BOSSY BOSS

Chapter 206 - Same Mistake, Same Feeling



Chapter 206 - Same Mistake, Same Feeling

0Tepat pukul tujuh malam, Zen sudah lebih dulu berada di bar. Ia tidak akan membiarkan Daisy menunggunya lebih dulu, untuk itu ia selalu berada di depan Daisy satu langkah.     

Zen tidak tahu sejak kapan Daisy mengenal bar dan mengajaknya ke sini. Padahal yang Zen tahu, Daisy bukanlah wanita yang dengan mudah berada di bar seorang diri.     

"Satu koktail, ya!" teriak Daisy pada si bartender.     

Zen menoleh dan membuka matanya lebar-lebar mendengar pesanan Daisy. Ia sebenarnya juga terkejut dengan kedatangan Daisy yang tanpa menyapanya dulu.     

"Apa? Kamu terkejut dengan pesananku?" tanya Daisy seakan tahu apa yang Zen pikirkan.     

"Ya, cukup mengesankan. Sejak kapan kamu jadi mengenal bar?" tanya Zen ingin tahu.     

Daisy tersenyum dan mengatur mode ponselnya jadi senyap terlebih dahulu sebelum ia benar-benar menjawab pertanyaan Zen.     

"Aku lupa, seperti sudah lama sekali. Bahkan sebelum menikah dengan Jeremy, aku masih sempat ke bar," jawab Daisy akhirnya.     

"Dan di mana Jeremy sekarang?" tanya Zen memancingnya.     

Daisy menahan tawanya seraya menatap Zen. Bagi Zen, tatapan Daisy yang seperti itu adalah tatapan yang menggoda, atau lebih tepatnya Zen yang merasa tergoda.     

"Aku nggak perlu jawab karena pasti kamu sudah tahu jawabannya, Zen," ujar Daisy. Ia kemudian menyesap koktailnya sedikit-sedikit dan menelannya.     

Zen memperhatikan cara Daisy minum. Benar-benar sangat ahli, batin Zen. Seseorang pasti membuatnya jadi begini, batin Zen.     

"Jadi, kalian sudah kembali ke apartemen?" tanya Daisy.     

"Sudah."     

"Jangan terlalu keras padanya, Zen. Bisa jadi Lissa sedang sensitif karena masa kehamilannya," kata Daisy menasehatinya.     

Zen bergumam seraya kembali mengingat kata-kata Lissa. "Dia bilang dia nggak begitu suka dengan Mama, Dai."     

"Mungkin karena dari awal juga nggak melakukan pendekatan? Yang aku tahu, Mamamu wanita yang baik, bijak dan menyenangkan."     

Itulah yang pernah Zen dengar dari Kanya dan Daisy tentang Neva. Tapi Lissa memiliki penilaian yang berbeda yang membuatnya kadang kesal mengingatnya.     

"Tenanglah, Zen. Jangan biarkan emosimu menguasaimu," kata Daisy seraya menggenggam tangan Zen yang mengepal.     

Zen melunak. Ia tidak salah sasaran untuk menceritakan apa yang menjadi masalahnya. Akhirnya Zen pun membalas genggaman Daisy dengan senyuman.     

"Kamu bersedia atau tidak menjadi sahabatku, Daisy?" tanya Zen dengan perlahan.     

Senyum Daisy sedikit memudar. Bukan karena ia tidak suka, tapi bersahabat dengan mantan suami pertamanya cukup aneh untuknya.     

"Persahabatan ini hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Aku butuh seseorang untukku bercerita, Daisy," ujar Zen lagi.     

"Yah, sepertinya bukan masalah jika kita bersahabat," balas Daisy akhirnya.     

"Janji?" Zen menunjukkan jari kelingkingnya yang dibalas Daisy dengan tawa renyah.     

"Nggak perlu begitu, Zen. Aku nggak mau kamu atau aku menjanjikan sesuatu. Karena kadang aku tahu kamu selalu mengingkari janji itu seberapa pun niatmu ingin menepatinya.     

Ia pasrah dan kemudian menjatuhkan tangannya lalu meneguk bir yang ia pesan sejak tadi ia pesan.     

Daisy menghabiskan koktail itu dan memesan lagi. Zen bisa merasakan aura nakal dari tubuh Daisy saat itu juga. Ia pun membawa gelas koktailnya sambil menarik Zen ke bawah untuk menari bersama.     

Dentuman lagu memecah suasana bar. Daisy menari-nari sesuai irama lagu dengan gila. Zen terperangah melihat aktivitas Daisy yang baru pertama kali ini ia lihat.     

