BOSSY BOSS

Chapter 202 - Words of Love



Chapter 202 - Words of Love

"Bagaimana operasinya? Berjalan lancar?" tanya Neva saat Zen kembali ke rumah Ibunya.     

Zen duduk dan menghela nafas. Ia mengangguk dan merasa lega.     

Neva tersenyum dan bersyukur berulang kali. Ia sangat menyayangi Daisy walau mereka sudah lama tidak bertemu. Ia bahkan tidak pernah sekali pun membenci Daisy.     

"Rasanya … seperti masih menjadi istriku, Mam," ungkap Zen menghembuskan nafasnya.     

Neva mendekat dan mengusap-usap bahu Zen. Ia lalu memberi isyarat pada anaknya agar berbicara pelan karena bisa saja Lissa mendengarnya dan merasa sakit hati nantinya.     

"Semua sudah terjadi, Zen. Jangan terlalu lama berada di masa itu, ok?"     

"Aku entahlah, rasanya selalu saja kembali ke namanya setiap waktu. Aneh, bukan? Padahal kami sudah memiliki kehidupan masing-masing," jelas Zen.     

Neva tersenyum. "Apa kamu menemaninya sampai ia terbangun?" tanya Neva.     

Zen menggeleng. "Aku belum siap menemaninya sampai ia melihatku. Jadi, setelah ini aku mau mencoba menghindar sebisaku untuk nggak menemuinya."     

Mendengar bagaimana anaknya bercerita sekaligus menyaksikan sendiri bagaimana perubahannya, membuat Neva merasa senang sekaligus kasihan. Sebab hingga saat ini Zen masih menetap di masa lalunya walau ia memilih masa depan yang sudah ada     

"Mama mau tanya satu hal denganmu, Zen. Jawab yang jujur, ya?"     

"Silakan, Mam."     

"Apa kamu masih mencintainya?"     

Zen mengangguk. "Ya. Aku masih mencintainya. Sangat mencintainya."     

***     

Akhirnya tiba pembukaan perban operasi yang sudah Daisy lalui. Ia duduk di posisinya dengan nafas yang berhembus cukup cepat. Semua keluarga berkumpul di depannya. Mereka juga tidak sabar untuk melihat Daisy.     

"Siap, ya, Bu?" tanya dokternya.     

Daisy mengangguk dan mengatur nafasnya.     

Perlahan perban yang memutari kepalanya dibuka hingga hanya tinggal perban yang di kedua matanya. Dokter membukanya perlahan dan memberi instruksi pada Daisy untuk mengikutinya hingga hitungan ketiga maka ia harus membuka matanya perlahan-lahan.     

Awalnya Daisy enggan membukanya karena takut jika suatu saat ternyata hasilnya sama sekali tidak berubah, alias tetap buta, namun ia memberanikan diri. Mengerjapkan matanya berulang kali dan pandangan pertama yang ia rasakan adalah kabur atau buram.     

Dokter menginstruksikannya untuk melirik ke kanan dan kiri secara perlahan-lahan juga. Kemudian mengedipkan mata berkali-kali hingga pandangan Daisy mulai terlihat jelas.     

"Aku … bisa … melihat," ucap Daisy terbata-bata.     

Jeremy langsung memeluknya dengan erat hingga Daisy sedikit kesusahan bernafas. Kebahagiaan di ruangan itu mendadak terasa hangat. Semua memeluknya, termasuk anaknya juga keponakannya satu-satunya.     

***     

Beberapa hari setelah operasi dan dibolehkan pulang, Daisy kembali lagi ke rutinitas awalnya. Bekerja kembali di kantornya. Mengurus semuanya dengan benar dan tak lupa sebelum Jeremy bangun, ia memasak sesuatu.     

Daisy ingin menjadi istri yang baik untuk Jeremy. Jadi ia benar-benar bangun sebelum Jeremy dan membuat sesuatu untuk suaminya. Selama ini Jeremy sudah memberikan yang terbaik untuknya.     

"Istriku, masak apa?" tanya Jeremy yang ternyata sudah bangun dan memeluk Daisy dari balik tubuhnya.     

Daisy cukup terkejut karena ia sedang berkonsentrasi memasak sarapan. Tapi kemudian senyumnya lebar begitu mendapat sentuhan dari Jeremy.     

"Aku masak untuk kamu, Jer. Kopi sudah aku siapkan," ujar Daisy.     

Jeremy tersenyum dan mengecupnya. Memeluknya sebelum ia beralih ke kopi buatan Daisy. Kemudian sambil menunggu sarapan saji, Jeremy merapikan rumah-rumah. Ia selalu ikut andil dalam pekerjaan rumah tangga. Sebab bagi Jeremy, begitulah rumah tangga seharusnya.     

