BOSSY BOSS

Chapter 203 - Do You Need Help?



Chapter 203 - Do You Need Help?

0"Jadi, ada apa, Lissa? Pasti Zen nggak tahu kamu ke sini, kan?" tanya Daisy pada Lissa setelah ia menyelesaikan susunan novel-novelnya.     

Lissa terlihat memelintir pakaian dengan gugup. Niatnya tadi ia urungkan karena mendadak ia meras tidak enak pada Daisy yang begitu ramah padanya.     

"Aku hanya ingin berkunjung, kalau kamu nggak keberatan, bagaimana kalau kita makan siang bersama?" tanya Lissa.     

"Oh, begitu. Tapi sayangnya ini belum terlalu siang, Lissa. Tapi aku nggak masalah jika kamu mau makan denganku. Di kantin?"     

Lissa mengangguk dengan senyuman. "Iya, di kantin."     

Daisy pun berdiri dan meraih tas juga dompet kecilnya dengan isi ponsel dan hal-hal penting seperti uang dan kartu-kartunya. "Kalau begitu, ayo."     

Lissa dan Daisy berjalan beriringan. Awal yang Lissa pikir akan canggung rupanya tidak begitu canggung ketika Daisy banyak bercerita beberapa hal padanya.     

Pikirannya dikelilingi bagaimana caranya ia mengetahui bahwa Daisy masih mencintai Zen atau tidak. Keduanya sudah sama-sama saling berbaikan. Bahkan Zen sudah berubah. Daisy juga tahu bahwa Zen datang untuk menemaninya operasi donor mata secara rahasia.     

Walau begitu, Daisy juga tahu bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan Lissa namun sulit tersampaikan. Ia sama halnya seperti Lissa, ingin bertanya apa yang membuatnya datang selain ingin makan bersama.     

"Bagaimana kehamilanmu, Lissa?" tanya Daisy berusaha mencari topik.     

"Hmm, baik. Tapi aku lebih banyak merasa mual," jawab Lissa.     

Daisy mengangguk-angguk paham. "Aku rasa itu wajar. Aku juga pernah merasakan hal itu." Tiba-tiba Daisy tersenyum dan mengingat kembali masa-masa kehamilannya dulu saat masih bersama Zen. Walau pun hanya merasakan kehamilan selama beberapa bulan, Daisy masih sangat ingat bahwa ia begitu mudah merasa mual.     

"Iya, tapi untungnya sekarang nggak begitu mual. Hanya kadang-kadang saja," ucap Lissa.     

"Tapi Zen membantumu, kan? Maksudku melewati prosesnya?"     

Lissa mengangguk walau sepenuhnya yang cukup membantu banyak adalah mertuanya. Sayangnya Lissa enggan mengatakan itu pada Daisy karena khawatir Daisy akan membandingkan dirinya nanti.     

"Oh, ya. Keramaian di kantormu itu penyambutan buatmu, ya?" tanya Lissa ingin tahu.     

"Iya. Aku nggak tahu sebenarnya akan di buat penyambutan seperti itu."     

"Kamu pasti senang."     

"Lissa, apa kamu mau membicarakan sesuatu yang kamu ingin tanyakan ke aku?" tanya Daisy akhirnya.     

Daisy bukan seorang yang mudah berbasa-basi dalam jangka lama, maka dari itu bertanya langsung setelah merasa cukup berbasa-basi pada Lissa.     

Wajah Lissa langsung menegang dan ia pun tersenyum kaku padanya. "Jadi, kamu tahu maksud kedatanganku karena ada hal yang mau aku bicarakan?" tanya Lissa.     

"Iya. Anggaplah makan-makan ini bukan satu hal yang kamu inginkan. Tapi kamu mau berbicara sesuatu padaku, kan?"     

Sebelum benar-benar bertanya, Lissa pun meneguk air mineral dan menatap Daisy. "Aku hanya ingin tahu dari kamu sendiri, Daisy. Aku harap kamu menjawabnya dengan jujur dan jangan merasa nggak enak sama aku," ujar Lissa sebelum benar-benar bertanya pada Daisy.     

"Ok. Aku sudah menebak ini pasti tentang Zen, bukan?"     

"Iya. Sepertinya kamu nggak terkejut lagi, ya?"     

Daisy tersenyum dan menggeleng. "Sejak dulu aku dan Zen selalu terlibat dalam hal apa pun, Liss. Aku berusaha menghindar, tapi selalu ada saja hal yang membuat kami jadi bertemu atau sekadar berbicara."     

