BOSSY BOSS

Chapter 42 - Kekecewaan Terbesar



Chapter 42 - Kekecewaan Terbesar

0Prankkk!!!     

Suara piring pecah terdengar jelas saat Zen hendak masuk ke dalam apartemennya. Ia langsung menuju sumber suara yang berasal dari dapur.     

Kedatangannya cukup membuatnya panik saat mendengar suara itu. Ia bisa melihat Daisy hanya bersikap biasa sampai mata mereka bertemu bersamaan.     

Ada kerinduan bercampur kekecewaan pada mata Daisy. Zen bisa melihat itu, tapi ia juga tidak tahu apa yang sedang terjadi selama ia tidak ada di apartemen.     

"He-hei! Maaf, kamu pasti kaget," ujar Daisy lalu merapikan pecahan piring itu dengan tangannya. Zen langsung meraih tangan Daisy dan menjauhinya dari sana.     

"Biar Vino yang membereskan," kata Zen tegas. Zen langsung meneriaki nama Vino dan menyuruhnya membersihkan pecahan piring tersebut.     

Zen langsung memeluk Daisy usai ia menjauhkan istrinya dari dapur. Begitu erat hingga membuat Daisy sulit bernafas. Sayangnya Daisy tidak membalas pelukannya.     

Sikap Daisy begitu dingin saat Zen melepaskan pelukannya. Bahkan Daisy tidak bersikap seperti biasanya. Ia diam dan kemudian tatapannya menuju dapur saat Vino selesai membersihkan.     

"Aku harus selesaikan masakanku dulu," kata Daisy dan berlalu meninggalkan Zen.     

Rasa ingin marah pada Daisy timbul begitu ia melihat perlakuan Daisy padanya. Daisy bahkan tidak menanyakan kabarnya sejak menjauh darinya. Sentuhan darinya bahkan tidak dibalas. Membuat Zen lebih murka dari biasanya.     

"Ada apa sama kamu? Tiga hari aku tinggal dan kamu nggak seperti biasanya?" tanya Zen duduk di bar yang menghubungkan dengan dapurnya.     

"Aku kenapa? Memangnya apa yang kamu rasakan, Zen?"     

"Daisy... kamu berbeda. Seolah aku buat kesalahan sama kamu."     

"Ya. Kesalahan. Benar sekali. Kalau kamu memang merasa demikian, coba cerita kesalahan apa yang udah kamu perbuat di belakangku? Sejak aku nggak di sisimu?" tanya Daisy memancingnya. Nadanya bahkan tidak terdengar seperti emosi. Bahkan terkesan lembut seperti konselor.     

Zen diam. Benar-benar diam membuat Daisy mengangguk paham apa yang Zen sembunyikan. "Kamu bahkan nggak bisa jujur sama aku, kan? Fine. Nggak masalah. Anggap aja memang nggak ada. Ini aku masak buat kamu, aku harus ke pemotretan juga."     

Setelah itu keduanya tidak berbicara. Daisy dengan kesibukannya untuk mempersiapkan diri menuju pemotretan. Sementara Zen juga ikut untuk bersiap diri. Ia harus ikut menemani Daisy. Bagaimana pun.     

Saat Daisy keluar apartemen, Zen mengekorinya. Daisy berhenti dan membalikkan tubuhnya. "Kamu mau apa?" tanya Daisy.     

"Aku menemani kamu," jawabnya.     

"Nggak perlu. Aku bisa sendiri, Zen."     

"Daisy. Jangan membantah!" Suara dominasi Zen benar-benar membuat Daisy tidak bisa membantah. Ia bahkan tidak sempat membalas ucapannya lantaran Zen sudah menarik tangannya untuk menuju parkiran mobil.     

Di perjalanan, Daisy benar-benar mengabaikan Zen. Hingga sampai lokasi pemotretan, Daisy langsung menuju kumpulan para teman modelnya sementara Zen ke ruangan Gery.     

"Woa! Akhirnya balik juga lo! Sini, sini, gue mau laporan sesuatu sama lo," terang Gery langsung pada Zen.     

"Ada apa?"     

"Lo ada masalah sama istri lo?" tanya Gery langsung.     

Zen menggeleng ragu. Ia tidak tahu apakah baru saja terjadi pertengkaran atau memang ada pertengkaran sejak dirinya tidak di sisi Daisy.     

"Gini gue nggak mau ikut campur, sih. Tapi lo bisa nggak lihat perubahan tubuh Daisy sejak tiga hari lo tinggal? Semakin kurus. Belum lagi kalau pemotretan, rasanya pikirannya seperti terganggu sesuatu, Zen," jelas Gery memberitahu.     

