BOSSY BOSS

Chapter 205 - They Satisfy Each Other



Chapter 205 - They Satisfy Each Other

0Seperti dua orang yang baru saja bertemu dan jatuh cinta, Daisy dan Zen pun cukup menghabiskan waktu malam mereka sambil berbicara melalui telepon. Bahkan panggilan biasa itu Zen alihkan ke video panggilan agar ia bisa melihat Daisy, begitu pun Daisy.     

Zen bisa melihat Daisy sedang merebahkan dirinya dengan menghadap ponselnya. Mereka berbicara hingga tertawa dan tak kenal waktu.     

Hingga Zen menyadari kedatangan Neva ke arah kolam renang di saat waktu sudah menunjukkan pukul empat subuh.     

"Zen? Kamu nggak tidur?" tanya Neva menghampiri.     

Daisy mendengar suara Neva. Ia pun langsung diam dan menunggu Zen kembali bicara padanya.     

"Nggak, Mam. Aku nggak ngantuk."     

"Masuklah ke kamarmu. Sepertinya Lissa dari semalam bertanya kapan kamu pulang," ujar Neva memberitahu.     

Zen mengangguk dan Neva pun meninggalkannya.     

"Daisy, aku-"     

"Iya, masuklah ke kamarmu, Zen. Aku juga sepertinya harus istirahat karena nanti aku mau bertemu Jason dan nggak ke kantor."     

"Ok kalau begitu. Selamat istirahat, Daisy."     

Daisy mengangguk dan tersenyum. Ia pun mematikan panggilan itu dan membenarkan posisinya menatap langit-langit kamar. Lalu ia menghapus jejak histori ponselnya dan mengisi daya ponselnya.     

Daisy akhirnya tidak jadi tidur. Lebih tepatnya ia tidak bisa tidur. Ia pun beranjak dan mengganti pakaiannya dengan pakaian olahraga. Kemudian ia keluar rumah dan mengatakan pada anak buah Jeremy bahwa ia akan berolahraga.     

Sampai taman sudah banyak para pengunjung yang juga berolahraga seperti lari-lari mengelilingi taman sepertinya. Daisy pun mulai berlari dengan headset terpasang di telinganya.     

Pikirannya kembali memikirkan hal yang ia lakukan semalam dengan Zen. Membuat jantungnya berdegup kencang lebih dari biasanya.     

Nafasnya tersengal-sengal setelah ia berputar lebih dari cukup. Daisy pun duduk di taman dengan kaki ia rentangkan ke depan dan mengatur nafasnya.     

"Minum?" sebuat botol berisikan air mineral terulur ke arahnya.     

Daisy menoleh dan kaget. Kedoknya yang berpamitan akan tidur terbongkar sudah. Namun walau begitu ia menerima botol itu dan meneguknya. Daisy juga mencoba lebih mengatur degup jantungnya yang lagi-lagi berdebar bertemu dengannya.     

"Jadi kamu nggak tidur, Daisy?" tanya Zen.     

"Kamu sendiri? Jadi nggak dikamar dengan Lissa?" singgung Daisy balik bertanya.     

Zen mendengus dan tersenyum. Melihat Zen yang sudah dipenuhi dengan keringat membuat Daisy yakin bahwa Zen juga habis berolahraga.     

"Aku nggak bisa tidur. Cukup memperlihatkan diriku pada Lissa, dia sudah tenang," ujar Zen memberitahu.     

"Sama … aku juga nggak bisa tidur. Sejak kapan kamu di sini?" tanya Daisy.     

"Sepertinya sebelum kamu datang aku sudah di sini. Karena tadi saat kamu masuk ke taman, aku sudah berlari-lari."     

"Sendiri?" tanya Daisy sambil melihat sekeliling Zen.     

Zen mengangguk dan memperhatikan pesona Daisy yang tidak pernah memudar. Bibirnya bertambah merah dengan leher jenjang yang indah.     

"Kamu pasti mengikutiku," ucap Daisy menuduhnya dengan canda.     

Satu alis Zen terangkat dan tersenyum nakal padanya. "Apa kamu sedang menggodaku, Daisy? Apa kamu mau berakhir di meja makan lagi?" tanya Zen menerornya dengan pertanyaan panas.     

Daisy tertawa dan ia menggelengkan kepalanya. Zen kemudian menggelitikinya hingg Daisy tertawa terpingkal-pingkal dan ia berada di dalam pelukan Zen.     

"Oh, sebentar, aku angkat panggilan itu," ujar Zen menghentikan aksinya pada Daisy.     

