BOSSY BOSS

Chapter 236 - Another Proposal With Another Woman



Chapter 236 - Another Proposal With Another Woman

0Suara lagu romansa memenuhi restoran itu. Menjadikan suasana jadi terasa sendu dan tenang. Daisy tersenyum-senyum mendengarnya. Sebab malam ini adalah malam pertama ia keluar berdua bersama Jeremy tanpa anak-anaknya. Mereka sengaja menitipkan dua anak mereka pada Weiske lantaran keduanya ingin sesekali keluar bersama tanpa anak-anak.     

Daisy menatap sekeliling di mana mendadak ada persiapan yang sedang berlangsung. Desas desus yang ia dengar akan ada seseorang yang melamar kekasihnya dengan tiba-tiba.     

"Siapa, ya?" Tanya Daisy pada suaminya.     

"Entahlah. Sepertinya keduanya nggak di sini. Karena katanya ini rahasia untuk si wanitanya."     

"Romantis sekali mereka," puji Daisy.     

Jeremy tidak menanggapinya dan memilih menikmati suasana dan menu makanannya. Lalu kedua matanya melihat kedatangan seseorang yang tidak ia sangka akan bertemu dengannya.     

Tak lama Daisy pun melihat juga. Ia langsung menatap Jeremy dan Jeremy mengangguk mengerti. "Apa kamu mau kita pergi?" Tanya Daisy padanya.     

"Kita akan tetap di sini, Sayang."     

Daisy mengangguk sebagai perintah suaminya. Ia sendiri tidak masalah lagi ketika melihat mantan suaminya itu bersama wanita yang bahkan tidak Daisy sangka, bukan Aulin di sisinya.     

Tak lama Zen melihat mereka juga sebab meja Daisy dan Jeremy memang berada sedikit lebih dekat dengan pintu masuk. Tatapan tajam Jeremy berikan pada Zen untuk berjaga-jaga.     

Zen hanya tersenyum sinis dan ia memilih duduk tepat di sisi mereka. Daisy terkejut dan mencoba bersikap rileks seperti Jeremy yang hanya bersikap biasa.     

"Kamu yakin bawa aku ke sini?" Tanya Aini takjub.     

Zen mengangguk. Selama Aini bekerja di dunia malam, ia tidak pernah sekali pun pergi keluar bersama tamunya. Apalagi dirinya dipakai oleh tamunya selama berhari-hari.     

"Kamu suka?" Tanya Zen.     

Aini mengangguk dengan semangat. "Terima kasih, ya.".     

"Aku tinggal sebentar ke toilet."      

Zen berdiri dan menjauh dari Aini. Ia lalu menuju ke arah kasir dan bertanya, "bagaimana? Apa semua sudah siap?" Tanya Zen.     

"Sudah, Pak. Apa mau dimulai sekarang?"     

Zen mengangguk. Ia lalu panggung dan membiarkan alunan musik instrumental bertemakan cinta menggiring dan mengisi restoran itu.     

Belum ada yang melihatnya ke panggung hingga suara mic berbunyi.      

"Tes … 1, 2, 3 … halo, selamat sore," sapanya ketika akhirnya semua pengunjung menatap Zen.     

Mereka menyapa Zen bersamaan dengan serentak. Zen berdeham dan matanya mulai menatap Aini yang sedang menontonnya dengan kebingungan.     

"Biarkan saya mengungkapkan sesuatu untuk wanita yang beberapa hari ini mendampingi saya," terang Zen memulainya.      

Aini sedikit terkejut. Tapi ia juga tidak tahu apakah itu untuknya atau bukan. Sementara perasaannya mengatakan 'ya'.      

Daisy dan Jeremy saling lempar pandang. Jeremy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya karena melihat perubahan dan tingkah laku Zen yang berubah dengan cepat.      

Daisy juga merasakan hal yang sama. Apalagi ia sangat penasaran dengan yang ingin Zen katakan itu.     

Daisy juga melirik sebentar ke wanita Zen bawa. Hanya duduk diam dengan wajah yang terlampau polos dan kalem. Siapa wanita itu? Batin Daisy.      

"Hmm … perlu kalian tahu, saya ini duda beranak satu. Mungkin dua. Tapi yang satunya nggak tinggal bersama saya. Menikah sebanyak tiga kali. Dua kali bercerai dan satunya meninggal. Sad but true," jelas Zen.     

