BOSSY BOSS

Chapter 239 - A Baby Sitter



Chapter 239 - A Baby Sitter

0Sejak kejadian itu, Daisy memilih tidak tidur jika tidak ada Jeremy. Sebab masa-masanya saat ini masih diselimuti bayang-bayang Zen, Daisy tidak mau kejadian itu terulang dua kali. Ia takut jika nantinya ia tidur, bagaimana keadaan anak-anaknya? Ia khawatir.     

Sayangnya, Daisy seperti ingin memiliki pengasuh untuk anak-anaknya. Ada baiknya seseorang bisa menjadi pengasuh untuk Jason dan Jordan saat ia sibuk. Daisy tidak ingin menyusahkan Reina lagi, jadi ia ingin ada pengasuh.     

Ia masih merencanakannya, tapi Daisy harus meminta izin dulu pada Jeremy karena ia ingin keputusannya juga menjadi keputusan Jeremy.     

Sementara menunggu malam tiba yang mana Jeremy akan pulang kerja, Daisy memasak sesuatu yang sederhana untuk makan malam mereka. Sesekali ia juga memperhatikan dua anaknya yang sedang bermain. Jason benar-benar menjadi Kakak yang baik untuk Jordan. Hal itu membuat Daisy tenang dan senang melihatnya.     

"Papa pulang!" teriak Jason seraya berlari menuju pintu depan.     

Daisy tersenyum dan ia pun menggendong Jordan untuk menuju pintu depan. Tak lama, ia sudah melihat Jeremy menggendong Jason. Kebersamaan itu membuat Daisy sangat senang. Jeremy lalu mengecup kening Daisy dan mencium pipi Jordan. Ia tersenyum menatap keluarganya yang sangat lengkap.     

"Hari ini aku masak sederhana, Jer," ujar Daisy. Ia menaruh kembali Jordan di karpet dan membiarkannya bermain sendiri bersama Jason.     

"Ok. Aku mandi dulu, ya?"     

Jeremy menuju kamar setelah ia mengecup cepat bibir Daisy saat kedua anaknya tidak melihat. Membuat Daisy malu dan tersenyum dengan sendiri.     

Sambil menunggu Jeremy, Daisu mengurus Jason dan Jordan dulu untuk mereka makan duluan. Sebab Daisy ingin lebih fokus mengatakan keinginannya pada Jeremy. Jadi ia menyuapi Jason dan Jordan bergantian.     

Saat Jeremy keluar, ia bergabung duduk di karpet ruang tamu dan bermain kecil dengan anak bungsunya.     

"Jason main sambil jaga adik, ya? Mama dan Papa mau makan sambil bicara, ok?" ujar Daisy usai menyelesaikan suapan terakhirnya untuk Jason.     

Jason mengangguk senang dan Daisy pun langsung mengajak Jeremy ke ruang makan dengan wajah Jeremy sedikit berkerut karena penasaran.     

"Ada apa, Daisy?" tanya Jeremy yang mulai tidak sabar. Ia ingin mendengar apa yang dikatakan Daisy sebelum mereka mulai makan.     

Daisy masih sibuk mengambil makanan untuk Jeremy. Sebenarnya ia tidak ingin membahasnya langsung, tapi melihat rasa penasaran yang tampak di wajah suaminya itu membuatnya harus mengatakannya.     

"Aku ingin meminta pendapatmu," kata Daisy perlahan.     

"Silakan, Sayang."     

"Hmm, bagaimana kalau kita menyewa pengasuh untuk anak kita?" tanya Daisy.     

"Katakan alasannya padaku, Daisy."     

Sejujurnya, di dalam lubuh hatinya Daisy merasa takut jika Jeremy marah padanya, atau kemungkinannya bisa saja menolaknya. Ia pun mengutarakan alasannya dan berharap semoga Jeremy mengizinkannya.     

"Oke. Kita akan menyewa pengasuh, tapi biar aku yang mencarinya, ok?"     

Wajah Daisy berseri seketika. Semudah itu mendapat izin dan persetujuan Jeremy. Padahal ia mengira Jeremy akan menolaknya, tapi nyatanya semua di luar ekspektasi.     

"Terima kasih, Jer!" ucap Daisy girang.     

"Mungkin dalam waktu seminggu. Kita juga harus siapkan kamarnya. Aku juga harus tahu dia seperti apa, karena aku nggak mau menerima seseorang dengan asal. Jadi, sabar sebentar, ya?"     

"Iya. Aku percaya pada pilihanmu, Jer. Semua kebutuhannya akan aku cukupkan juga."     

Jeremy tersenyum dan mereka pun mulai makan dengan tenang.     