Mendengar Daisy berbicara seperti itu Lissa sudah cukup cemburu. Tapi bagaimana pun, jelas sekali terlihat dalam mata Daisy ia tidak mau kembali kepada Zen.     

"Apa kamu masih mencintai Zen?" tanya Lissa langsung.     

"Jadi hanya karena ini?"     

"Jawab saja Daisy. Kalau kamu masih mencintainya, kenapa kamu menceraikannya? Kenapa kamu nggak bertahan atau bahkan kembali padanya?"     

Pertanyaan seperti ini sudah pernah Daisy duga sebelumnya. Ia juga sudah menyiapkan jawaban yang tepat, yang ia rasakan.     

"Dia suami pertamaku. Aku menceraikannya dengan perasaan masih mencintainya. Apakah aku masih mencintainya? Well, masih tapi perasaan itu nggak semekar dulu, Lissa. Alasan-alasan lain kenapa aku nggak bertahan atau kembali, karena aku merasa aku dan Zen nggak cocok saat kami bersama dalam ikatan hubungan yang sah," jelas Daisy menjawabnya.     

Lissa mengatur nafasnya. Jawaban Daisy yang begitu jelas dan benar-benar sangat normal dengan gaya bicara yang sederhana itu membuat Lissa tidak duga. Pikirnya, Daisy akan merasa keberatan atau sejenisnya ketika menjawab pertanyaannya.     

"Apa Jeremy tahu ini?" tanya Lissa.     

"Nggak. Aku menyimpan perasaan untuk Zen agar suamiku nggak tahu. Porsiku mencintai Jeremy lebih besar dari Zen, jadi aku nggak mengkhawatirkan apa pun Lissa."     

"Kenapa? Apa kamu takut ditinggalkan olehnya?" tanya Lissa penasaran.     

Daisy tersenyum. Senyuman yang membuatnya teringat kembali ke masa-masa di mana ia masih berpacaran dengan Jeremy. Meninggalkan Jeremy dan bahkan bermain di belakang Jeremy. Jeremy bahkan tidak pernah meninggalkannya, malah sebaliknya.     

Daisy menggelengkan kepalanya. "Jeremy nggak pernah meninggalkanku, Liss. Akulah yang lebih sering meninggalkannya karena keegoisanku. Dia … selalu memaafkan kesalahanku," jelas Daisy.     

"Jadi … apa kamu pernah menyakitinya? Maksudku melakukan hal-hal yang katakanlah nggak terpuji di hubungan kalian berdua?" tanya Lissa terkejut.     

Daisy menganggukkan kepalanya. "Aku … jauh dari kata baik yang mungkin kamu sering anggap aku seorang yang baik, Liss. Bahkan di kehidupan sekarang aku masih berusaha memperbaiki kesalahanku. Menebus rasa bersalahku. Kamu nggak bisa menilai seseorang itu baik hanya dari penampilan saja. Itu yang bisa kukatakan padamu."     

***     

Dalam perjalanan pulang, Lissa terngiang-ngiang ucapan Daisy. Beberapa hal kadang tidak ia mengerti. Bagaimana bisa seorang seperti Daisy ternyata memiliki sisi buruk. Yang lebih sering melakukan hal tak sepantasnya ketimbang laki-lakinya. Bagi Lissa, ia selalu berpikir bahwa laki-laki lebih sering melakukan hal yang tak sepantasnya ketimbang dengan wanita.     

Perlahan pikiran Lissa terbuka. Ia jadi tahu beberapa hal. Benar kata Daisy, tidak semua hal bisa kita nilai dari penampilan saja. Walau begitu, tetap ambil sisi baiknya dari orang itu.     

"Bu, kita kembali ke rumah Nyonya Neva?" tanya supirnya.     

"Iya, Pak. Ingat ya, Pak, kalau ditanya, bilang saja Bapak habis mengantar saja ke salon Ibu hamil."     

"Baik, Bu."     

Sampai rumah Neva, Lissa sudah melihat mobil Zen terparkir. Artinya Zen sudah di rumah lebih dari perkiraan Lissa.     

"Lissa, kamu dari mana saja? Kenapa nggak hubungi aku?" tanya Zen dengan nada panik.     

"Maaf, aku habis ke salon Ibu hamil, Zen. Aku hanya butuh me time, makanya aku nggak memberimu kabar," jelas Lissa dengan lincah.     

Zen menaikkan satu alisnya. "Salon Ibu hamil?" tanyanya memastikan lagi.     

Lissa mengangguk dan menatap Zen yang mendadak diam. Zen sendiri merasakan hal-hal dejavu lagi. Daisy pernah ke salon Ibu hamil. Pertemuannya dengan Daisy setelah mereka bercerai. Daisy tengah mengandung Jason.     

