BOSSY BOSS

Chapter 238 - I'll Always Be There



Chapter 238 - I'll Always Be There

0"Sudah kamu kasih ke dia?" tanya Aini saat mereka dalam perjalanan pulang.     

"Sudah. Apa kamu senang?"     

"Hidup harus berdamai, jadi tentu saja aku tenang, Zen."     

Zen senang mendengar jawaban Aini. Ia lalu mengusap tangan Aini dengan kasih sayang dan mengecupnya.     

"Dia sendiri tadi?" tanya Aini lagi.     

Zen mengangguk. Ia senang mendengar Aini banyak bertanya. Sebab memang biasanya ia diam karena takut jika Zen marah kalau ia banyak bertanya.     

"Kenapa kamu senyum Zen?"     

"Aku senang karena kamu begitu dewasa. Bahkan melebihi mantan istriku yang bahkan tadi aku merasa ia masih seperti yah, aku nggak perlu menjelaskannya, kan?"     

Aini mengerti dan mengangguk. Tentu ia paham sebagai wanita bagaimana perasaan mereka ketika tahu mantan suaminya akan menikah. Mungkin bukan karena masih cinta, tapi karena merasa tergantikan dan tak rela.     

"Nggak apa-apa. Biarkan hal seperti itu mengalir sampai benar-benar hilang, Zen. Karena memang mengikhlaskan itu susah ketimbang berbicara," jelas Aini.     

Tidak ada yang tidak bisa merasa tersanjung mendengar penuturan bijak kekasihnya. Zen merasa tidak salah memilih wanita untuk kehidupannya.     

"Omong-omong, Felly menggemaskan, ya? Lucu banget!" timpal Aini dengan nada gemas yang tidak pernah Zen dengar selama ini.     

Tawa Zen meledak seketika itu juga. Ia senang dan bahagia. Tapi juga setelah itu ia mereda karena melihat wajah imut Aini yang polos karena terkejut melihat Zen tertawa.     

"Ada apa lagi, Zen? Kenapa tertawa?"     

"Kamu lucu dan menggemaskan. Seperti saat kamu memeragakan cara bicaramu ketika membicarakan Felly."     

Aini merasa malu. Wajahnya memerah dan ia langsung membuang pandangannya ke luar jendela mobil dan Zen tersenyum untuk itu.     

***     

Jeremy menatap sebuah undangan di meja ruang tamunya. Undangan pernikahan Zen dan Aini. Wajahnya berkerut karena ia tidak mendapat kabar dari Daisy. Atau mungkin memang sengaja belum mengatakannya.     

Jeremy lalu memanggil-manggil Daisy namun tidak ada sahutan. Ia juga memeriksa kamar anaknya yang beruntungnya anaknya masih tidur.     

Lalu Jeremy mulai ke kamarnya dan ia melihat Daisy sedang terbaring tidur. Namun ia melihat gerakan aneh saat Daisy tidur. Jeremy mendekatinya dan melihat keringat bercucuran di tubuh Daisy.     

Sebenarnya Jeremy sudah sering melihat hal ini terjadi pada Daisy. Tapi ia juga tidak bisa membiarkan Daisy selalu begitu. Ia akhirnya mengguncang tubuh Daisy tapi tidak ada respons bangun dari Daisy.     

Sementara itu Daisy merasakan momen bersama Zen. Saat mereka masih bersama. Di mana akhirnya Daisy bisa menerima dirinya yang mencintai Zen. Bagaimana Zen menjadikannya ratu namun harus selalu patuh padanya.     

"Aku mencintaimu dengan sangat, Zen. Jangan pernah pergi," ucap Daisy kala itu.     

Saat itu mereka sedang berada di pantai. Zen memeluknya dari belakang, merangkul lengannya di sekitar leher Daisy. Dua orang yang saat itu sedang jatuh cinta tengah memandang debur ombak yang indah.     

"Sedikit pun bahkan nggak ada terlintas di benakku buat pergi dari kamu, Dai. Kamu yang seharusnya jangan meninggalkan aku," balas Zen.     

Daisy tersenyum. Ia menghembuskan nafasnya dan mengangguk. "Iya. Nggak akan."     

"Akhirnya kamu bisa mencintaiku dengan segala kerumitanku, Daisy."     

"Itu benar. Dasar orang rumit!" Mereka terkekeh bersamaan.     

Lalu memori itu berganti menjadi memori di mana saat itu Daisy bercinta dengan Zen. Bagaimana ia liar dan mengenal seks karena Zen. Melayaninya hingga ia melemas dan Zen terus bergerak di atasnya.     

