pilihan lain selain di sana. Sebenarnya, bisa saja ia menyewa hotel namun Zen memilih rumah Neva karena ia tahu Neva akan selalu menghiburnya di kala susah.     

Kegelisahannya berangsur memudar sejak menetap di rumah Neva. Di samping Neva yang selalu memberinya kekuatan, Zen juga disibukkan oleh pekerjaannya. Sehingga, ia hanya luang di malam hari yang larut.     

Suatu malam setelah meninggalkan kantor, Zen ingin melepas penat di kafe yang berada di pinggir danau kota. Ia ingat, kafe ini adalah tempat di mana ia mencurahkan segala perasaannya pada Daisy. Bukan menghindar, malah Zen semakin ingin duduk di kafe itu.     

"Espresso milk satu," pesan Zen seraya menatap menu di papan atas kasir.     

"Ada lagi?"     

"Double cheese burger satu, tanpa acar," kata Zen.     

Kasir itu mengulangi pesanan Zen dan begitu Zen membayar tagihannya, ia pun memilih tempat yang di mana cocok untuk seorang diri.     

Diletakkannya ponselnya di hadapannya. Sesekali Zen melirik ponselnya, menunggu seseorang ... yang tak lain dan tak bukan adalah istrinya, Daisy. Namun tetap, tidak ada notifikasi dari Daisy.     

Tiba-tiba suara sepatu wanita mendekat, Zen terkejut karena ternyata Kanya-lah yang menghampirinya. Kanya tersenyum pada Zen lalu duduk di hadapannya. "Hai," sapa Kanya.     

"Kamu ... ngapain di sini?" tanya Zen.     

"Oh, ayolah Zen. Jangan kaku. Kita berdua udah punya kehidupan masing-masing, kan? Aku juga nggak menuntut kamu untuk membiayai Vista, walau pun kamu rutin mengirim. Dan itu terima kasih sekali! Lalu, bisa nggak kita berteman? Aku nggak mau di antara kita ada selisih paham," jelas Kanya.     

"Bagaimana kabarnya?" tanya Zen mengalihkan topik     

"Dia baik. Sangat baik dan tampan sepertimu. Bagaimana kabarmu? Dan Daisy?" Kanya melirik ke kanan-kiri untuk menemukan Daisy.     

"Dia nggak ada di sini," jawab Zen sekenanya setelah ia membawa air muka Kanya.     

"Oh, sorry. Nggak masalah kan, aku duduk di sini?"     

"Asal jangan terlalu lama," balas Zen.     

Kanya tertawa kecil seraya menyeruput cokelat hangatnya. Minuman yang Kanya pesan mengingatkan Zen kembali akan Daisy. Terkadang, Daisy lebih senang cokelat hangat di sini ketimbang kafein.     

"Kamu masih sama saja, ya? Masih dingin dan sangat kamu!" nilai Kanya.     

"Dan kamu ... berubah," kata Zen merasa sedikit ragu dengan perubahan Kanya.     

"Mau cerita apa masalah kalian?" tanya Kanya.     

Zen menaikkan kedua alisnya. Ia menatap Kanya dengan pandangan tak percayanya. Jadi Zen memilih menggelengkan kepalanya.     

Namun akhirnya mereka menemukan topik yang bisa dibicarakan jadi keduanya tidak saling merasa canggung di meja yang sama. Zen pun tampak menikmati pembicaraan itu selama hampir satu jam.     

"Oh ... Zen," tiba-tiba Kanya memotong ucapan mereka dan melihat ke belakang tubuh Zen. Zen pun refleks mengikuti pandangan Kanya terarah.     

Daisy.     

Daisy berdiri di sana menatap keduanya seraya memegang minumannya. Pandangan matanya terarah ke Zen dengan tatapan sayu. Mata yang menyiratkan kerinduan namun merasa dikhianati lagi, melihat Zen dengan mantan kekasihnya yang juga Ibu dari anak yang mereka ciptakan.     

Zen segera mengejar Daisy ketika tahu Daisy berlari keluar dari kafe. Beruntunglah Daisy bisa ia kejar dan ia raih pergelangan tangannya.     

"Lepas!" lirih Daisy.     

"Aku nggak akan biarin kamu pergi lagi, Daisy!" Suara lantang Zen membuat beberapa orang yang masih di sana, menatap mereka.     

"Lepasin, Zen!" seru Daisy.     