"Zen?" panggil Lissa membuyarkan lamunan Zen.     

"Oh … lain kali, beritahu aku. Aku jadi nggak harus menyuruh anak buahku mencarimu," ucap Zen.     

Neva pun mendekat dan memegang kedua bahu Lissa dengan pandangan keibuannya. "Kamu juga nggak memberitahu Mama, Lissa. Mama padahal ada di rumah."     

"A-aku pikir Mama pergi ke butik Mama," tukas Lissa merasa bersalah.     

Neva menggeleng dan tersenyum. "Mama ada di rumah. Yah, di ruangan Mama, sih."     

"Maafkan aku, Ma. Next time aku akan izin biar kalian nggak panik. Sekarang aku boleh istirahat, kan? Aku capek."     

Neva mengangguk dan Zen pun juga. Ia membiarkan Lissa berjalan ke arah kamar mereka sementara Zen menghela nafas lega dan duduk di sofa.     

"Mam, aku harus ke apartemen," ujar Zen pada Neva.     

"Ada apa? Sejak kamu di sini bersamanya, kamu lebih sering ke apartemen, Zen."     

Sebenarnya Zen merasa malu pada Neva karena harus mengatakan hal-hal yang mana seharusnya ia katakan pada sesama lelaki. Tapi saat ini memang hanya Neva yang menjadi sandarannya.     

"Aku berusaha menjadi laki-laki yang baik, Mam. Berada dekat dengan Lissa kadang membuatku nggak tahan untuk mengontrol nafsuku. Jadi, aku perlu waktu dan kesibukan untuk mengontrolnya," jelas Zen.     

Neva paham yang dirasakan anaknya. Ia pun mengangguk dan membiarkannya pergi dengan syarat harus kembali sebelum jam tidur mulai. Setidaknya Lissa bisa berinteraksi dengannya.     

Setelah Zen sampai apartemen. Dia nggak benar-benar ke apartemen. Hanya memarkirkan mobilnya di basement apartemen, kemudian ia menuju kedai kopi terdekat untuk menikmati waktunya.     

Espresso panas tersaji di depannya dengan asap yang masih mengepul. Sesekali Zen menyesapnya dengan meniup-niup rasa panas pada kopi itu.     

Kemudian Zen mendapat kabar dari salah satu anak buahnya, Bobi, bahwa Jeremy mendadak keluar kota karena tugasnya sebagai dokter psikologi. Katanya Jeremy diharuskan mengikuti seminar di salah satu lembaga di luar kota.     

Sejak Zen tahu bahwa Tino adalah teman Lissa, ia sedikit memberi kelonggaran padanya karena tidak mau pergerakannya diberitahu oleh Lissa. Maka dari itu, salah satu anak buahnya yang bisa ia percayai selain Tino adalah Bobi. Hanya saja Bobi dipekerjakan oleh Zen tanpa harus datang menghadapnya. Semua sudah Zen atur agar Tino tidak tahu akan Bobi.     

Seharusnya kesendiriannya bisa menjadi salah satu alasan untuk bertemu dengan Daisy. Tapi Zen menahan dirinya untuk melakukan itu. Jadi, ia benar-benar hanya duduk seraya menatap ponselnya dengan espresso di depannya.     

Zen membaca-baca ulang email Daisy yang sejak tadi mereka lakukan. Ia tersenyum sendiri seolah baru saja jatuh cinta. Perasaan senangnya tidak bisa ia hindari. Kadang jiwanya merasa terbelenggu karena tidak bisa menyentuh Daisy betapa pun ia menginginkannya.     

"Ouch! Aduh!" tiba-tiba suara teriakan wanita memecah kebahagiaan Zen menatap emailnya.     

"Ma-maaf, Bu. Saya nggak sengaja," ujar si pelayan meminta maaf pada wanita itu.     

Wanita itu menghela nafas. Walau kesal, tapi bagaimanapun pelayan kedai itu tidak bersalah. Salahnya juga karena berbalik tanpa melihat belakang lebih dulu.     

"Iya, sudah, nggak apa-apa. Saya juga salah," balasnya.     

Mendengar suara itu, Zen langsung berbalik. Ia menatap benar-benar wanita itu. Seketika senyum kecilnya terpancar.     

Zen mendekat tepat ke belakang Daisy. "Butuh bantuan?" tanya Zen berbisik ke telinganya.     

Wanita itu berbalik dengan kibasan rambutnya yang tergerai memancarkan aroma yang memabukkan Zen sejak dulu.     

"Zen?" katanya tak percaya dengan siapa yang ia temui.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.