BOSSY BOSS

Chapter 237 - A Wedding Invitation



Chapter 237 - A Wedding Invitation

0Suara bel pintu rumah Daisy berdenting. Ia segera membukanya setelah menidurkan Jordan. Ia tidak mau jika anak bungsunya terbangun karena dentingan bel rumahnya. Daisy membukanya dan ia terkejut dengan kedatangan Aulin. Aulin langsung masuk dengan wajah dan mata yang membengkak seperti habis menangis.     

Daisy langsung menutup pintu rumahnya usai ia melihat ke luar untuk memastikan apakah Aulin datang sendiri atau bersama orang lain. Namun saat melihat mobil Aulin terparkir, ia merasa lega.     

Aulin duduk bersandar di sofa ruang tamu. Wajahnya tertekuk dan Daisy memperhatikannya sampai Aulin membuka permasalahannya.     

"Aku putus dengan Zen!" ujar Aulin memberitahu.     

Daisy menaikkan satu alisnya. Ia tidak terkejut jika mereka sudah putus, sebab beberapa hari lalu Daisy melihat sendiri Zen melamar wanita lain.     

"Memangnya kalian jadi pacaran?" tanya Daisy berpura-pura tidak tahu.     

Aulin langsung menatap Daisy. Daisy tidak tahu jika Aulin mengetahui kebenarannya bahwa Daisy adalah mantan istri Zen. Hanya saja Aulin tidak menceritakan itu. Ia memilih menyimpannya sendiri.     

"Yah, memang nggak secara langsung kami meresmikannya. Tapi apa namanya jika aku sudah pernah tidur dengannya? Bukan pacaran?"     

"Bagaimana jika itu friends with benerfits?" timpal Daisy. Kedua tangannya mengepal. Walau ia tahu kemungkinan mereka sudah tidur bersama, Daisy benar-benar kesal dengannya.     

"Kak! Kita lebih dari itu! Dia bahkan udah bertemu dengan orang tuaku. Dan yah, sebenarnya dia melamarku tapi aku selalu menolaknya," jelas Aulin.     

Daisy memiringkan kepalanya. "Selalu menolaknya? Apakah dia melamarmu berkali-kali?"     

Aulin mengangguk.     

Oh, jadi bukan salah Zen sepenuhnya, batin Daisy.     

"Dan kamu habis menangisinya? Lalu kenapa kamu menolaknya? Apa kamu nggak menyukainya?"     

Kini Aulin hanya diam dan menunduk. Ia tidak akan menceritakan alasan terbesarnya. Melainkan ia mencari alasan lain agar terdengar masuk logika.     

"Karena aku belum siap," lirih Aulin.     

"Belum siap tapi kamu sudah jalan bersamanya. Mungkin karena kalian sering bersama, jadi ia menyangka kamu serius dengannya."     

"I do, Sis! I do seriuos and want to be with him!" seru Aulin yang langsung Daisy tutup mulutnya karena takut membangunkan Jordan.     

Aulin langsung mengecilkan suaranya dan meminta maaf setelahnya. Kemudian ia mulai menitikkan air matanya karena kesal dengan apa yang terjadi padanya.     

Daisy, menenangkan Aulin. Ia tahu betapa sakitnya disakiti oleh orang yang disayang hanya karena ulahnya sendiri. Sebab Daisy pernah di posisi yang sama.     

"Sudahlah, seperti kamu dan Tomy yang sudah putus, seharusnya bukan masalah kan, buat kamu?" ujar Daisy.     

Aulin mengangguk. Bagaimanapun juga, ia menganggap benar ucapan Daisy. "Artinya aku harus move on kan, Kak?" tanya Aulin.     

"Iya. Lakukan seperti kamu melakukannya dulu."     

Daisy merasa lega karena akhirnya Zen tidak jadi dengan Aulin. Itu karena ia tidak ingin Zen bersama wanita yang ia kenal. Jadi, jika Zen bersama Aini, Daisy tidak masalah akan hal itu.     

"Sepertinya aku akan kembali ke Amerika, Kak," ujar Aulin.     

"Hah? Secepat itu?"     

Aulin mengangguk. "Kayaknya lebih baik aku berada di tempat yang nggak sama dengan mantan kekasihku."     

Daisy merasa kasihan padanya. Padahal Aulin tidak perlu seperti itu. Cukup mencoba untuk berkeras tidak memikirkannya saja sudah pasti bisa.     

"Kamu nggak perlu begitu, Aul. Lagipula terlalu jauh, ah. Kan, studimu di sana juga sudah selesai," timpal Daisy.     

