BOSSY BOSS

Chapter 204 - Dilemma Kills You



Chapter 204 - Dilemma Kills You

0Zen tersenyum menatapnya dan begitupun Daisy. Ia lalu menarik tangan Daisy untuk menuju mejanya.     

"Zen, aku harus bersihkan pakaianku," ucap Daisy padanya.     

"Pakailah dulu sementara jasku," ujar Zen seraya memberikan jasnya pada Daisy.     

Daisy mengenakannya dan menutupi bagian yang terkena noda kopi. Ia lalu bernafas lega dan Iimeminum es capucinonya.     

"Sedang apa kamu di sini, Daisy?" tanya Zen menyelidikinya.     

"Aku habis bertemu klien tadi di sekitar sini, jadi sekalian aku mampir ke sini setelah sekian lama. Kamu sendiri?"     

"Aku … butuh udara segar. Sebenarnya aku mau ke apartemen karena mau menyelesaikan sesuatu, tapi aku ingin mampir ke sini juga dengan alasan seperti kamu," jawab Zen jelas.     

Daisy tersenyum malu. Ia ingin berterima kasih langsung pada Zen mengenai novel-novel itu. Tapi membahasnya pasti sangat memalukan baginya karena mengingat ada kalimat-kalimat cinta yang Zen buat khusus pembatas novel-novel itu.     

"Hmm, aku nggak bermaksud apa pun, tapi kalau kamu mau, kamu bisa mengeringkan bajumu di apartemenku. Kamu kan tahu, aku punya pengering khusus. Itu kalau kamu mau," kata Zen menawarkan.     

Daisy tersenyum lagi mendengar nada bicara Zen yang terkesan sangat sopan dan santun. Namun karena sikap Zen yang begitu manis padanya dan Jeremy yang juga sedang keluar kota selama beberapa hari dengan dadakan, Daisy pun menyetujuinya.     

"Tapi, bagaimana dengan Lissa? Apa dia nggak apa-apa dengan kedatanganku?" tanya Daisy.     

"Lissa ada di rumah Mama. Sejak hamil, aku dan Lissa menetap di rumah Mama. Kurasa Mama lebih tahu bagaimana menghadapi Ibu hamil. Jadi aku bisa sekalian belajar," jelas Zen.     

Dahi Daisy berkerut. Saat bertemu dengan Lissa tadi, ia tidak mengatakan apapun tentang itu padanya. Daisy pun jadi tahu alasan Lissa mengapa tidak menceritakan bagian itu padanya.     

"Oh, begitu. Bagaimana kabar Tante Neva? Tolong salamkan padanya dariku," tanya Daisy dengan lembut.     

"Dia baik dan dia merindukanmu, Daisy. Kalau kamu mau bertemu dengannya, aku nggak masalah. Aturlah sesukamu."     

Daisy mengangguk dan tersenyum. Ia menunggu lagi untuk Zen bertanya tentang mengeringkan bajunya.     

Mereka saling diam satu sama lain usai berbicara. Kadang saling balas pandang dan keduanya tersenyum seperti orang yang baru saja kenal.     

"Jadi, maukah kamu ke apartemenku?" tanya Zen akhirnya.     

"Hmm, iya. Kalau kamu nggak keberatan," jawab Daisy.     

Zen berdiri dan menyuruh Daisy berjalan lebih dulu di depannya. Kemudian setelah keluar kedai, keduanya berjalan beriringan dengan sepoi angin yang cukup membuat Daisy merasa kedinginan.     

Saat sampai apartemen, Daisy masuk lebih dulu dan menatap sekelilingnya. Ia baru sadar bahwa ini adalah pertama kalinya ia melihat apartemen Zen setelah ia bisa melihat kembali. Termasuk melihat Zen lagi.     

"Silakan pakai langsung, Daisy. Aku akan menyiapkan makan malam sekalian," kata Zen padanya.     

"Eh? Kamu bisa masak?" tanya Daisy.     

Zen tersenyum penuh arti. "Jangan meremehkanku, Daisy. Pada akhirnya aku benar-benar bisa masak."     

Daisy hanya terkekeh kecil kemudian menuju ruang laundry. Lalu ia menemukan masih ada jubah mandinya di ruang laundry itu. Tergantung rapi dengan dilapisi plastik laundry. Daisy tahu jubah mandinya itu tidak pernah dipakai oleh siapa pun. Ia pun mengganti pakaiannya yang terkena noda dengan jubah mandinya yang masih ada.     

Sambil menunggu, Daisy duduk di ruang laundry. Memeriksa ponselnya dan mendapati Jeremy mengirimi pesan padanya. Jeremy hanya mengabarkan bahwa ia sudah sampai di luar kota dan merindukannya.     

