BOSSY BOSS

Chapter 234 - The Frustration Because of Her



Chapter 234 - The Frustration Because of Her

0"Aku nggak mau, Zen! Aku belum siap!" Tolak Aulin ketika Zen ingin mengajaknya menikah.     

Sudah kesekian kalinya Zen mengajaknya namun jawabannya selalu sama. Hal seperti ini terkadang membuat Zen menjadi berpikir, apakah Aulin benar-benar mencintainya atau hanya sekadar seks yang ia butuhkan.     

Zen menghela nafasnya. Ia seakan sudah lelah dan kemudian memasukkan lagi cincinya ke dalam tempatnya.     

"Ok. Ini terakhir kalinya aku meminta. Next time, aku nggak akan meminta lagi," ujar Zen pasrah.     

Aulin mendelik. Matanya menatap cincin yang Zen tadi akan berikan padanya, kemudian dimasukkannya.     

"Zen … "     

Zen tidak menanggapinya. Ia lalu meraih kunci mobilnya dan berdiri. "Aku harus pulang," ucap Zen dingin.     

Tangan Aulin tiba-tiba menghentikannya. Zen tentu saja berhenti. Kedua matanya menatap Aulin yang menatapnya sayu.     

"Maaf, aku mau menikah, tapi nggak dalam waktu dekat ini," ujar Aulin melembut.     

Zen menghela nafas lagi. Bagaimanapun, ia sudah lelah karena lamarannya selalu ditolak. Zen juga tahu bahwa ia hanya seorang duda yang memiliki anak.     

"Sudahlah. Mulai saat ini aku hanya akan bersikap biasa. Kalau nantinya aku berlebihan lalu kamu meninggalkanku seperti yang lainnya, rasa sakitku akan semakin melebar," ujar Zen.     

Zen keluar dari rumah Aulin dan berpamitan pada Anjar. Setelah itu Zen pergi meninggalkan rumah Aulin dengan perasaan kacau.     

***     

Kekacauannya semakin menjadi saat Zen di apartemen. Ia lalu menyuruh anak buahnya untuk mencari beberapa wanita malam yang akan menemaninya.     

Zen tidak butuh seks saat ini. Tidak untuk sekarang, tapi ia tidak berjanji jika nanti ada wanita malam yang berhasil membuatnya bergairah.     

Hanya butuh satu jam lima tiga wanita malam dengan pakaian serba minim dan seksi datang ke apartemennya. Zen sudah duduk di sofa dan siap dengan minuman beralkohol.     

Ketiganya langsung menemani Zen. Dua wanita menari dan satunya duduk di pangkuan Zen dengan posisi yang cukup menantang.     

Zen menikmati apa yang ia lihat dan ia rasakan. Wanita yang berada di pangkuannya seakan sengaja menggeliat agar Zen terangsang. Dan benar, Zen memang terangsang tapi ia tidak mau bermain di saat waktu masih terlalu dini.     

Wanita yang berada di pangkuannya bernama Aini. Zen jelas bertanya sebelum nantinya ia akan jatuh ke dalam lubangnya. Sementara dua wanita yang sedang menari bernama Risa dan Anggun.     

Aini membimbing Zen untuk terus minum. Kini posisi duduknya mengangkangi Zen. Kemeja yang Zen kenakan satu per satu kancingnya sudah lepas hingga memperlihatkan bulu dadanya yang lebat dan perutnya yang berbentuk kotak-kotak.     

"Ada masalah apa?" Tanya Aini sambil menggodanya. Dadanya sudah membusung dengan dres mininya berbentuk kemben yang turun ke bawah hingga payudaranya menyembul setengahnya.     

"Masalah wanita," jawab Zen singkat.     

Aini menggumam. "Dan kamu ingin aku puaskan?" Tanya Aini.     

Zen menatap Aini. Mata sayunya jelas sekali tidak seperti wanita malam yang nakal. Tapi Zen tahu bahwa ini adalah tuntutan pekerjaan Aini sebagai wanita malam.     

Zen lalu menatap dua wanita yang masih menari seksi. Ia memanggil Tino dan menyuruhnya untuk membayar dua wanita itu dan memerintahnya pergi. Sebab Zen bukan tipikal laki-laki yang bisa bermain beberapa wanita secara bersamaan.     

"Apa yang bisa kamu tawarkan, Aini?" Tanya Zen kemudian.     

Dengan senyuman nakalnya, Aini menurunkan dresnya hingga payudara yang tadi setengah menyembul itu terekspos jelas.     

