BOSSY BOSS

Chapter 41 - Mati Rasa



Chapter 41 - Mati Rasa

0"Hah? Lo yakin? Lo tahu dari mana?" respons Ama tak percaya. Memang, sejak berteman dengan Ama, Daisy tak banyak bercerita mengenai Zen. Bagi Daisy, aib suami sangat rahasia untuknya. Namun rupanya Daisy juga butuh sosok teman berbicara. Ia tahu Ama dan Ita sangat bisa dipercaya.     

"Sekretarisnya, gue suruh jadi mata-mata. Dan yah, ada buktinya juga. Sayangnya, saking gue kesel, hape gue, gue banting sampai hancur," jawab Daisy datar dan ia pun menceritakan semuanya tentang Zen pada Ama.     

Ama memperhatikan Daisy seolah tidak percaya dengan respons Daisy saat menjelaskan semuanya padanya. "Tunggu... kenapa reaksi lo biasa aja? Lo nggak kayak sakit hati atau cemburu?" tanya Ama menghentikan sebentar pembicaraan Daisy.     

Daisy tersenyum kecil. Ia sudah mati rasa. Entah sejak kapan, tapi yang pasti ia sudah biasa. Masalah cemburu, tentu saja Daisy merasa demikian. Tapi gunanya merasa sakit hati terus menerus untuk apa jika merugikan dirinya? Daisy pun menjelaskan perasaannya pada Ama hingga membuat temannya itu geleng-geleng kepala tidak percaya.     

"Ya... benar sih semua ucapan lo, tapi gue pikir lo bakal melodramatis atau nangis atau semacamnya gitu," balas Ama.     

"Awal-awal doang, Ma. Setelahnya ya gue biasa. Gue nggak mau nanti dia jadi besar kepala kalau tahu gue nangisin dia. Makin manfaatin gue kan, yang ada?"     

"Tapi kan, setahu gue, Zen bukan tipikal yang manfaatin keadaan gitu, Dai... lo kan, istrinya, masa nggak tahu?"     

"Memang Zen bukan tipikal begitu, tapi tetap aja, gue harus biasa ngatur emosional gue di depan dia. Just in case, you know?" timpal Daisy.     

Ucapan Daisy membuat dirinya sendiri tak percaya bahwa ia bisa setegar ini dengan seorang laki-laki. Padahal awal-awal dulu, ia terkenal rapuh, lemah dan mudah menangis. Tapi bersama Zen, mentalnya seolah terlatih. Paham bahwa fisik Zen sangat idam-idamkan wanita lain, dan paham seburuk apa risiko yang akan ditanggungnya nanti jika wanita lain berada di lingkaran hubungan mereka.     

Daisy menghela nafasnya. Ia lalu melihat Vino berjalan ke arahnya dengan langkah tergesa. "Bos ingin berbicara dengan Anda, Nona," katanya.     

"Halo?" sapa Daisy.     

"Daisy! Kenapa nggak langsung beli hape, hah? Aku nggak mungkin telepon kamu pakai hape Vino, kan? Atau aku suruh Vino yang belikan?" Nada cemas Zen terdengar sangat jelas. Sesaat Daisy tersenyum kecil, tahu bahwa dirinya ternyata masih dicari oleh Zen. Tapi, mengingat akan Zen dan Dera berada di dalam satu kamar, membuat senyumannya memudar.     

"Nanti siang aku beli sama Ama. Dia masih di sini sampai kamu pulang. Aku kabari setelah aku dapat hape," jawab Daisy seperlunya.     

"Oke. Kalau gitu aku tutup teleponnya, kalau sore belum juga telepon aku-"     

"Iya, nanti aku telepon, Zen," potong Daisy lalu ia mematikan panggilan Zen sepihak dan memberikan ponsel Vino kembali. "Trims, Vino," ujarnya pada anak buah Zen itu.     

***     

Panas terik matahari mengharuskan Daisy membeli ponsel baru. Memang salahnya karena mengharuskan dirinya membanting ponselnya sampai hancur. Tapi begitulah caranya ia melampiaskan kekesalannya. Sebab Daisy tidak tahu lagi harus apa selain marah pada barang di sekitarnya.     

"Lo yakin lo beli Redmi 8 lagi?" tanya Ama saat ia tahu temannya memutuskan untuk membeli ponsel yang sama seperti ponsel yang dibanting Daisy.     

Daisy mengangguk mantap. "Ya, emang kenapa? Gue kan, setia sama satu barang." Nadanya terasa getir saat ia mengatakan hal itu. Seakan menyamakan dirinya dengan Zen.     