Daisy mengangguk dan membenarkan posisinya. Pandangannya menatap setiap keliling taman tetapi ia bisa mendengar apa yang Zen bicarakan.     

"Aku pulang dulu, Daisy. Lissa butuh aku," ucap Zen padanya.     

Daisy kembali mengangguk dan ia pun dibantu berdiri oleh Zen. Mereka saling berhadapan satu sama lain dan memandang dengan pandangan yang begitu dalam.     

Tiba-tiba dada Daisy merasa sakit setelah membiarkan Zen pergi. Punggungnya yang menjauh itu benar-benar Daisy perhatikan sampai Zen tidak terlihat sama sekali.     

Daisy pun kembali ke rumah dan langsung mandi. Mendadak kesepian menyergapnya. Di bawah pancuran air dingin mulai merasa benar-benar sedih.     

Ia ingat, ia pernah sesekali mengatakan pada Devan bahwa ia dan Zen sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Mungkin benar, tidak bisa memilikinya tapi kini Daisy dan Zen menjadi dekat dengan perubahan Zen yang membuat Daisy merasa senang.     

Setelah cukup siang untuk ke rumah orang tuanya, Daisy memeriksa ponselnya dan mendapati notifikasi dari Jeremy. Ia langsung menghubungi Jeremy dengan panggilan video.     

Sayangnya tidak ada jawaban. Sepertinya ia sudah sibuk seminar, pikir Daisy.     

Akhirnya Daisy pun langsung saja ke rumah orang tuanya setelah mengirim pesan pada Jeremy. Ia tidak mau membuat Jeremy khawatir atau bertanya-tanya tentangnya. Ia sudah cukup banyak salah dan dosa sejak Jeremy tidak di sisinya, jadi sebisa mungkin Daisy ingin menjadi istri yang baik bagi Jeremy di saat seperti ini.     

***     

"Kenapa sih, kamu jarang sekali di rumah sejak kita di sini? Kalau itu buat kamu jarang berada di rumah, sebaiknya kita kembali ke apartemen. Aku juga nggak nyaman berada di sini," tanya Lissa sekaligus melaporkan keluhannya.     

"Apa yang membuatmu nggak nyaman, Lissa?" tanya Zen.     

"Mama. Aku nggak nyaman berada di dekatnya. Aku nggak tahu apakah itu karena aku yang memang nggak dekat dengan beliau, atau beliau yang begitu padaku," jelas Lissa.     

Zen belum pernah mendengar ada seorang wanita yang mengeluhkan tentang Ibunya padanya. Bahkan Kanya dan Daisy saja senang berada di dekat Neva. Berbeda dengan Lissa yang merasakan kebalikannya. Zen juga tidak tahu apakah itu karena masa kehamilannya atau sedari awal Lissa tidak menyukai Neva.     

"Sejak kapan?" tanya Zen akhirnya.     

"Apanya?"     

"Sejak kapan kamu nggak nyaman atau nggak suka dengan Mamaku?"     

"Apa itu penting, Zen?"     

"Sejak kapan, Lissa?" mendadak suara Zen begitu mendominasi dengan emosi yang ia coba tahan.     

"Sejak awal aku bertemu dengannya."     

"Kenapa kamu baru bilang sekarang?" tanya Zen.     

"Zen … "     

"Kemasi barangmu, kita kembali ke apartemen!" perintah Zen dan ia pun keluar dari kamar. Ia tidak sanggup mendengar lebih lagi dari Lissa walau ia juga sangat ingin tahu mengapa Lissa tidak cerita sejak awal.     

Menikah dengannya memanglah keinginan Zen karena ia menyukai dan memiliki perasaan pada Lissa. Tapi jika urusannya sudah tentang Ibunya, Zen tidak bisa membiarkannya.     

Untuk menenangkan pikirannya, Zen duduk di kolam renang. Merenungkan dirinya karena ada sebagian dalam dirinya menyesal menikahi Lissa jika ada hal-hal yang Lissa tidak katakan padanya tentang Neva.     

Kedua tangannya mengepal dan sebisa mungkin Zen mengontrol emosinya. Lalu ia pun menghubungi Daisy karena merasa hanya Daisy yang saat ini mengertinya.     

"Ya?" sapa Daisy kemudian.     

"Apa kamu sudah di rumah orang tuamu?" tanya Zen.     

"Iya. Ada apa?""     

Zen hanya diam. Nafasnya tersengal-sengal dan Daisy tahu ada yang aneh darinya. Daisy yang di seberang pun menjauh dari keluarganya untuk berbicara dengan Zen.     

