BOSSY BOSS

Chapter 201 - New Eyes



Chapter 201 - New Eyes

0"Lissa? Kamu kenapa?" tanya Zen saat Lissa masuk ke mobil dengan terburu-buru. Wajah pucatnya membuat Zen menyentuh keningnya yang ternyata tubuhnya panas seperti demam. Lissa juga berkeringat dan mengeluh merasa tidak enak badan.     

"Aku nggak enak badan. Kita pulang ya, aku mau tiduran," ujar Lissa. Zen pun mengangguk dan langsung kembali ke apartemennya.     

Lissa langsung tiduran ketika sampai apartemen. Ia hanya melepas blazernya dan Zen menyelimutinya sampai dadanya.     

Setelah membiarkan Lissa tidur, Zen menghubungi dokter untuk datang memeriksa Lissa. Ia tidak ingin kehilangan Lissa. Sementara dirinya juga merasa seakan dejavu. Seperti pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.     

Tiba-tiba Zen teringat akan Daisy. Hal seperti ini benar pernah ia rasakan. Tentunya saat ia bersama Daisy. Zen langsung menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir perasaan itu. Saat ini ia harus berkonsentrasi pada Lissa yang lebih membutuhkannya.     

Ponsel Zen berdering setelah ia menelepon dokter. Nama Jeremy tertera di sana. Zen perlu melihat Lissa dulu sebelum ia berpindah tempat untuk menerima panggilan Jeremy.     

"Ya?" sapa Zen dengan suara pelan.     

"Dia mau. Jadi, kabari gue dia bisa mulai kapan," kata Jeremy memberitahu.     

"Ok. Dia nggak curiga, kan?" tanya Zen memastikan.     

"Nggak. Ya, sudah, gue tutup."     

Zen melamun. Ada perasaan senang dan tenang dalam dirinya ketika mendapatkan kabar itu. Ia pun lantas memberitahukan pihak rumah sakit dan mengurus semuanya. Kemudian ia menyuruh Tino untuk mengurus sisanya.     

Dokter yang Zen hubungi pun datang usai Zen menyelesaikan urusan tentang Daisy. Dengan semangat ia pun melayani dokter yang memeriksa Lissa.     

Namanya dokter Arta, seumuran dengan Zen dan tentu saja beliau adalah teman Zen namun mereka tidak cukup dekat dalam hal pertemanan karena memang berbeda jalur.     

"Zen, dia hamil. Bagaimana bisa kalian nggak tahu tentang ini? Istrimu pasti juga sudah telat datang bulan," ucap dokter Arta memeritahu.     

"Ap-apa? Arta, aku nggak salah dengar, kan?" tanya Zen tidak percaya dengan apa yang ia dengar.     

"Menurutmu aku bohong?"     

Zen menatap Lissa dengan pandangan nanar. Ia benar-benar senang namun juga terkejut di waktu yang bersamaan. Benar-benar persis seperti saat ia bersama Daisy.     

"Thank's, Arta. Aku hanya terkejut, itu saja."     

"Tapi kamu senang, bukan? Saranku, suruh dia untuk jangan terlalu kelelahan. Bisa-bisa kandungannya lemah seperti saat ini," jelas Arta.     

Zen mengangguk dan mengantar dokter Arta keluar dari apartemen. "Salamat, ya. Aku nggak bisa lama-lama karena aku masih ada pasien yang harus kutemui," ucap dokter Arta.     

"Iya, Arta. Sekali lagi terima kasih."     

Mereka pun berpisah dan Zen kembali menutup pintu apartemennya. Lalu ia mondar-mandir di ruang tamu karena bingung harus bagaimana.     

Kehamilan Lissa adalah kejutan untuknya. Tapi ia belum pernah benar-benar mengurus istri yang hamil dengan baik dan benar. Saat bersama Daisy, ia keguguran dan Zen tidak mau hal yang sama terjadi padanya.     

Zen pun menghubungi Neva untuk memberitahu Ibunya. Ia tahu Neva sangat bisa ia andalkan dalam segala hal. Apalagi tentang kehamilan, sudah pasti Neva tahu.     

"Mam, Lissa hamil," ucap Zen tanpa basa-basi.     

"Wow! Selamat, Zen. Lalu bagaimana dia sekarang?" tanya Neva bahagia.     