"Hari ini aku berangkat ke kantor ya, Jer?" ujar Daisy lebih kepada memberitahu daripada meminta izin.     

"Kamu yakin kamu merasa baikan?"     

"Iya. Aku sudah cukup jelas melihat, kok. Tapi aku tetap ingin kamu mengantarku, Sayang," kata Daisy dengan senyuman.     

"Dengan senang hati, Daisy."     

***     

Sebelum Daisy benar-benar turun dari mobil, ia menghembuskan nafasnya berulang kali. Seperti karyawan baru saja, batinnya. Padahal inilah kantornya sendiri, tapi seperti sudah lama tidak menginjakkan kakinya di sini.     

"Aku masuk, ya," ujar Daisy melihat Jeremy.     

"Iya, Daisy."     

Mereka saling berciuman sebentar sampai akhirnya Daisy benar-benar keluar dari mobil dan masuk ke dalam kantor. Saat itulah Jeremy baru bisa meninggalkan kantor Daisy setelah memastikan Daisy masuk.     

"Selamat datang kembali, Ibu!" keriuhan karyawan dalam penyambutan kedatangan Daisy mengejutkannya.     

Daisy tersenyum dan terharu. Ia tidak tahu bahwa akan ada kejutan seperti ini. Pasti ini ulah Jeremy, pikirnya.     

"Terima kasih. Hari ini, bekerjalah sesantai mungkin, ok?" ucap Daisy dengan senyuman.     

Daisy masuk ke ruangannya dan menghela nafasnya. Wewangian ruangannya yang tak pernah ganti itu ia rindukan. Bahkan ruangannya masih bersih dan terawat. Tidak ada barang atau benda yang berubah.     

Daisy menyalakan laptopnya dan mulai memeriksa emailnya yang sudah lama tidak ia sentuh. Ia memang menyerahkan emailnya pada Firly sejak ia tidak masuk. Tapi sekarang semua akan ia tangani.     

Begitu Daisy memeriksa emailnya. Pesan utama masuk ke emailnya. Email dari seseorang yang menemaninya menjalani operasi donor mata. Zen.     

Sebuah kalimat sambutan ia dapakan dan ia juga mengatakan bahwa akan ada barang datang untuknya sebentar lagi.     

Daisy mengerjapkan matanya berkali-kali dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Zen selalu melakukan semuanya semau sendiri. Walau ia memang berubah sekarang, tapi karakternya yang itu tidak hilang.     

Sebuah ketukan terdengar dan Firly masuk. "Bu, ada paket untuk Ibu," ucap Firly.     

"O-oh … ya, bawa masuk, Firly."     

Kurir dari ekspedisi paket itu membawa satu kotak besar yang Daisy tidak ketahui. Daisy mengernyit dan sedikit takjub. Ia sudah berpikir bahwa paket ini adalah paket yang Zen maksud.     

Setelah tanda tangan penerimaan paket, Daisy mencoba membuka paket itu seorang diri. Perlahan dan dengan hati-hati.     

"Kelihatannya berat dan banyak," ujarnya sendiri.     

Setelah ia membuka setiap rekatan dari paket itu, Daisy sangat takjub. Isi dari paket itu ternyata tumpukan tumpukan novel dengan genre yang ia sukai.     

Beberapa novel limited edition mau pun dengan cetakan pertama yang sulit Daisy temukan. Daisy pun kembali lagi ke laptopnya dan membaca ulang pesan Zen yang belum ia baca tuntas.     

Di sana Zen mengatakan juga bahwa setiap buku ada pembatas yang ia cetak sendiri dengan segala ungkapan hatinya yang tanpa nama karena menghindari kecurigaan terhadap Jeremy.     

Daisy tersenyum tak percaya. Sejak kapan Zen begitu sangat romantis. Daisy pun kembali lagi ke novel-novel itu dan membuka beberapa novel itu untuk melihat pembatas seperti apa yang Zen buat sendiri.     

-"Kamu kehidupanku. Sejak pertama hinga sekarang, tanpamu mungkin aku tidak akan seperti saat ini."-     

Pipi Daisy memerah membacanya. Kemudian ia mengembalikan pembatas itu dan membaca beberapanya. Salah satunya saja sudah membuatnya cukup memerah, pasti yang lain akan memiliki reaksi yang sama atau mungkin lebih.     

Daisy membalas pesan Zen dan mengucapkan terima kasih. Sewajarnya dan senormalnya. Ia tidak ingin memberikan respons melalui email dengan berlebihan.     