Daisy tersenyum membaca pesan Jeremy dan membalasnya balik. Ia juga merindukan suaminya itu. Bahkan saat bersama mantan suaminya.     

"Apa itu Jeremy jadi kamu tersenyum?" suara tanya Zen mengejutkannya. Ia sedang berdiri di pintu laundry dengan membawa cangkir dengan asap mengepul di tangannya.     

"Ah, ya. Ini Jeremy."     

"Ini … coklat panas untukmu. Setelah selesai, ke ruang makan, ya."     

Zen memberikan cangkir itu pada Daisy dan meninggalkan Daisy.     

Setelah beberapa lama menunggu sampai pakaiannya selesai dan kering, Daisy mengenakannya kembali. Hanya saja pakaian luarnya ia lipat dan Daisy hanya mengenakan tank topnya dengan cardigannya saja.     

Daisy muncul di ruang makan. Tapi ia tidak menemukan Zen. Namun ketika ia mendengar suara pancuran kamar mandi, ia tahu Zen sedang mandi. Daisy pun menunggunya sambil memandang pemandangan melalui balkon apartemen.     

Daisy menghela nafasnya berkali-kali. Berada di sini sebenarnya adalah sebuah kesalahan. Ia tidak tahu, apakah hanya dirinya yang merasa tidak bisa menahan nafsunya atau Zen juga merasakannya.     

Daisy benar-benar mencoba menghindari hal-hal berduaan di ruang yang sempit dengan Zen. Tapi ia juga tidak berjanji jika sesuatu terjadi nanti.     

"Daisy? Ayo, makan," ujar Zen mengajaknya.     

Daisy berbalik dan tidak terlalu terkejut karena memang Zen selalu tampil telanjang dada jika sudah di apartemen. Namun itu cukup membuat jantungnya berdetak lebih cepat.     

"Ini enak," puji Daisy.     

"Benar, kan? Aku pasti memasaknya dengan enak. Ini pertama kalinya aku masak, Daisy."     

Daisy cukup terkejut karena ternyata ini spesial untuknya. Padahal Daisy sudah mengira bahwa Zen serin masak untuk Lissa setidaknya.     

"Habiskan, Dai," perintah Zen.     

"Semampuku, ok?"     

Zen mengedikkan bahunya dan tersenyum menatap Daisy.     

Satu jam berlalu setelah Daisy dan Zen makan malam bersama. Daisy pun merapikan pakaiannya yang ia masukkan ke dalam tasnya. Zen yang tengah duduk dan sibuk dengan ponselnya pun menyadari pergerakan Daisy.     

"Kamu mau pulang?" tanya Zen.     

"Iya. Aku rasa ini sudah terlalu malam, Zen."     

"Ok. Aku antar."     

"Zen, tapi aku bawa mobil."     

"Aku akan ikuti dari belakang. Nggak baik kalau kamu sendirian ke rumah."     

Daisy pun mengangguk dan Zen berdiri meraih baju yang akan ia pakai juga kunci mobilnya.     

Saat Zen berada di belakang Daisy, ia menyadari Daisy berhenti dengan tangan masih menyentuh kenop pintu yang akan dibukanya.     

Dada Daisy bergemuruh karena merasa tidak tahan berada di dekat Zen. Aroma maskulin Zen benar-benar menggodanya.     

Daisy akhirnya menyerah pada dirinya sendiri. Ia membiarkan alam menguasainya. Dengan cepat ia berbalik dan mencium bibir Zen lebih dulu.     

Awal yang cukup mengejutkan bagi Zen, sebenarnya. Tapi itu hanya berlaku sementara karena saat itu juga keduanya membiarkan benda bawaan mereka terhempas dan Zen mengunci tubuh Daisy di pintu itu.     

Kedua tangan Daisy berada di atas kepalanya karena Zen tahan. Dengan liar dan rasa rindu juga serta cinta yang masih terhinggap, Zen mencium Daisy dengan begitu kasar.     

Daisy bahkan membalas ciuman itu lebih gila dari Zen. Keduanya sama-sama frustasi dengan keadaan yang sudah cukup mereka tahan selama ini.     

"Aku merindukanmu. Ya, aku merindukanmu, Daisy," ucap Zen lirih.     

"Aku juga. Sangat merindukanmu."     

Saat Zen mencapai keinginannya untuk berada di dalam tubuh Daisy, ia langsung melepaskan pakaian Daisy dan membuatnya benar-benar tanpa busana.     

Begitu pun Daisy, ia melepaskan segala yang tertinggal di tubuh Zen.     