"Aduh, Dai... otak sama hati lo ini sekarang benar-benar lagi singkron, ya? Gila! Lo udah cinta berarti sama Zen!     

Daisy hanya diam merenungi ucapan Ama. Ia tidak ingin hari ini membahas Zen, jadi ia memilih untuk membeli ponsel, memberitahu Zen lalu melepaskan penat di mal bersama Ama.     

***     

Zen tentu saja khawatir dengan Daisy. Ia sudah menghubungi Vino setiap lima belas menit sekali untuk memastikan apakah Daisy sudah membeli ponsel atau belum. Beruntungnya Vino adalah anak buah yang setia, jadi ia selalu memberikan laporan yang sesuai pada Bosnya itu.     

Mendengar nada bicara Daisy yang tak biasa itu juga membuat Zen kepikiran. Apalagi Daisy langsung mematikan panggilannya secara sepihak, itu bukan Daisy sekali. Maka dari itu, ia menyuruh Vino untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Daisy.     

"Kamu yakin nggak ada apa-apa sama dia?" tanya Zen pada Vino.     

"Iya, Bos. Kelihatannya semua baik-baik aja."     

"Bagaimana dengan kalungnya, apa dia masih memakainya? Karena saya nggak bisa mendengar apa pun dari kalungnya."     

"Baru hari ini Nona Daisy nggak pakai perhiasan apa pun kecuali cincin pernikahan, Bos."     

Zen memukul dinding hotel dan langsung mematikan panggilannya bersama Vino. Akibat terlalu sibuk, ia hampir lupa bahwa ia memiliki penyadap suara. Sekarang ia harus menyuruh Daisy bagaimana untuk mengenakan kembali kalungnya? Tidak mungkin ia membawa-bawa nama Vino bahwa Vino-lah yang melapornya. Bisa-bisa Daisy risi dan berhati-hati sama Vino.     

"Kamu kenapa?" tanya Dera di belakang tubuhnya. Memeluk Zen yang memandang balkon hotel, memperlihatkan pemandangan kota yang begitu cerah.     

"Lepas, Dera. Kita nggak harus begini. Hubungan ini hanya sebatas ranjang," ujar Zen melepas pelukan Dera.     

"Kamu mau ke mana?"     

"Aku ada meeting pribadi. Sebaiknya kamu kembali ke kamarmu." Zen langsung menutup pintu kamarnya dan ia meninggalkan Dera.     

Pikiran Zen selalu terganggu dengan keanehan yang ia rasakan pada Daisy. Walau tinggal satu hari lagi, rasanya sangat lama sekali untuk bertemu Daisy. Ia butuh melihat Daisy baik-baik saja. Ia butuh memastikan bahwa Daisy tidak ada masalah dengannya.     

"Ita..." panggil Zen saat mereka dalam perjalanan menuju tempat yang akan dituju untuk bertemu dengan klien.     

"Ya, Pak?" sahut Ita.     

"Apa Daisy menghubungimu?"     

"Nggak, Pak. Memangnya ada apa, Pak?"     

"Nggak ada apa-apa. Tapi tolong kalau dia hubungi kamu, tolong beritahu saya."     

Ita mengiyakan sekaligus mengatur nafasnya. Ia sudah berjanji pada Daisy untuk memata-matai Zen. Apalagi Ita semakin yakin jika di antara Bos-nya itu dan Dera ada sesuatu. Sesuatu yang sudah lama Daisy ketahui namun memilih untuk menganggapnya tidak ada.     

Ponsel Zen bergetar dan ia mengerutkan keningnya karena Daisy menghubunginya melalui pesan, bukan sebuah panggilan. Tapi walau begitu, Zen mengikuti apa yang sedang Daisy ingin perlihatkan.     

"Ita, saya boleh bertanya sesuatu?" tanya Zen.     

"Silakan, Pak."     

"Menurut kamu, wanita kalau melakukan suatu hal yang bukan kebiasaannya itu kenapa? Seperti mereka menunjukkan emosional yang nggak biasa."     

Ita berpura-pura berpikir. Ia tahu maksud Zen, dan Ita akan menjawab sesuai yang Daisy rasakan agar Bos-nya itu paham. "Langsung aja Pak, maksud Bapak siapa?"     

"Daisy... dia berbeda. Seperti marah mungkin? Tapi saya merasa nggak berbuat... sesuatu," terang Zen sedikit ragu ketika mengatakan kata 'sesuatu' di akhir kalimat.     

"Menurut saya, Daisy sedang marah, Pak. Mungkin kecewa, cemburu, atau semacamnya. Bisa jadi beliau tahu sesuatu yang mungkin Bapak nggak ketahui? Nggak ada yang tahu kan, Pak?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.