***     

"Oh, Zen. Kira-kira apa aku boleh menjenguk Daisy? Aku ingin tahu keadaannya," tanya Aini pada Zen.     

"Ai, sebaiknya nggak usah, ya. Aku nggak mau ada urusan apa-apa lagi dengannya."     

Setelah Zen melarangnya, Aini mengangguk. Ia memang tidak bisa memaksa Zen betapa pun keinginannya itu bertemu Daisy. Tapi Aini berharap bisa bertemu Daisy secara tiba-tiba.     

"Sebagai gantinya, aku turuti keinginanmu. Kamu mau ke salon atau mungkin keluar?"     

"Aku nggak ada keinginan untuk itu. Mungkin belum lebih tepatnya, Zen."     

"Ya, udah. Tapi sekarang bersiaplah yang cantik. Kita akan keluar sambil menunggu apa yang mau kamu lakukan, ok? Aku nggak mau membuatmu kecewa dengan laranganku, Ai."     

Aini menyentuh pipi Zen dengan hangat. "Aku nggak kecewa. Aku percaya apa yang suamiku nggak perbolehkan, artinya untuk kebaikan. Jadi, jangan merasa seperti itu, ya."     

Aini mengangguk dan ia bersiap-siap. Untuknya, tidak perlu banyak waktu untuk merias diri. Kali ini Aini mengenakan rok yang mengetat warna hitam dengan atasan blouse berwarna peach yang semakin menunjukkan cerahnya wajahnya.     

Ia keluar kamar dan Zen menatapnya dengan pandangan terpukau. Tentu saja Aini merasa malu dipandang seperti itu.     

"Zen, jangan memandangku begitu!" seru Aini malu.     

"Kenapa? Istriku secantik ini?" tanya Zen. Ia mulai berdiri dan merengkuh pinggang istrinya. Memajukannya dengan cepat dan mencumbu bibirnya penuh hasrat. Namun kali ini Zen tidak ingin bercinta. Ia hanya ingin menciumnya saja.     

"Kita mau ke mana?" tanya Aini.     

"Ke mana saja yang penting kamu senang. Apa kamu sudah memiliki keinginan?"     

Aini mengangguk malu. Sebenarnya dia ada keinginan yang belum pernah ia minta dari Zen. Ada dua hal yang ia inginkan. Satu menyenangkan hatinya dan kedua menyenangkan suaminya.     

"Katakan, Ai."     

"Aku ingin ke salon," ujarnya.     

"Ok. Sebaiknya kita langsung ke salon. Aku tahu salon mana yang terbaik untukmu. Ada lagi?"     

Ada, batinnya. Permintaan keduanya cukup ekstrim dan mungkin menggoda Zen sedikit. "Ada," jawabnya malu-malu.     

"Katakan saja, Sayang. Kamu nggak perlu malu-malu."     

"Aku ingin kita bercinta di hotel. Dan ada kejutan yang akan aku tunjukkan padamu."     

Zen menelan ludahnya. Mendengar keinginan kedua Aini menggelitik dirinya untuk membawanya langsung ke hotel. Tapi tidak akan ia lakukan jika Aini meminta ke salon lebih dulu. Jadi, Zen akan menahan hasratnya.     

"O-oke. Aku akan reservasi hotel untuk kita," jawab Zen tergagap.     

Aini tersenyum menggodanya. Bahkan posisi duduknya sudah mengundang nafsu Zen. "Kita akan melakukannya setelah dari salon, Zen. Jadi, tahan nasfumu, ok?" ujar Aini menggodanya.     

Zen mengumpat dalam diam, tapi ia tersenyum. Ia tidak sabar membuat istrinya kalah saat nanti. Melihatnya saja bagian bawahnya sudah siap berdiri.     

Aini terkekeh dan saat itu juga Zen menepi di jalan. Langsung saja Aini berhenti tertawa dan ia menatap sekelilingnya. Kemudian mendadak Zen menutup tirai jendela mobilnya.     

"Naik," perintah Zen setelah ia melepas bagian bawahnya. Aini terkejut karena ia tidak tahu sejak kapan Zen sudah membuka celananya.     

"Zen," ucap Aini menahan senyumnya.     

"Naik, Aini. Kamu sudah menggodaku dan sekarang aku mau menghukummu," perintah Zen.     

Aini melepaskan heelsnya dan ia menaikkan roknya ke atas serta melepas celana dalamnya. Lalu ia naik ke atas Zen dan keduanya sama-sama menghembuskan nafas ketika milik mereka saling bertemu.     

"Aku mau kamu bergoyang cepat sampai aku orgasme, nggak peduli selelah apa kamu. Kamu tahu kan, aku jarang orgasme ketika kamu di atas?" perintah Zen.     