Zen masih tak bergeming. Kedua tangannya hanya ia rentangkan di kepala sofa dan membiarkan Aini melakukan tugasnya.     

Kini Aini sudah terlanjang di hadapannya dan berdiri hanya mengenakan high heelsnya. Zen lantas tak bisa berkedip. Tubuh Aini menggiurkannya. Terlihat sangat seksi dan ramping.     

Zen akhirnya berdiri dan mulai menyentuh pinggang Aini yang tanpa sehelai benang pun.     

"Kamu suka?" Tanya Aini.     

Belum pernah bagi Zen sesuka ini melihat wanita malam yang menggodanya hebat. Selama ini ia hanya langsung melakukannya tanpa diawali dengan pemanasan.     

Tangan Aini meremas milik Zen yang sudah mengeras. Matanya yang masih menatap mata Zen dengan intim, lantas melepas celana Zen hingga terjatuh.     

Aini berbalik dan mulai membungkuk untuk membiarkan bagian belakangnya menyentuh milik Zen.     

"Sial! Apa yang kamu lakukan, Aini?" Erang Zen tak sabar.     

Zen langsung memojokkan Aulin ke dinding. Membuat wanita itu mengaduh nikmat dan senang. "Ya, itu yang aku mau, Zen. Lakukan yang kau mau dan pakai aku untuk menghilangkan masalahmu," goda Aini.     

Zen tidak pernah memiliki percakapan seperti ini. Bahkan dengan lancang Aini memasrahkan tubuhnya untuk Zen pakai.     

Zen langsung bergerak dari belakang. Mengguncang tubuh kecil Aini dengan keras. Lalu ia tak mau membuat Aini merasa puas langsung, ia akhirnya membalikkan tubuh wanita itu dan mengangkatnya serta menahannya di dinding.     

Di situlah Zen bergerak sekencang dan sekeras mungkin. Membuat dirinya berkeringat dicampur keringat Aini juga.     

Zen bahkan meninggalkan jejak-jejaknya di payudara Aini setelah ia menghisapnya kuat. Aini mendesah dan berteriak.     

"Kamu menggodaku dan seenaknya menyuruhku? Hmm? Itulah tujuanmu?" Tanya Zen menggeram.     

"Ya … lakukan saja. Aku menyukai kekasaran seorang laki-laki … ah! Teruslah!" Balas Aini.     

Mendengar Aini terus merasakan kenikmatan itu justru membuat Zen tak ingin berhenti. Berbagai posisi ia coba dan juga beberapa tempat.     

"Belum capek?" Tanya Zen.     

Aini menggeleng walau nafasnya seakan hampir habis. Zen akhirnya kembali duduk dan membiarkan Aini bergerak di atasnya.     

"Sekarang puaskan dirimu di atasku, seperti awal tadi kamu memancingku," perintah Zen.     

Aini melakukan apa yang Zen suruh. Ia juga mengarahkan payudaranya ke mulut Zen agar dihisap. Bergerak cepat hingga tubuh keduanya terguncang hebat.     

Ditariknya rambut Aini ke belakang hingga ia mendesah. "Zen!"     

"Apa? Apa yang mau kamu katakan?" Tanya Zen sengaja menyiksanya.     

"Aku … ingin … "     

Belum selesai Aini orgasme, Zen sudah menariknya dan menggendongnya serta membawanya ke kamar. Di sana ia membaringkan Aini yang sedang tersengal-sengal. Dua tangan diikat beserta kakinya. Lalu Zen mulai memainkan lidahnya di liang Aini. Tentu saja Aini berteriak kencang karena tidak tahan.     

"Aku nggak akan membiarkanmu lebih dulu, Aini," ujar Zen.     

"Hmm, ya. Lakukan terus dan jangan berhenti!" Teriaknya.     

Tapi tentu saja hal itu sudah membuat Aini orgasme berkali-kali hingga Zen kembali ke atasnya dan berorgasme bersamanya.     

Selesai melakukan seks dengan wanita malam. Zen memperhatikan Aini yang sudah terkapar lelah. Ia mencoba untuk berdiri karena tahu diri jika tamunya sudah puas, maka ia harus pergi.     

"Mau ke mana kamu?" Tanya Zen yang mencoba menahannya ketika ia akan terjatuh.     

"Kembali. Aku sudah membuatmu puas. Itu tugasku," jawabnya lemah.     

Zen menghentikannya dan menatapnya. "Tidur di sana dan beristirahatlah. Nanti aku akan bayar lebih dan mengatakannya pada Bosmu."     