Lalu Zen membawanya ke atas meja makan. Mereka bercinta di sana dengan hebat hingga lelah dan merasa puas.     

Ketika peluh benar-benar membasahi tubuh mereka dan Daisy terlalu lelah, akhirnya mereka berhenti.     

Sebelum benar-benar melepas Daisy, Zen mengecupnya berkali-kali. Meninggalkan kecupan pada tubuh Daisy.     

Daisy langsung mengenakan pakaiannya tanpa suara. Wajahnya memerah padam dengan peluh yang masih mengalir pada tubuhnya.     

"Maaf, aku lepas kendali," ujar Daisy.     

"Aku juga. Maafkan aku, Daisy. Padahal aku sudah cukup bisa menahannya," timpal Zen.     

Daisy langsung menatap Zen. "Kamu menahannya juga?"     

Zen mengangguk seraya memakai kembali bajunya. "Sangat sangat menahannya. Dan susah. "     

Keduanya lalu diam dan kali ini Daisy keluar apartemen Zen dengan Zen mengikutinya dari belakang.     

Mereka benar-benar diam dan tidak bersuara sampai Daisy menaiki mobilnya dan Zen menemaninya dengan mobilnya di belakang mobil Daisy.     

***     

Sampai rumah, buru-buru Daisy mandi dan membersihkan dirinya. Entah kenapa ketika ia tidak bersama Zen, ia merasa begitu menjijikan menjadi seorang istri yang berdosa.     

Jeremy meneleponnya dan Daisy pun menerimanya setelah ia selesai mandi.     

"Kamu dari mana, Daisy? Anak buahku bilang kamu baru pulang? Ini sudah malam sekali," tanya Jeremy sebagai pembuka kalimat.     

"Aku lembur di kantor, Jer. Menyelesaikan desainan klien. Maaf ya. Sebenarnya aku nggak mau membuatmu khawatir, tapi ternyata kamu tanya sama anak buahmu, ya?"     

Daisy menyentuh keningnya karena ia lupa bahwa ada anak buah Jeremy yang bisa saja memantaunya secara diam-diam.     

"Ya, sudah. Nggak masalah. Aku hanya khawatir karena kamu sendiri dan malam-malam belum pulang."     

"Maaf, Jer. Aku juga ini baru selesai mandi. Kamu sedang apa?"     

"Aku masih membaca beberapa materi seminar. Kamu nggak menengok Jason?"     

Daisy kembali menyentuh keningnya karena lupa. Ia memang seharusnya menemui Jason. Tapi semua karena kesibukannya hingga ia terlalu nikmat bersama Zen.     

"Iya, aku lupa, Jer. Mungkin besok. Besok aku nggak ke kantor saja, deh. Biar bisa berlama-lama sama Jason."     

"Ya, sudah. Tidurlah, sudah malam."     

"Iya. Aku mencintaimu."     

"Aku mencintaimu, Daisy."     

Panggilan dimatikan. Daisy menghela nafasnya dan menatap dirinya di cermin. Rambutnya yang masih basah dan berantakan ia biarkan tergerai.     

Dirabanya bibirnya, leher hingga ke bagian dada yang mana tadi Zen sentuh dan kecup.     

Semua membuatnya menjadi gila. Bisa-bisanya ia khilaf di saat ia benar-benar berusaha untuk menahan dan setia pada suaminya.     

Bahkan Zen sendiri juga melakukan hal yang sama. Ia menahan hasratnya untuk menghargai pasangannya, terutama karena ingin berubah.     

Daisy pun menangis. Ada perasaan menyesal walau sedikit. Ia lagi-lagi menyakiti Jeremy secara perlahan tanpa Jeremy ketahui. Entah bagaimana nantinya jika Jeremy mengetahuinya.     

Daisy mencoba tidur setelah ia mengeringkan rambutnya. Walau susah, namun ia berusaha. Tapi tetap, Daisy benar-benar tidak bisa tidur. Akhirnya ia mencoba melakukan video panggilan pada Zen yang berujung tidak ada tanggapan.     

"Apa dia bersama Lissa sekarang?" Tanyanya pada diri sendiri.     

Daisy pun pasrah dan membuka laptopnya. Memainkan permainan kesukaannya hingga ia melihat ponselnya menyala-nyala.     

Zen meneleponnya.     

"Ada apa, Daisy? Apa terjadi sesuatu?" Tanya Zen panik.     

"Kamu di mana, Zen?"     

"Aku di rumah Mama dan lagi di kolam renang. Maaf, tadi aku sedang berenang dan nggak tahu kalau kamu telepon aku. Apa yang terjadi sama kamu?"     

"A-ku … nggak tahu kenapa, rasanya aku rindu kamu, Zen."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.