"Dia … lemah. Tadi kerja dan pulang lebih awal. Sekarang ia tidur. A-aku nggak begitu tahu apa yang harus aku lakukan, Mam. Apa Mama mau tinggal di apartemen beberapa hari? Atau aku dan Lissa yang menetap di sana? Oh, nggak, sebaiknya memang aku yang menetap di sana selama kehamilan Lissa," ujar Zen merasa cukup panik.     

Neva yang mendengar nada kepanikan pada anaknya itu tertawa kecil. Ia cukup paham bagaimana perasaan Zen saat ini.     

"Baiklah, kalau Lissa sudah pulih, kemarilahlah langsung. Mama akan siapkan kamarmu, OK?"     

***     

Daisy mencoba mendengarkan musik di sore harinya dengan perasaan bahagia. Ia tidak tahu kapan akan melakukan operasi donor mata itu, tapi ia tahu bahwa operasi donor mata itu akan sesegera mungkin dilakukan sepengetahuannya.     

Bayangan-bayanagan akan melihat orang-orang yang ia sayangi sungguh membuatnya tidak sabar.     

Saat Daisy masih menikmati musik dari headset yang terpasang di telinganya, ponselnya berdering. Sedikit mengganggu ketenangannya, tapi bukan masalah untuk Daisy karena barang kali orang yang menghubunginya mungkin Jeremy.     

"Halo?"     

"Daisy … " dari suaranya Daisy sudah tahu siapa itu. Perkiraannya ternyata jauh melesat. Daisy pun menghela nafasnya sebelum ia membalas ucapan si penelepon.     

"Ya, Zen. Ada apa?" tanya Daisy.     

"Apa Jeremy sudah pulang?" tanya Zen.     

"Belum. Ada apa?"     

"Bisa kita ketemu? Aku akan menyuruh Ama menjemputmu sehingga nanti ada alasan untuk Jeremy."     

Daisy diam sejenak. "Sekarang jam berapa?" tanya Daisy karena ia tidak tahu pukul berapa sekarang.     

"Masih jam tiga sore. Bagaimana? Kita akan bertemu di private restoran."     

"Hmm. Ok. Aku akan bilang Jeremy kalau aku keluar bersama Ama.     

"Ok. Terima kasih, Daisy."     

Daisy bersiap-siap sambil menghubungi Jeremy dan untungnya Jeremy mengizinkannya untuk membunuh rasa bosan Daisy dengan Ama.     

Setelah Ama akhirnya datang untuk menjemput Daisy, mereka pun langsung berangkat ke tempat yang Zen sudah sepakati.     

"Aku masih nggak sangka kalau Zen masih menyimpan nomorku, Dai. Padahal nomor dia sudah aku hapus," ujar Ama.     

"Kalau aku sebenarnya sudah nggak kaget, sih. Sebab Zen selalu mendapatkan apa yang dia mau."     

"Benar juga," ucap Ama.     

"Kira-kira, apa yang akan Zen bicarakan, ya? Kenapa aku?"     

Ama mengedikkan bahunya. Ia tahu Daisy tak mungkin bisa melihatnya, tapi isyrat itu sudah naluriah yang sering terjadi.     

"Nggak tahu, deh. Dia tadi nggak bilang apa-apa soalnya. Memangnya tadi di telepon dia nggak bilang?"     

Kini Daisy menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.     

Mobil Ama berhenti dan ia pun menoleh ke arah Daisy. "Ayo, kita turun."     

Daisy pun turun dan mulai berjalan. Ama sendiri mengikutinya dari belakang untuk menjaga Daisy. Sementara itu Zen sudah berdiri di depan dengan kedua tangannya di saku celana. Daisy langsung berhenti karena ia sudah mencium wangi tubuh Zen.     

"Zen … " ucap Daisy.     

"Iya, aku di depanmu sekarang."     

Ama sedikit terperangah karena melihat Daisy tahu keberadaan Zen hanya dengan mencium wangi tubuhnya. Walau sudah terbiasa, tetap saja bagi Ama, hal itu adalah hal yang luar biasa.     

Zen memberi isyarat pada Ama untuk memesan tempatnya sendiri karena ia ingin berbicara dengan Daisy berdua saja.     

Daisy duduk dan Zen pun juga. Makanan kecil sudah tersaji di depan mata. Bukan makanan berat karena ia tahu bahwa Daisy tidak mau makan makanan berat di jam seperti sekarang ini.     

Satu potongan kue Zen berikan pada Daisy beserta minuman segarnya.     

"Ada apa, Zen?" tanya Daisy.     