"Apa nggak masalah?" Tanya Aini ragu.     

Zen memberikan isyarat untuk segera ke ranjangnya. "Nggak masalah. Karena aku masih akan memakaimu lagi. Jadi, tidur dan istirahatlah. Kumpulkan energi untuk melayaniku nanti."     

***     

Zen mengenakan dasinya setelah ia mandi. Ditatapnya cermin yang menampakkan tubuh Aini yang terbaring lemas di ranjangnya.     

Wajahnya tersenyum puas. Dari pada ia bercinta dengan Aulin dan malah membuatnya sakit hati, Zen lebih memilih wanita malam yang bahkan bisa memuaskannya..     

Pagi ini ia akan ke kantor. Zen meninggalkan uang di meja sebelah Aini dan catatan kecil bahwa ia harus ke kantor. Aini bahkan tidak diizinkannya untuk pulang dulu karena Zen masih membutuhkannya.     

Baru kali ini ia benar-benar sangat bernafsu pada satu wanita malam. Seakan ada yang salah pada dirinya. Mendadak keinginan untuk menikah dengan siapa pun lenyap dan memilih bersenang-senang sendiri dan bekerja untuk anaknya.     

"Bukan masalah kan, kalau aku nggak menikah lagi?" Tanyanya pada diri sendiri.     

Zen langsung pergi dan mengunci apartemennya agar Aini tidak pergi atau jika Aulin datang tiba-tiba.     

Sampai kantornya, Zen melihat Aulin sudah di ruangannya. Wajahnya menekuk dengan kedua tangan sudah terlipat di dadanya. Ia bahkan duduk di kursi Zen.     

"Aku ke apartemen dan kamu nggak di sana kata Tino. Ke mana kamu?" Tanya Aulin.     

"Bersenang-senang," jawab Zen singkat.     

Satu alis Aulin terangkat. "Bersenang-senang seperti apa? Dengan siapa dan di mana?"     

"Dengan teman dan di vila. Ada apa Aulin?"     

"Zen! Kamu nggak bisa marah seperti ini padaku!" Seru Aulin.     

Bukannya membalas ucapan Aulin, Zen malah melihat arlojinya. "Aku harus meeting dulu. Jadi, terserah kamu mau menunggu atau pulang."     

Zen keluar dari ruangannya dan menuju ruang meeting. Ia bisa bernafas lega karena setidaknya ia tidak perlu bicara banyak pada Aulin. Hatinya masih sakit dengan penolakan-penolakan yang sering Aulin berikan.     

Setelah satu jam meeting, Zen kembali ke ruangannya lagi dan ia tidak berekspektasi kalau Aulin menunggunya.     

"Katakan kenapa kamu masih di sini?" Tanya Zen.     

"Kenapa kamu bersikap dingin, Zen?"     

"Aku capek mendengar penolakan. Kamu pikir hatiku nggak sakit?"     

Aulin hanya diam.     

"Pulanglah. Datang padaku kalau kamu memang serius menikah denganku," ujar Zen mengusirnya secara halus.     

"Kamu bahkan nggak tahu alasanku untuk nggak mau menikah cepat, Zen!" Seru Aulin.     

"Kalau begitu katakan."     

Awalnya Aulin ragu. Tapi jika Zen memang ingin tahu, maka ia akan mengatakan yang sebenarnya.     

"Mantan istrimu itu Kak Daisy, kan? Aku belum bisa menikah dalam waktu dekat denganmu saat ini. Aku harus … senggaknya menjauh dari Kak Daisy lebih dulu."     

Mendengar nama Daisy disebut, wajah Zen berubah menjadi lebih berbahaya.     

"Kamu nggak terkejut," kata Zen.     

"Aku udah terkejut sejak tahu. Tapi kenapa kamu nggak menceritakannya? Ha?"     

"Aulin, aku dan Daisy sudah lama berpisah. Dia bahkan nggak ada hubungannya lagi denganku. Memangnya apa pedulimu dengannya jika kamu menikahi denganku?" Tanya Zen mulai kesal.     

Aulin hanya diam dan tak bisa memberi jawaban.     

"Bahkan sebelum kamu, aku punya istri yang sudah meninggal karena melahirkan anakku. Di mana korelasi Daisy kalau begitu?" Tambah Zen bertanya lagi.     

"Kamu nggak pernah menceritakannya padaku," ujar Aulin.     

"Memangnya, apa yang akan berubah jika aku bercerita? Kamu yang sudah tahu saja bahkan masih menolak lamaranku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.