Zen langsung menoleh ke arah Daisy yang sedang mengobrol dengan teman-temannya. Dilihat dari jauh, Daisy memang seperti mengurangi berat badannya. Tampak kurus, persis seperti yang dikatakan Gery. Tapi kenapa? Kenapa rasanya Zen tidak tahu menahu sesuatu yang telah terjadi pada Daisy.     

"Nanti gue coba bicarain sama dia," ujar Zen.     

Gery menggeleng kecil. "Jangan. Senggaknya lo mulai dengan yang manis dulu, jangan langsung. Gue rasa ada sesuatu sama dia, tapi dia nggak ngomong sama lo," nasihat Gery.     

"Gue tahu apa yang harus gue lakukan, Ger."     

***     

Perjalanan pulang rupanya membuat Zen tidak betah berlama-lama tidak berbicara pada Daisy. Ia sudah sangat yakin sesuatu sedang terjadi dan Daisy mencoba menyembunyikannya. Akhirnya bibir Zen berbicara.     

"Kamu terlihat kurus," nilai Zen. Ia sengaja mengatur nada emosionalnya senormal mungkin. Karena Zen tahu, walau Daisy memiliki rasa amarah, pasti jauh di lubuknya ia merasa takut akan amarah Zen yang lebih besar.     

"Oh, ya? Bagus dong, aku lagi diet. Mengatur pola makanku serendah mungkin."     

"Kenapa? Apa karena profesimu sekarang, Daisy?"     

Daisy hanya diam. Bukankah sebuah pertanyaan yang mudah akan lebih mudah di jawab langsung? Pikir Zen.     

"Biar sama dengan model lain. Aku suka dengan dietku ini," jawab Daisy akhirnya.     

Zen memilih diam dan tak ingin membahas lebih. Ia masih tidak tahu harus berkata apa pada Daisy. Pikirannya mendadak teringat akan kejadian bersama Dera. Ia merasa Daisy tahu akan dirinya dengan Dera di hotel.     

Celaka! Batin Zen. Ia pun menelan ludahnya susah payah. Setidaknya mempersiapkan diri jika amarah Daisy bisa jadi lebih besar dari sekarang. Sebab Zen tahu, keadaan emosional Daisy memang sudah berbeda sejak mereka kehilangan anak mereka.     

"Kamu cuma pesan itu?" tanya Zen saat melihat Daisy memesan salad sayur dengan air lemon saja.     

Daisy mengangguk. "Ya. Ini yang sekarang aku makan."     

Zen menggeleng pada pelayan dan ia memesan sedikit daging-dagingan beserta nasinya untuk di makan bersama. Ia tidak ingin Daisy menyiksa tubuhnya sendiri.     

"Aku nggak mau makan daging!" tolak Daisy saat beberapa menit menunggu pelayan menyajikan menu mereka.     

"Sedikit aja."     

"Nggak mau, Zen!"     

"Daisy... siapa yang suruh kamu menolak perintahku?"     

Daisy hanya diam dan memilih memakan saladnya dengan perlahan. Sementara Zen mencoba mempercepat makanannya hingga ia bisa mengajak Daisy berbicara. Ia tidak tahu apakah ia harus jujur atau tidak tentang dirinya dan Dera.     

"Daisy ada yang ingin aku bicarain," ujar Zen memulai saat ia melihat santapan terakhir Daisy.     

"Ya?" Daisy menjawab sambil menikmati air lemonnya.     

"Apa kamu tahu sesuatu yang terjadi di hotel tentang aku?" tanya Zen.     

"Hmm?" Daisy bergumam ragu.     

"Apa kamu tahu soal aku dan Dera?" tanya Zen lebih percaya diri.     

"Ya. Aku tahu."     

"Dan kamu berubah karena itu?"     

Daisy tidak menjawab. Ia hanya diam. Kepalanya tertunduk seperti menahan sesuatu. Ia bahkan memperlambat sedotan air lemonnya sampai Zen kembali berbicara.     

"Aku minta maaf, Daisy. Antara aku dan dia... nggak ada perasaan yang terlibat," ucap Zen mencoba memegang tangan Daisy yang bebas.     

"Ya, aku maafin. Dan... aku percaya."     

Zen tahu Daisy benar-benar memaafkannya dan percaya padanya. Hanya satu yang tidak bisa Zen perbaiki. Kekecewaan dan rasa sakit yang menimpa Daisy. Bagaimana pun, sesuatu yang sudah terluka tidak bisa disembuhkan dengan cepat, bahkan jikalau sudah sembuh pun, luka itu masih berbekas.     

"Tapi jangan berubah seperti ini, Daisy. Aku mohon..." pinta Zen padanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.