"Aku nggak tahu kenapa aku harus mengatakan ini padamu, Daisy. Tapi aku pikir aku memang harus mengatakannya. Tentang Lissa yang saat ini sedang hamil."     

***     

- Daisy's POV -     

Hari ini aku akan melakukan operasi donor mata. Aku senang dan tak sabar menunggu waktu membuatku melihat kembali.     

Aku juga sudah di rumah sakit untuk memeriksa kondisiku. Syukurnya, aku sehat. Semua keluarga berkumpul dan memberi dukungan padaku. Bahkan Jason ada di sini juga. Anakku di sini menemaniku.     

"Jer … kira-kira siapa pendonor itu?" tanyaku ingin tahu.     

"Tentang itu aku juga nggak tahu, Dai. Kata pihak rumah sakit, nggak semua penerima donor mata tahu siapa pendonor mata itu. Ada yang memang ingin menjaga identitasnya, ada yang memang terbuka," jelas Jeremy padaku.     

"Dan aku dapat si pendonor yang nggak mau identitasnya di buka?" tanyaku.     

"Benar. Siapa pun dia, hatinya sangat mulia," jawab Jeremy seraya mengusap-usap rambut kepalaku.     

Dia benar. Siapa pun dia, aku harus berterima kasih padanya melalui alam. Aku tidak tahu dia tapi aku akan mengenal pendonor itu dari matanya.     

Satu jam lagi menuju waktu di mana aku akan melakukan operasi. Rasanya jantungku semakin tidak keruan.     

Sebenarnya di operasi ini entah kenapa aku mengharapkan kedatangan Zen. Tapi sepertinya ia tidak akan datang. Padahal aku sudah yakin sekali dia pasti tahu kalau aku akan melakukan operasi donor mata.     

Yah, sebenarnya aku tidak perlu mengharapkannya berlebihan. Saat ini Lissa sedang hamil dan kandungannya lemah, persis seperti aku dulu, dan tentu saja, Zen pasti sedang mengurusnya.     

Aku tidak tahu kenapa aku merasa cemburu pada Lissa yang mendapatkan perhatian lebih dari Zen dengan lembut. Jika saja saat itu Zen adalah dirinya yang sekarang, pasti aku tidak akan menceraikannya.     

Cih! Bicara apa aku ini? Aku kan, sudah memiliki Jeremy. Kenapa juga aku harus selalu berujung pada Zen seorang? Kami bahkan sudah memiliki kehidupan masing-masing.     

Akhirnya aku menuju ruang operasi. Memakai pakaian khusus operasi yang tidak kuketahui namanya. Dokter dan beberapa perawat sudah di sana. Aku bahkan sudah terbaring.     

"Daisy … " suara Zen tiba-tiba bisa kudengar seperti aku sedang bermimpi. Namun tidak, tubuhnya mendekat mengenakan pakaian yang mirip dengan dokter. Aku bingung dan menatap dokter juga para perawat.     

"Aku akan menemani kamu di sini, Daisy. Ini satu-satunya cara agar aku bisa melihat kamu," katanya.     

Aku terkesiap. Benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa padanya sementara Zen seolah mudah begitu saja muncul di ruang operasi ini.     

"Tenang saja, mereka akan menjaga rahasia tentang keberadaanku di sini. Kamu nggak perlu takut," ujarnya seolah bisa membaca pikiranku.     

Kemudian kedua tangannya menyentuhku. Menggenggamku lebih tepatnya. Genggaman itu begitu lembut dan kuat. Mendadak kegugupanku akan operasi musnah sudah ketika sentuhannya menghantar kehangatan pada tubuhku.     

"Terima kasih, Zen. Tapi seharusnya kamu nggak perlu melakukan ini. Bagaimana dengan Lissa?" tanyaku.     

"Dia baik-baik saja sekarang dan dia nggak apa-apa kalau aku menemanimu."     

Aku menelan ludahku mendengarnya bicara begitu santai. "Di-dia nggak apa-apa? Artinya dia tahu apa yang kamu lakukan padaku?"     

Zen mengangguk padaku dengan senyuman. "Aku selalu jujur padanya. Aku sudah bilang padamu kan, Daisy, aku mau berubah. Bukan karenanya, tapi karena aku sendiri."     

Ugh, entah kenapa aku malah jadi cemburu mendengarnya. Di satu sisi aku senang mengetahui Zen berubah menjadi sosok yang baik, tapi di sisi lain aku sangat terbakar oleh api cemburu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.