"Katakanlah saya bad boy dan play boy yang menjadi satu artian. Tadinya saya lelah mencari hingga tanpa terasa saya menyukai seseorang. Ingin memiliki seseorang dengan sangat. Dan satu yang pasti … saya belum pernah sampai segila ini."     

Mata Aini berkaca-kaca mendengarnya. Daisy dan Jeremy yang paham mengenai kejadian Zen pun hanya diam walau mereka sendiri bergidik mendengarnya.     

"Dan … datanglah dia. Wanita yang tidak sengaja membuat saya gila. Aini."     

Aini merasa malu dirinya ditunjuk dan semua mata menatapnya. Namun ia tersenyum dan berdiri karena Zen menyuruhnya.     

Saat Aini maju, ia bagaikan seorang model yang berjalan dengan tubuhnya yang meliuk-liuk. Tentu saja semua mata tertuju padanya. Apalagi tubuhnya dibaluti dres yang cukup mencetaknya dengan sangat seksi.     

Zen memegang tangannya. Ia menatap sekelilingnya hingga matanya berhenti pada Daisy.      

"Aini … kamu pernah aku bicara mengenai apa yang kukatakan tadi, bukan?" Tanya Zen.     

Aini mengangguk penuh.     

"Sekarang," Zen lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan isinya. Ia membuka kotak persegi kecil di depan Aini. "Apa kamu mau menjadi istri dan Ibu untuk anakku?" Tanya Zen melanjutkannya.     

Beberapa pengunjung restoran berharap dengan sahutan keramaian untuk menjawabnya. Tapi Aini masih diam karena ia masih terpaku.     

Kemudian ia bertanya bisik pada Zen. "Bagaimana pekerjaanku, Zen?"      

"Sudah kuselesaikan," jawab Zen singkat.      

Pesona Aini dan ketampanan Zen membuat para pengunjung ikut terbawa suasana. Apalagi instrumen lagu yang mendukung momen mereka.     

"Please, katakan 'ya'," harap Zen.     

Aini mengangguk dan Zen langsung mengenakan cincin itu ke jari manis Aini. Ia langsung memeluk Aini dan menciumnya tepat di bibir. Kemudian tepuk tangan para pengunjung menjadikan suasana ramai.     

"She said yes!" Teriak Zen mengumumkan.     

"Buat kalian yang di sini, makanan dan minuman kalian akan saya bayar!" Pekiknya. Aini tertawa kecil dan Zen merengkuh pinggang Aini dengan lekat.     

Zen dan Aini kembali ke meja mereka. Keduanya masih dimabuk asmara dan Aini masih belum menyangka akan menikah dengan tamunya sendiri.     

"Selamat," tiba-tiba Jeremy berbicara. Daisy menatapnya tak percaya karena suaminya mau mengucapkan itu pada Zen.     

Zen menoleh dan tersenyum. Ia membalas jabatan tangan Jeremy dan saling menatap dengan lekat. "Terima kasih, Jeremy," ucap Zen.     

Aini kini menjadi bingung, tapi ia tidak akan berbicara lebih dulu jika Zen tidak mengajaknya. Ia hanya tersenyum pada Daisy dan Jeremy dan mengucapkan terima kasih untuk ucapannya.     

"Aini, dia Jeremy dan ini istrinya, Daisy," ujar Zen mencoba mengenalinya pada Aini.     

"Hai, aku Aini," balas Aini lembut.     

"Jadi, apa lo akan mengundang kita?" tanya Jeremy ingin tahu. Ada nada yang begitu bermakna dan Zen tahu apa yang ia maksud.     

"Tentu saja. Undangan akan gue kirim ke rumah lo, Jer."     

***     

Saat dalam perjalanan pulang, Aini diam. Ia masih tidak menyangka dengan kehidupannya yang akan berubah. Zen selama ini memang memperlakukannya dengan lembut. Aini belum tahu kalau inilah cinta. Sebab Aini memang belum pernah berpacaran.     

"Kenapa kamu diam saja, Aini?" tanya Zen dalam perjalanan.     

"Hmm, aku masih bingung harus bicara apa. Kadang, aku masih berpikir bahwa aku masih pelacurmu," jawab Aini dengan jujur.     

Zen menarik tangan Aini dan menciumnya tepat di bagian cincin itu berada. "Kamu milikku sekarang. Katakan yang ingin kamu katakan tapi tetap menurut pada apa yang kumau. Ok?"     

Aini mengangguk dengan senyuman. "Tadi itu teman?" tanya Aini.     

"Bukan. Yang cewek mantan istriku yang pertama," jawab Zen lugas.     

"O-oh. Ok."     