"Nggak, Kak. Aku mau melanjutkan magisterku di sana. Sekalian saja."     

Tidak ada yang bisa Daisy lakukan lagi jika Aulin sudah bersikeras untuk kembali ke Amerika demi melupakan Zen dan melanjutkan magisternya.     

***     

Bukan hal yang pertama bagi Zen untuk memilih gaun pengantin untuk calon mempelai wanita. Apalagi Aini tipikal yang selalu patuh padanya, apa pun perintah dan keinginan Zen.     

Tanpa perlu Aini memilih gaun pengantinnya, Zen sudah tahu pilihan apa yang cocok untuk Aini. Apalagi gaun itu juga rekomendasi Neva setelah melihat fisik Aini.     

"Bagaimana? Kamu suka?" tanya Neva saat melihat Aini mencoba gaun itu di rumahnya.     

Aini memandang dirinya di depan cermin dengan takjub. Matanya sesekali menatap Zen dari cermin yang memandangnya dengan gairah yang membara. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam kantung celananya hingga terlihat lebih tampan.     

"Suka, Tante," jawab Aini dengan senyuman.     

"Ah, Tante kira kamu nggak menyukainya. Karena kalau nggak suka, kita bisa ke tokonya langsung dan memilih banyak model."     

"Mam. Yang kupilih itu bagus dan Mama juga setuju," timpal Zen. Ia tidak ingin membiarkan Aini pergi tanpanya.     

Aini tersenyum hangat. "Aku suka ini kok, Tante," kata Aini meyakinkannya lagi.     

"Hmm, sepertinya kamu tipikal yang sangat patuh pada sekitarmu, ya?" tanya Neva takjub.     

Dengan malu Aini tersenyum. Memang sejak awal, kenakalan yang Aini ciptakan semata-mata hanya karena pekerjaannys dan keprofesionalannya. Tapi ketika ia dipinang Zen, watak dan sifatnya kembali menjadi Aini yang dulu, pemalu.     

"Ok, sudah selesai kan, Mam?" tanya Zen sambil menarik lengan Aini.     

"Apa? Kenapa?"     

"Aku mau menghabiskan waktu bersamanya," ujar Zen.     

"Eh ... Zen, tapi-"     

Aini merasa malu dan enggan jika meninggalkan calon mertuanya. Tapi Zen menyuruhnya diam dengan godaannya.     

"Hmm, nggak apa Aini. Zen itu memang kalau sudah jatuh cinta jadi gila," tawa Neva.     

Aini malu. Ia pun mencium pipi kanan dan kiri Neva lalu Zen juga mengecup keningnya sebagai penghormatan. Mereka sekalian berpamitan untuk pergi.     

"Apa nggak apa-apa meninggalkan Tante Neva seperti itu?" tanya Aini khawatir.     

Zen terkekeh. Ia tahu, ini kali pertamanya Aini melihat hal seperti itu. Sehingga membuat calon istrinya sedikit takut dsn khawatir.     

"Mama orang yang humoris, Aini. Jangan takut, ok? Selama ia tidak menggunakan nada marahnya, semua baik-baik saja."     

"Tapi tetap nggak enak rasanya meninggalkan calon mertuaku seperti itu."     

Zen tersenyum dan untuk kali pertamanya, ia mengusap-usap rambut kepala wanita. "Apa kamu mau tinggal dengan Mamaku setelah kita menikah?"     

Tanpa ragu atau pikir panjang, Aini mengangguk dengan senang hati. "Aku nggak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu, Zen. Jadi aku mau dengan senang hati menganggap beliau Ibuku."     

"Tentu. Kapanpun kamu menginginkannya, Aini."     

Aini tersenyum. Ia lalu menatap Zen yang serius dengan kemudinya. Sampai Zen menyadari sesuatu yang berbeda. "Ada apa, Ai?"     

"Aku mau bertanya."     

"Tanyalah."     

"Kenapa kamu menginginkanku? Dan kenapa kamu baik?"     

"Bagaimana menurutmu?" tanya Zen balik.     

Aini menelan ludahnya. "Awalnya aku pikir karena kamu butuh seks, Zen."     

Zen hanya diam. Awalnya ia pikir pun begitu. Menginginkan Aini tidak pernah segila ini untuknya. Tapi bukan karena seks, melainkan ia melihat sesuatu yang berbeda saat bersama Aini.     

"Bagaimana ya menjelaskannya? Aku nggak pernah pandai menyatakan perasaan, Ai."     

"Katakan saja, Zen."     