Peluhnya semakin membasahi kasur. Jeremy cukup panik karena Daisy tak juga bangun. Bahkan Daisy menjadi demam.     

"Apa kamu menyukainya?" tanya Zen saat memori yang lain kembali datang. Zen memberikannya sebuah kalung yang Daisy tidak pernah berpikir akan memilikinya.     

"Hmm ... ini bagus, tapi apa nggak terlalu berlebihan? Jangan membuang-buang uang, Zen."     

Zen terkekeh. "Lebih berguna kugunakan uang itu untuk menyenangkan kamu, Dai. Jangan khawatir, ok? Uang bisa kita cari.     

Daisy pasrah saat itu. Sebab jika memang sudah keinginan Zen memikiki tekad yang kuat, maka ia tidak bisa menggoyahkannya.     

Di momen yang lain lagi, Daisy dan Zen bertengkar karena kecemburuan Zen terhadap Devan. Membuat Daisy bingung harus melakukan apa karena Zen selalu berbuat kasar terhadap orang yang membuatnya cemburu.     

Hingga akhirnya, saat itu Daisy harus memulai bercinta dengan Zen. Diawali oleh Daisy yang berinisiatif hingga Zen hampir menolaknya karena masih dibara api.     

"Jangan marah. Kamu nggak boleh marah seperti ini," ujar Daisy.     

Zen hanya berdeham menikmati permainan Daisy di bawahnya. "Jangan membuatku marah kalau begitu!" erang Zen.     

Daisy menghentikan aktivitasnya. Membuat Zen resah dan Daisy menatapnya. "Kamu tahu aku mencintaimu, Zen. Please, jangan diragukan."     

Daisy langsung terbangun dengan keterkejutan. Matanya mendelik dan tubuhnya sudah basah oleh keringat. Lalu ia melihat Jeremy yang dengan khawatir ada di sana.     

Nafas Daisy tersengal-sengal dan Jeremy menyeka keringatnya serta memberikan segelas air mineral.     

"Kamu baik- baik saja?" tanya Jeremy memeprhatikannya.     

Walau pun Daisy yakin ia sedang tidak baik-baik saja, tapi demi membuat Jeremy yakin, ia mengangguk bahwa ia baik-baik saja.     

"Mimpi buruk?"     

"Berapa lama, Jer?" tanya Daisy.     

"Tiga puluh menit ... bukan masalah, Daisy. Sekarang kamu baik-baik saja, ok?"     

Daisy mengangguk walau ia masih merasa ia tidak baik-baik saja. "Anak-anak. Bagaimana dengan anak-anak? Apa Jordan menangis?" cecar Daisy panik dan mulai berdiri.     

Namun ketika ia beranjak berdiri, Daisy limbung dan Jeremy sigap menangkapnya. "Daisy, sudahlah. Istirahat aja, ok? Mereka masih tidur. Aku nggak mau kamu sakit, Sayang."     

Betapa beruntungnya Daisy karena memiliki Jeremy yang sabar padanya. Ia langsung memeluk Jeremy erat. Menanamkan wajahnya di leher Jeremy dan sangat berterima kasih untuk segala kebaikan yang ia dapati.     

***     

Lagu pernikahan itu mengalun indah. Menemani seluruh para tamu yang sudah berkumpul di gedung. Pakaian serba gold terlihat jelas memenuhi isi ruangan.     

Daisy menatap sekitarnya. Ruangan dipenuhi sesak para tamu. Jeremy tetap menggandeng tangannya untuk mengontrol pikiran Daisy.     

Cara yang dilakukan Jeremy memang berhasil, tapi Daisy masih berpikir bahwa ia masih belum baik-baik saja.     

"Kita akan ke sana, bersalaman dan pulang, ok?" ucap Jeremy. Daisy mengangguk. Ia tak mau banyak bicara saat masih di lokasi pernikahan.     

Ada perasaan yang aneh saat ia melihat Zen dan Aini di depan sana tersenyum kepada semua tamu yang menyalaminya. Perasaan cemburu itu masih mengerogoti hatinya. Dan semakin membuatnya berdebar ketika Jeremy menggiringnya mendekat. Semakin dekat sampai Zen menatap ke arah kedatangan Jeremy dan Daisu.     

"Tarik nafas dan buang, Sayang. Jangan sampai perasaan buruk itu memenuhimu."     

Daisy mengangguk. Jeremy dengan sabar benar-benar menemaninya dan mengontrolnya. Padahal ia tahu bahwa pikiran Daisy sedang rumit.     

"Selamat lagi, Zen," ucap Jeremy penuh makna. Mereka bersalaman lalu Jeremy menyalami Aini juga. Daisy pun mengikuti Jeremy.     