Aini terlihat lebih bingung dan merasa dirinya yang tidak enak. Ada kejutan dalam dirinya dan hal-hal yang membuatnya ingin bertanya.     

"Kalian terlihat biasa saja," ujar Aini.     

Zen terkekeh. Melihat Daisy sebenarnya masih menimbulkan efek yang masih sama untuknya. Tapi Zen sekarang sudah bisa jauh lebih menerima.     

"Memang. Karena memang sudah berpisah bertahun-tahun lamanya. Kamu nggak cemburu, kan?"     

"Apa ada alasan aku untuk cemburu? Padahal kalian terlihat biasa saja," tanya Aini.     

Zen menggelengkan kepalanya dan tersenyum hangat menatap Aini. Kemudian perjalanan mereka pun di temani oleh musik klasik yang Zen nyalakan di mobilnya.     

***     

"Jer, tadi itu apa? Kenapa harus menyapa atau mengajaknya bicara?" tanya Daisy kesal.     

"Hanya berbasa-basi, Sayang. Bukan masalah, kan?"     

Memang bukan masalah, batin Daisy. Tapi aku tidak mau mengenalnya lagi, tambahnya.     

Sejak terakhir bertemu dan Daisy membeli apartemen kemudian menjualnya lagi hanya karena Zen, sudah membuatnya lebih sakit hati. Apalagi Zen tidak mengejarnya saat itu. Padahal seharusnya Daisy senang karena Zen tidak akan merusak rumah tangganya.     

"Iya, memang bukan masalah. Aku senang dan lega kalau dia move on," timpal Daisy.     

Walau Jeremy tahu di lubuk hatinya yang dalam, bukan itulah jawaban Daisy yang sebenarnya. Tapi karena Daisy masih cemburu dan belum rela.     

Jeremy mencoba tersenyum dan masuk ke kamar mandinya untuk membersihkan diri. Ia membiarkan pancuran air hangat membasahi tubuhnya dan melupakan segala kesakitan-kesakitan yang kadang masih ia rasakan.     

Tadi, saat di restoran, ia memang sengaja mengajak Zen berbicara. Ia ingin melihat bagaimana Daisy meresponsnya. Dan jelas terlihat hal-hal yang sudah Jeremy tebak.     

Padahal jika Jeremy lihat dari Zen, ia sudah mulai bisa menerima kenyataan. Sementara Daisy, sejak dulu hingga sekarang hatinya masih terpaut pada Zen. Walau hanya ada bagian terkecil untuk Zen, rasanya belum puas bagi Jeremy jika ia belum memiliki Daisy seutuhnya.     

Setelah lima belas menit mandi, Zen keluar kamar mandi dan melihat Daisy sudah terlelap tanpa selimut. Jeremy akhirnya menyelimutinya dan ia keluar kamar untuk duduk di sofa menonton televisi.     

***     

"Ah! Ah! Ah!" suara desahan Aini membuat Zen menggila. Ia dengan nakalnya mengganggu calon istrinya yang tidur itu untuk ia ajak bercinta. Akhirnya Aini melayaninya di saat matanya sedikit tertutuo karena kantuk.     

"Zen!" erang Aini.     

Zen hanya bergumam karena ia tidak tahan dirinya akan berorgasme juga. Dilebarkannya kedua kaki Aini hingga Zen bisa merasakan betapa terbukanya Aini untuknya.     

"Kamu suka?" tanya Zen.     

Zen mengulum puting Aini hingga Aini menjerit nikmat dan terbukalah matanya. Kedua sikunya menumpu tubuhnya hingga ia bisa melihat pergerakan di basah sana.     

"Kamu cantik! Sial!" ujar Zen.     

Keringatnya membasahinya, membuat Zen semakin bergerak cepat dan matanya melihat payudara indah Aini bergerak mengikuti irama guncangannya. Aini bahkan semakin menggodanya dengan menggigit bibirnya sendiri dan kedua tangannya memainkan putingnya untuk menambah sensasi bagi Zen. Sementara itu desahannya tak pernah lepas karena betapa nikmatnya yang ia rasakan.     

"Berhenti menggodaku!" ujar Zen mulai mengerti permainan Aini.     

"Oh ... aku ... menyukainya!" seru Aini karena Zen semakin mempercepatnya.     

"Ya! Dan akan menyiksamu, Aini!"     

"Zen!" teriak Aini tidak tahan.     

"Aku mencintaimu, Aini!" ungkap Zen setelah mereka berdua mendapatkan orgasmenya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.