"Aku mencintaimu. Bukan seperti yang aku katakan saat kita bercinta. Aku ... memang mencintaimu, Ai. Dan aku nggak tahu kenapa," jawab Zen dengan jelas.     

***     

Saat Daisy sedang menyirami tanaman, sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Mobil yang ia tahu siapa empunya. Namun Daisy tetap menyirami tanamannya dan tidak menoleh sampai ia menghampiri Daisy.     

Suara mobil terbuka dan tertutup Daisy dengar. Ia sudah bersiap jika diajak bicara. Langkah sepatunya semakin dekat membuat Daisy berdebar.     

"Daisy," suaranya terdengar. Secara personal dan hanya sendiri.     

Daisy langsung mematikan kran airnya dan menaruh selangnya. Ia kemudian berbalik menghadapnya.     

"Masih menyukai bunga, ya?" tanyanya.     

"Ada apa?" tanya Daisy langsung.     

Zen langsung tersenyum begitu mendengar nada antisipasi Daisy. Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya dan sebuah undangan ia berikan pada Daisy.     

"Untukmu dan Jeremy. Sesuai dengan pembicaraan tempo dulu," kata Zen.     

Daisy menerimanya dan ia melihat undangan yang terlihat dan terasa mewah itu. Nama Aini dan Zen tertera di sana dengan tulisan yang tercetak indah.     

"Gold?" tanya Daisy ketika ia melihat bahwa pernikahan itu memliki dress code berwarna gold.     

Zen mengangguk. "Iya. Sesuaikan, ya. Aku mau ini jadi yang terindah buat Aini."     

Daisy menatapnya. Ia tahu seperti apa Zen jika sedang serius dan hanya main-main. Namun Daisy tidak menemukan perasaan main-main di sana. Zen benar-benar serius.     

"Kamu mencintainya," kata Daisy.     

"Ya. Perasaanku dengannya sama seperti saat aku pertama kali melihatmu."     

Hanya keheningan yang Daisy berikan. Ia ingin mendengar lebih dan membiarkan Zen menceritakan yang bisa ia ceritakan.     

"Aini ... adalah wanita malam yang kubayar dan sekarang dia akan menjadi istriku," ujar Zen.     

Ada keterkejutan di wajah Daisy. Tapi ia mencoba mengubur keterkejutan itu dengan wajah biasanya. "Oh. Dia pasti baik ya sampai membuatmu luluh?" respons Daisy.     

Zen mengangguk. "Aku nggak tahu kalau bahkan dia sebaik dan sepatuh itu padaku."     

Patuh. Satu kata itu berhasil membuatnya kembali mengingat saat ia bersama Zen. Bagaimana dulu ia begitu patuh pada Zen dan bahkan Zen tidak menerima penolakannya.     

"Patuh sekali?" tanya Daisy memastikan. Entah mengapa ia ingin memastikannya.     

Zen tersenyum. Ia tahu apa yang Daisy maksud. Ingin tahu seperti apa Aini jika dibanding dengan dirinya. "Sangat patuh. Dia nggak pernah menolak atau mengeluh. Mungkin itu salah satu alasan aku mencintainya, Daisy."     

Zen lalu melihat arlojinya. Ia menghela nafas dan menatap Daisy yang sedang menatapnya. "Aku rasa aku harus pergi. Aku harus menjemput Aini. Permisi, Daisy."     

Zen langsung pergi begitu saja setelah ia berpamitan pada Daisy. Bahkan belum sempat Daisy mengiyakan, Zen sudah semena-mena pergi.     

Daisy langsung meremas undangan itu dengan kesal. Lalu ia sadar bahwa Jeremy belum melihat undangan Zen. Ia lalu merapikannya sedikit walau tidak terlalu baik seperti di awal.     

Beruntung anak-anaknya masih tidur. Daisy memutuskan untuk tidur siang juga setelah ia memeriksa dua anaknya masih tidur siang dan mendengkur. Kadang rasa stresnya meningkat usai bertemu Zen. Ia merasa sangat lemas saat mengetahui ada seseorang yang baik menggantikannya.     

Ia langsung masuk kamar setelah melihat anaknya masih tidur dengan nyenyak. Daisy langsung memasang alarm agae tidurnya tidak kebablasan seperti biasanya.     

Dihembuskannya nafasnya dan Daisy langsung membaringkan tubuhnya. Ia menutup matanya dan mulai menenangkan dirinya. Sejenak ... Daisy butuh waktu. Ia masih ingin merasakan Zen seperti di masa lalu. Maka dari itu, hanya beberapa kenangan yang ia miliki, akan ia gunakan untuk mengenangnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.