Wajah Aini sedikit mengerut. Ia harus bekerja keras saat ini. Membuat Zen orgasme ketika ia di atasnya memang susah, tapi Aini tidak ingin dianggap lemah.     

"Baiklah," ujar Aini mulai melepas pakaiannya dan membiarkan payudaranya menggantung indah.     

Ia mulai bergerak dan tidak peduli jika mobil mereka bergerak. Aini yakin Zen sudah tepat memilih tempat.     

Tanpa henti Aini mengguncangkan tubuhnya walau ia sendiri sudah berorgasme. Keringat membasahinya. Zen mulai merasa akan orgasme sebab Aini bisa melihat wajahnya.     

"Sial, Aini!" kali ini Zen dengan kuat menggerakan pinggang Aini dengan keras dan cepat, membuat Aini sendiri berorgasme lebih dari dua kali.     

***     

"Begini Ayu, saya ingin memperkerjakan kamu tapi bukan cuma sekadar menjaga dan mengurus anak saya. Tapi saya mau kamu mengawasi istri saya, namanya Daisy," ujar Jeremy ketika akhirnya ia merasa mendapatkan calon pengasuh untuk anaknya.     

Namanya Ayu, Jeremy mengenalnya dari jasa agensi temannya. Wanita kota yang banyak memiliki pengalaman tentang mengurus anak.     

"Baik, Pak. Apa yang harus saya lakukan?"     

Jeremy menjelaskan segalanya. Dari hal tentang Daisy yang terkadang melemah atau jika bertemu laki-laki di luar. Walau pun terdengar sangat kanak-kanak, Jeremy harus tahu pergerakan Daisy. Sebab jika ada hal yang di luar batas, maka Jeremy harus menegurnya.     

"Kamu hanya perlu mengambil kepercayaannya. Menjadi temannya. Saya yakin Daisy akan menyukaimu sebagai temannya. Dan ketika ia menganggapmu teman, kamu harus bisa selalu ada untuknya," jelas Jeremy.     

Ayu mengangguk patuh.     

"Liburmu seminggu sekali, tapi saya nggak bisa memberikan kamu libur di hari Sabtu dan Minggu. Kecuali kamu ada kepentingan di hari tersebut. Jadi pilih harimu dari Senin sampai Jumat," ujar Jeremy.     

"Baik, Pak. Sepertinya saya akan memilih hari Kamis," timpal Ayu.     

Jeremy mencatat yang perlu ia catat. Ia juga bertanya apa yang Ayu tidak suka dan disuka. Sebab ia ingin tahu tentang pekerjanya.     

Usia Ayu sedikit lebih muda dari Daisy. Hanya berbeda dua tahun. Tapi sayangnya Ayu belum menikah, namun ia memiliki kekasih.     

"Ok. Kapan kamu bisa kerja, Ayu?" tanya Jeremy.     

"Lusa ya, Pak? Karena saya harus merapikan barang-barang saya."     

"Ok. Lusa. Selamat bergabung dan nikmati, ya. Anak saya nggak seburuk yang kamu pikirkan. Kamu bisa keluar."     

Ayu menyalami Jeremy dan kemudian keluar dari ruangan Jeremy. Setelah Ayu keluar, Jeremy kembali mempelajar dokumen tentang Ayu.     

Wanita itu berpendidikan tinggi, tapi ia memilih menjadi pengasuh karena menyukai anak kecil. Masuk akal juga, pikir Jeremy. Setiap orang memiliki pilihan, pikirnya.     

Jeremy langsung menghubungi Daisy untuk memberitahu kabar ini. Setelah panggilan tersambung dan dijawab, Jeremy langsung mengatakannya.     

"Lusa dia akan mulai bekerja, Dai."     

"Sesuai dugaanku! Akhirnya! Siapa namanya?"     

"Ayu. Riwayatnya baik semua, bahkan dia lulusan pendidikan guru taman kanak-kanak di luar negeri," ujar Jeremy.     

"Wow! Keren. Lalu apa kamu nggak bertanya kenapa ia harus berakhir menjadi pengasuh anak kecil?"     

"Ya, dia menyukai anak kecil."     

Jeremy bisa mendengar helaan nafas Daisy yang lega itu. Ia pasti lega karena menemukan pengasuh yang me cintai anak.     

"Ya, sudah. Bekerjalah yang keras suamiku!" ucap Daisy memberinya semangat.     

"Tolong, saat aku pulang nanti, berpakaianlah yang seksi," pinta Jeremy.     

"Jer!" seru Daisy malu.     

"Aku mau bercinta denganmu, Daisy," lirih Jeremy dari ponselnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.