Kali ini sentakan Daisy membuat Zen tak bisa diam begitu saja. Ia pun lalu membawa Daisy bagaikan penculik menculik seorang wanita. Lalu Zen memasukkannya ke dalam mobilnya dan mengunci segala akses agar Daisy tidak pergi darinya lagi.     

"Kenapa sih, aku harus ketemu kamu?!" tanya Daisy kesal. Ia mulai menangis dan Zen hanya diam saja, fokus pada kemudinya.     

"Aku benci kamu! Benci kamu, Zen!" teriak Daisy.     

"Kamu nggak akan bisa benar-benar membenciku." Kali ini Zen membalasnya.     

***     

Tidak ada yang bisa melawan kekuasaan Zen. Bahkan di saat Zen terpuruk pun, tidak ada yang bisa membuatnya semakin lemah. Bagaimana pun Zen akan selalu mengerahkan segalanya untuk mendapatkan yang ia mau.     

Seperti saat ini ketika akhirnya ia kembali ke apartemennya bersama Daisy. Mengunci apartemennya rapat-rapat dan membiarkan Daisy berusaha untuk melarikan diri, padahal Daisy tidak akan bisa.     

"Berhenti mencoba melarikan diri, Daisy. Ayo, kita bicara!" Suara dominasi Zen membuatnya berhenti bergerak.     

"Nggak! Aku nggak mau bicara apa pun sama kamu, Zen!"     

"Kamu bilang kamu maafin aku. Tapi setelah itu kamu menghindar, kamu menjaga jarak dan membuatku merasa kesakitan ... kamu pikir, aku nggak merasa bersalah, hah?" jelas Zen. Kini ia melangkah, mendekati Daisy secara perlahan hingga Daisy harus mundur di setiap langkah Zen mendekat.     

"Lalu kamu pikir, aku nggak merasa kecewa dan sakit hati? Berapa kali kamu main belakang sama Dera? Dan ... kamu pikir aku nggak tahu kalau kamu punya anak dari Kanya? Hah?!"     

Mendadak langkah Zen berhenti ketika Daisy menekankan kalimat terakhirnya. Ia memang cukup yakin kalau Daisy sudah tahu yang sebenarnya, tapi ia tak akan menyangka bahwa Daisy akan membahasnya.     

"Kenapa? Kaget? Kaget kalau aku udah tahu yang sebenarnya dan memilih diam selama ini?" kata Daisy skeptis.     

"Aku mengakui kesalahanku, Daisy. Tapi bukan berarti kamu harus pergi dari aku begitu saja. Semua bahkan bisa dibicarakan baik-baik!"     

Daisy menggelengkan kepalanya dengan derai air mata yang mengalir sedari tadi. "Aku cuma ingin kamu merenungi kesalahanmu, Zen! Lagi pula ... pernikahan kita terjadi karena semula kamu menculik aku, kan? Dan, atas kehamilanku di luar nikah dan akhirnya aku kehilangan bayiku!" jelas Daisy menahan isaknya. Kehilangan janin adalah kelemahannya di saat pembicaraan seperti ini harus terjadi. Namun mau tak mau Daisy harus membahasnya agar apa yang ia rasakan, semua keluar begitu saja dan Zen semakin terbuka.     

Zen mendekat lalu memeluk Daisy secara langsung. Awalnya Daisy berontak, ia tidak ingin pelukan Zen, tidak seperti saat ini karena ia yakin ia pasti merasa luluh. Walau begitu, memang benar adanya, bahwa pelukan Zen memanglah yang saat ini ia butuhkan. Betapa pun rasa sakitnya pada Zen.     

"Maafin aku, aku benar-benar berjanji kali ini! Berjanji akan terbuka terus padamu, Daisy. Berjanji nggak ada wanita lain selain kamu. Aku janji!" ucap Zen dengan pelukan eratnya.     

"Aku benci ... kamu! Aku berharap aku nggak bertemu kamu, nggak merasa sakit karenamu. Tolong, jangan sakiti aku lagi!" kali ini Daisy mengucapkannya dengan lirih. Seolah mengartikan betapa kesalnya ia pada Zen.     

"Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, Daisy. Walau kamu nggak atau belum ingin mengakuinya, aku tahu ... kamu udah mencintaiku seperti aku mencintaimu," terang Zen membalasnya dengan isi hatinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.