"Zen? Kamu kenapa? Apa semua baik-baik saja?"     

"Aku akan kembali ke apartemen dengan Lissa."     

"Ada apa?"     

Zen lalu menceritakan semuanya pada Daisy hingga ia benar-benar merasa lega dan puas.     

"Lega?" tanya Daisy sebagai reaksi dari akhir cerita Zen.     

"Ya. Lumayan. Maaf aku mengganggumu di saat seperti ini, Daisy."     

"Nanti malam, temui aku di bar jam tujuh. Kita bicara banyak di sana. Ok? Aku harus menutup panggilanmu. Bye!"     

Zen tercengang dengan tawaran Daisy. Kali ini sepertinya Daisy benar-benar nyaman padanya. Mungkin hubungan mereka hanya bisa sebatas itu dan tentu saja Zen tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati waktu bersama Daisy.     

Sampai apartemen, Zen membantu Lissa merapikan barang-barang yang mereka bawa kembali ke apartemen.     

Zen lebih banyak diam sejak Lissa mengutarakan perasaannya pada Zen tentang berada di rumah Neva.     

Lissa yang paham akan hal itu lantas memeluk Zen dari belakang. "Maafkan aku. Aku hanya merasa nyaman di sini walau kamu jarang di berada di sini juga, Zen. Nggak semua menantu bisa akur dengan mertuanya, kan?" ucap Lissa.     

Zen menegang. Hal yang ia hindari dari Lissa adalah bersentuhan dengannya. Masalahnya bersentuhan dengan Lissa sama halnya seperti bersentuhan dengan Daisy. Menggetarkan tubuhnya     

Pelukan Lissa begitu erat hingga Zen bisa merasakan sesuatu yang berada di bawahnya mulai memberontak. Ia juga sudah lama tidak bercinta dengan Lissa.     

Ia pun berbalik dan menatap Lissa yang masih memeluknya. "Aku mencintaimu, Lissa. Yang membuatmu nyaman akan aku lakukan. Maafkan aku juga kalau tadi aku sedikit kesal karena mendengar alasanmu," balas Zen.     

Lissa tersenyum dan ia mulai mencium Zen lebih dulu. Berjinjit hingga Zen harus menahannya agar Lissa tidak kesakitan ketika ia berjinjit.     

Perlahan Zen akhirnya melucuti pakaian Lissa. Beruntunglah karena dress yang dikenakan Lissa mudah untuk dilepas. Kini Lissa tanpa pakaian dan Zen secara otomatis pun melepas pakaiannya.     

"Ya, sentuh aku Zen," pinta Lissa merasa frustasi.     

Zen menyentuhnya dan menciumnya seperti yang diinginkan tubuh Lissa. Rasanya seperti baru pertama kali ia merasakan ini pada Lissa setelah sekian lama tidak bercinta dengannya.     

Sesaat nama Daisy hilang di pikirannya dan tergantikan oleh Lissa yang jelas-jelas berada di hadapannya.     

Zen menggendong Lissa dengan Lissa melingkarkan kedua kakinya di pinggang Zen. Ia membawa Lissa ke kasurnya karena tidak mau menyakiti Lissa yang sedang mengandung anaknya.     

Melihat Lissa menikmati permainan Zen membuatnya sadar bahwa ia sudah terlalu lama mengabaikan keindahan Lissa. Walau ia mengakuinya ketika bercinta, tapi debar jantungnya karena Lissa tidak berbohong.     

"Kenapa baru sekarang, Zen? Aku sudah menunggu lama," lirih Lissa menggelitik telinganya.     

Hasrat Zen semakin naik ketika lidah Lissa membelai telinganya. Menghantarkan rasa panas yang menggelora tubuh Zen untuk berada di dalamnya.     

"Aku akan melakukannya dengan kasar, apa kamu nggak apa-apa?" tanya Zen.     

Lissa menggumam dengan lenguhan yang semakin membuat Zen tidak tahan. Ia pun memenuhi milik Lissa dengan miliknya.     

Ketika Zen berada di puncaknya, Lissa berteriak keras dengan kenikmatan yang bagi Zen sangat menyenangkan untuk didengar.     

Lepas bercinta, Zen menyelimuti tubuh Lissa yang menggelepar lemas. Ia membiarkan Lissa tidur sebentar sementara dirinya butuh bir untuk ia minum sekaligus merapikan barang-barang yang tertunda karena ulah Lissa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.