***     

Zen tersenyum sendiri membaca email dari Daisy saat ia masih di kantor. Ia berhasil membuat Daisy merasa senang dan bahagia.     

Padahal pasca operasi Daisy, Zen berusaha menghindarinya. Tapi ia berpikir lagi, bahwa memberinya hadiah sepertinya bukan hal yang berlebihan.     

"Senyum-senyum aja! Lissa buat apa lagi kali ini sampai lo senyum nggak jelas begitu?" suara Dito yang mengejutkan Zen membuatnya tersentak.     

"Dia kirim foto telanjang," balas Zen asal.     

"Mana? No picture, hoax," tantang Dito.     

"Sialan lo! Ngapain ke sini ngagetin aja. Udah lama lo nggak ke sini, Dit," tanya Zen.     

"Pamer kemenangan, dong. Mau minum-minum?" tawar Dito.     

Zen menolak dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ngopi aja. Gue berhenti minum-minum."     

Dito terkejut mendengar sahabatnya memberikan pernyataan seperti itu. Seperti bukan Zen yang dikenalnya, ia bahkan menatap Zen dengan serius.     

"Lo serius Zen, kan?" tanya Dito konyol.     

Yang ditanya malah ketawa-ketawa geli karena melihat reaksi Dito. Ia tahu maksud Dito dan tentu saja siapa pun yang mengenal Zen dan tiba-tiba berubah drastis, pasti tidak akan mempercayainya.     

"Raganya sama, jiwanya beda," ucap Zen dengan canda yang menyiratkan keseriusan.     

"Tapi serius lo nggak mau alkohol?"     

Zen mengangguk. "Iya. Ngopi ayo, selain itu, big no."     

***     

- Lissa's POV -     

Aku tahu aku tidak akan pernah menjadi Daisy. Bahkan menggantikannya saja tidak akan pernah terjadi.     

Aku juga tahu Zen masih mencintainya. Setelah pengakuan pada mertuaku dan aku mendengarnya, itu menyakitkanku.     

Aku juga sangat tahu Zen juga mencintaiku. Tapi bukankah lebih menyakitkan ketika suamimu ternyata masih mencintai mantan istrinya yang sudah bertahun-tahun berpisah?     

Ada perasaan dalam diriku ingin melepasnya. Bercerai. Tapi aku tidak bisa mengatakan itu atau bahkan memintanya. Sebab aku mencintainya dan sebab aku mengandung anaknya. Lagi pula, jika aku melepas Zen, tidak akan menjamin ia akan kembali pada Daisy. Sebab Daisy sudah memiliki suami yang sangat ia cintai.     

Yang aku tahu Daisy sudah tidak mencintai Zen. Sekarang ia hanya menjadi lebih baik saja ketika tahu Zen berubah.     

Saat ini aku berusaha untuk tidak mencari tahu apa saja hal yang Zen lakukan di belakangku. Tino juga tidak memberitahuku apa-apa selain Zen yang sedang bekerja keras di kantor.     

Tapi aku ingin memastikan sendiri ke Daisy. Aku ingin bertanya padanya secara langsung tentang bagaimana perasaannya pada Zen. Sebab aku yakin aku akan merasa lega ketika mendengar darinya.     

Buru-buru aku bersiap-siap mumpun mertuaku sedang tidak di rumah. Zen juga mengizinkanku untuk pergi ke mana pun yang aku mau dengan supir pribadiku.     

Omong-omong, supir pribadiku ini bisa diajak kerja sama. Jadi ia sudah kuminta untuk tidak memberitahu Zen bahwa ia mengantarku ke kantor Daisy.     

Ini kedua kalinya aku mengunjungi kantor Daisy. Kelihatannya habis ada penyambutan. Mungkin karena hari ini Daisy baru masuk? Aku tidak tahu, tapi sepertinya iya.     

Ketika aku masuk setelah mendapat izin dari Daisy melalui asistennya, aku melihat ruangan Daisy sedikit berantakan. Daisy pun menatapku dengan cengiran yang baru pertama kali kulihat.     

"Ah, maaf, duduklah dulu, Lissa. Aku masih menata novel-novel baruku," ucapnya.     

Aku duduk dan menatapnya yang sibuk menata novel-novelnya di rak yang kosong. Sepertinya rak itu baru ia beli juga.     

"Mau aku bantu?" tanyaku menawarinya.     

"Jangan, Lissa. Kamu duduklah. Ini nggak akan memakan waktu lama, kok. Mohon ditunggu, ya," katanya dengan lembut.     

Jika mendengarnya bicara sangat akrab dan lembut seperti ini, mendadak aku ingin sekali mengurungkan niatku membahas tentang perasaannya itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.