Mendadak nafasnya mulai tak menentu. Zen bisa melihat ada yang berbeda. Wajah Daisy yang mengenakan rias bahkan bisa memucat. Pandangan Daisy mulai tak menentu saat ia menatap Zen dan ...     

"Brukkk!"     

Daisy jatuh pingsan di pelukan Zen. Membuat semua orang menatap mereka dan penasaran. Beruntunglah upacara pernikahan sudah selesai dan Zen segera membawa Daisy ke belakang sementara Jeremy mengikutinya.     

Zen tentu saja ikut panik dengan kondisi Daisy. Ia sudah sering melihat Daisy seperti ini. Khawatir dan takut sudah pasti menjadi satu.     

"Dia kenapa, Jer?!" tanya Zen pada Jeremy.     

"Beberaoa hari dia sedang nggak baik-baik saja," jawab Jeremy. Ia langsung mengambil alih posisi Zen dan memangku Daisy.     

Sementara itu Aini hanya diam berdiri melihat kekhawatiran Zen. Berkali-kali dalam dirinya ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja melihat suaminya khawatir terhadap mantan istrinya yang sedang sakit.     

Zen yang merasakan dua mata memandangnya pun akhirnya ia mendekati Aini. "Maaf, aku-"     

"Nggak apa-apa, Zen. Dia lagi sakit, aku mengerti, kok," timpal Aini lembut.     

"Lanjutkanlah acaranya. Gue harus pergi usai Daisy sadar," ujar Jeremy datar.     

Zen langsung menarik Aini. Ia juga sadar ia tidak ingin merusak suasana pernikahan mereka apalagi ini adalah kali pertama Aini merasakan pernikahan.     

Semua tamu yang beramai-ramai membicarakan tentang apa yang terjadi. Lalu setelah Zen dan Aini datang, mereka terdiam dan Zen mengumumkan bahwa semua baik-baik saja dan ia menyuruh para tamu untuk tetap menikmati acara mereka.     

Walau kelihatannya Zen baik-baik saja, bahkan Aini merasa begitu ketika melihat Zen. Sebenarnya Zen khawatir. Apakah Daisy sudah sadar atau bahkan lebih parah? Batinnya bertanya. Tapi Zen sebisa mungkin tidak ingin menyakiti Aini. Sebab ia cukup yakin, saat refleks Zen membopong Daisy hingga terlihat khawatir, ia bisa melihat kepedihan di wajah Aini.     

***     

"Maafkan aku ... maafkan aku," ucap Daisy yang menangis usai ia sadar dari pingsannya. Ia menatap Jeremy yang menatapnya dengan khawatir.     

"Kamu nggak salah," ucap Jeremy.     

"Tapi aku membuat semua khawatir. Merepotkan banyak orang. Dan lagi, pasti kamu-"     

Jeremy mengecup bibir Daisy. Membungkamnya agar Daisy berhenti bicara yang bukan-bukan. Walau ada benarnya semua yang dikatakan Daisy, tapi Jeremy tidak ingin menunjukkan rasa sakit hatinya.     

"Sudah. Ok? Kita akan pulang, ya?"     

"Bagaimana dengan Zen dan Aini. Aku pasti membuat mereka repot."     

"Aku sudah menanganinya. Nanti biar aku menghubungi mereka bahwa kamu sudah baik-baik saja. Ok?"     

Daisy akhirnya mengangguk. Tubuhnya dipapah Jeremy karena Daisy masih limbung dan belum begitu pulih. Sebentar Daisy menatap ke gedung yang megah itu sebelum ia masuk ke dalam mobil.     

Dalam perjalanan pulang, Daisy mengolesi pelipisnya dengan minyak angin. Ia ingin membuat dirinya segera sehat dan sadar dari yang baru saja terjadi padanya. Ia tidak ingin kembali pulang dengan keadaan tidak sehat sementara anak-anaknya membutuhkannya.     

"Apa kamu mau jalan-jalan dulu?" tanya Jeremy.     

"Ide bagus, Jer. Aku juga nggak ingin menjemput anak-anak dalam keadaan seperti ini."     

Jeremy mencoba tersenyum dan mengangguk. Lalu sebuah kecupan Jeremy dapatkan dari Daisy. Ia tersenyum dan mengusap-usap tangan Daisy. Momen seperti ini sudah cukup membuat sakit hatinya hilang. Namun Jeremy tidak ingin Daisy mengetahui perasaannya yang terluka. Ia akan menjaga rahasianya sampai kapanpun.     

"Terima kasih untuk selalu ada, Jer."     

"Aku mencintaimu, Daisy. Dan itulah yang akan selalu aku lakukan untuk orang yang kucintai."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.