Gerakan tarian panas Daisy membuat Zen benar-benar menikmatinya. Ia akhirnya ikut menari dan memegang kedua pinggang Daisy yang membelakanginya. Sesekali Daisy seperti sengaja menyentuh bagian sensitif Zen dengan bokongnya.     

Saat itu juga Zen sadar bahwa Daisy benar-benar memakai pakaian yang seksi. Sebab Daisy melepas blazernya dan hanya mengenakan crop top bra dengan rok yang super mini.     

Daisy mulai kehilangan kesadarannya dan dengan santai ia naik ke podium untuk menari-nari panas di atas sana. Semua orang yang melihatnya bersorak-sorak untuknya.     

Zen pun ikut menikmatinya hingga ia memiliki batas sabar untuk Daisy melakukan itu di muka umum. Ia menarik Daisy turun dan menjauhkannya dari mereka semua.     

"Bobi, pesan ruang VVIP sekarang," perintah Zen pada anak buahnya.     

Zen membawa Daisy ke kamar VVIP yang sudah ia pesan melalui Bobi. Sementara itu Daisy masih mengoceh-oceh tidak jelas hingga Zen menidurkannya di kasur.     

Dengan sabar Zen membuka high heels Daisy. Ditatapnya Daisy yang sudah kehilangan sadar itu. Baru dua koktail tapi Daisy sudah kehilangan kesadarannya sampai segila itu, pikirnya.     

"Bercinta denganku!" seru Daisy melenguh.     

Zen yang tadinya akan duduk di sofa berhenti ketika ia mendengar seruan Daisy. Matanya ia pejamkan dan berusaha untuk mengabaikannya.     

Zen melepas kemejanya dan hanya bertelanjang dada. Ia cukup kepanasan juga karena hawa panas dari luar. Ia akhirnya menuju balkon ruang VVIP itu dan duduk di sana seraya memeriksa ponselnya.     

Tiba-tiba aroma tubuh Daisy seakan sangat dekat dengannya. Zen pun berbalik dan belum sempat ia akan berdiri, Daisy sudah duduk di pangkuannya. Ia lalu menempatkan kepalanya di leher Zen setengah tertidur.     

"Kenapa? Apa kamu nggak mau bercinta denganku, Zen?" tanya Daisy.     

Zen sudah menegang. Bagaimana tidak? Bagian bawahnya sudah mengeras karena bersentuhan dengan milik Daisy. Ia bahkan sengaja tidak bergerak atau membalas pelukan Daisy sebisa mungkin.     

Namun apalah daya, raganya memang lebih sangat menginginkan tubuh Daisy dibanding apapun juga. Apalagi Daisy berhasil membuatnya tergoda hanya dengan satu kecupan di bagian telinganya. Zen akhirnya bercinta dengan Daisy sesuai keinginan Daisy dan terlebih keinginannya sendiri.     

***     

"Pak, saya nggak bisa mengatakannya," ujar anak buah Jeremy, Wira.     

"Katakan saja, Wira. Saya hanya ingin tahu keberadaannya aman."     

"Sepertinya aman, Pak. Tapi Ibu dengan … Zen."     

Jeremy menghela nafasnya. Satu tangannya mengepal namun ia kemudian berusaha bersikap normal lagi.     

"Baik, terima kasih. Pantau terus, jaga dia."     

"Ba-baik, Pak."     

Jeremy mematikan ponselnya dan berdiam diri si kamar hotelnya tempat ia mengikuti seminar.     

Tinggal satu hari lagi, batinnya. Ia akan bertemu dengan Daisy dan bertanya apa yang terjadi selama beberapa hari tanpanya.     

Tidak! Aku tidak mungkin bertanya begitu padanya. Melukainya saja aku tidak tega, batinnya.     

Mendengar Daisy bersama Zen dalam keadaan aman sebenarnya membuatnya tenang. Tapi yang menjadi pikirannya kacau adalah Daisy berada di ruang VVIP club bersama Zen.     

Jeremy memilih untuk tidak berpikir hal-hal yang buruk, tapi tetap saja, ia tidak mampu.     

***     

Daisy terbangun dalam keadaan kepala pusing. Ia menatap sekelilingnya dan tersadar bahwa ia sedang berada di pelukan Zen dalam keadaan telanjang.     

Buru-buru Daisy keluar dari ranjang dan mengenakan kembali pakaiannya dengan keadaan tubuhnya sedikit masih terhuyung.     

Zen ikut terbangun dan duduk di kasurnya. "Daisy, apa kamu sudah baik-baik saja?"     

"Hmm … ya. Aku baik-baik saja," jawab Daisy yang masih terhuyung akibat alkohol.     

Zen memperhatikannya dan ia pun keluar dari kasur. Meraih tubuh Daisy untuk diam dan memakaikan Daisy pakaiannya.     

"Aku nggak yakin kamu baik-baik saja sekarang," ucap Zen.     

Setelah selesai, Daisy menatap Zen. Wajahnya masih memerah karena alkohol dan kejadian semalam yang telah mereka lakukan.     

"Maaf tentang semalam, Zen. Aku pasti kacau sekali," ucap Daisy.     

Zen menata rambut Daisy yang cukup berantakan dan tersenyum padanya.     

"Setidaknya kamu kacau bersamaku, bukan laki-laki lain. Apa kamu bisa pulang sendiri?"     

Daisy mengangguk. Ia meraih tasnya dan blazernya. Sebelum Daisy benar-benar keluar, Zen menariknya secepat mungkin dan mengulum bibirnya.     

"Hati-hati," ucap Zen setelah ia melepaskan bibirnya.     

Daisy tidak langsung ke rumahnya, ia memilih langsung ke kantor dan membersihkan dirinya. Beruntung Daisy memiliki beberapa setelan pakain di kantornya.     

Saat sampai kantor, ia lebih beruntung karena karyawannya belum pada datang. Setidaknya tidak ada yang melihatnya dengan pakaian seminim ini.     

Daisy memejamkan matanya setelah saat tubuhnya terkena air dingin. Dirinya merasa kotor, tapi tidak memungkiri bahwa ia sangat menikmatinya.     

Daisy bahkan tidak tahu bahwa semalam ia sangat gila di bar. Entah karena alasan apa, tapi ia benar-benar bukan seperti dirinya.     

"Raka? Apa Jeremy menghu-"     

"Kamu ke mana saja, Daisy? Raka mencarimu dan aku terpaksa bilang kamu di rumah Ama!" Sela Raka dengan kesal.     

Daisy memijat pangkal hidungnya dan ia benar-benar berdebar atas rasa bersalah dan dosanya.     

"Aku … lembur di kantor dan lupa mengubah mode ponselku. Maaf. Sekarang aku hubungi dia dan nomornya nggak aktif," kata Daisy membohongi Raka.     

"Katakan, kamu sama Zen, kan?" Tanya Raka langsung pada point.     

Seperti tak bisa menghindar dari terkaman Raka, ia pun mau tak mau mengakuinya.     

"Daisy, apa yang kamu lakukan sama dia? Nggak, lupakan bagian itu. Aku sudah bisa menebak apa yang kalian lakukan. Hanya saja apa sih, yang kamu pikirkan?"     

Tentu saja Raka akan memarahinya habis-habisan. Bagaimana tidak? Raka adalah orang yang sangat tidak terima jika Daisy menyakiti Jeremy. Sebab memang sesering itu Daisy menyakiti Jeremy dan Jeremy selalu memaafkannya.     

"Hari ini hari terakhir dia seminar, sebaiknya jangn pergi-pergi dengan Zen. Hapus segala jejak histori tentang Zen di ponselmu," ujar Raka memberitahu.     

"Ya, aku tahu tentang kalau hari ini hari terakhir dia itu ikut seminar, tapi kenapa kamu menyuruhku untuk menghapus jejak histori itu, Raka?" tanya Daisy.     

"Biar pun aku nggak suka kamu melakukan hal itu di belakang Jeremy, tapi aku lebih nggak suka lagi kalau kamu dan Jeremy sampai berpisah."     

Daisy menghela nafasnya. Ia kemudian menutup panggilan itu dan mencoba untuk menghubungi Jeremy kembali.     

Tersambung, pikirnya dengan perasaan senang.     

"Daisy? Maaf, aku baru bangun tidur," ucap Jeremy kemudian.     

"Kamu nggak seminar? Ini sudah jam delapan, Jer."     

"Ternyata hari ini nggak wajib, jadi aku memutuskan mengemasi barang saja. Bagaimana semalam? Senang bertemu Jason?" tanya Jeremy.     

Jantung Daisy berdebar cepat. Rasa bersalahnya benar-benar seperti sedang menembaknya tanpa henti, tanpa harus mati.     

"Ya. Aku senang. Dia pintar dan menanyaimu. Katanya, Papa pasti bawa mainan," jawab Daisy seraya mengucapkan apa yang Jason katakan.     

Jeremy terkekeh geli. Tawanya begitu ceria walau hatinya merasa perih. "Aku memang sudah membeli mainan untuknya. Dan tentunya bawa hadiah untuk Mamanya."     

"Hmm, apa itu?" tanya Daisy ingin tahu.     

"Rahasia. Aku yakin kamu pasti suka, Sayang," kata Jeremy dengan mata berkaca-kaca.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.