BOSSY BOSS

Chapter 230 - A Son



Chapter 230 - A Son

0"Hah! Gila kamu, Dai! Baru juga beli, udah jual aja! Apa gagal untuk bisa bersama Zen?"     

Daisy hanya diam. Ia tidak menangis, tidak juga merasa sedih. Hanya kesal dan rasanya ingin marah.     

"Selesai. Aku nggak mengenalnya lagi," ucap Daisy.     

Ama tidak membalasnya lagi karena ia cukup mengerti sekarang. Ia sudah tahu kalau akhir bersama Zen akan seperti ini.     

Seberapa pun usaha yang keduanya ingin lakukan bersama, akhirnya akan selalu sama, tidak akan bisa walau bisa bersama dalam sementara.     

"Ya, sudah. Makanlah dulu kalau begitu, Jeremy nanti yang jadi menjemputmu, kan?"     

Daisy mengangguk dan ia langsung menatap Ama. "Apa kamu ada bahan-bahan untuk membuat kue? Aku mau membuatkan sesuatu untuk Jeremy."     

"Lihatlah di lemari es. Aku nggak tahu apa bahan yang kamu butuhkan ada di sana atau nggak."     

Daisy mendekat ke arah lemari es dan melihat-lihat isinya. Ia mengangguk dan tersenyum. Kemudian ia mengeluarkan semua yang ia butuhkan.     

"Maaf, aku pakai dulu ya, Ma. Nanti aku buatkan juga untukmu," ujar Daisy.     

"Hmm, ya. Selama aku dapat bagian, it's ok."     

Ama memperhatikan sahabatnya itu. Moodnya sudah benar-benar berubah dengan cepat, batinnya. Tapi ia senang jika Daisy jadi lebih senang juga.     

Setelah dua jam penuh membuat kue untuk Jeremy dan Ama, Daisy bernafas lega dan mengistirahatkan dirinya di sofa. Ia meluruskan kakinya dengan peluh yang mengalir di pelipisnya.     

Lalu Daisy memeriksa ponselnya dan menghubungi Jeremy untuk menjemputnya.     

Ama pun mencomot kue untuknya buatan Daisy. "Enak, aku yakin Jeremy pasti suka!"     

"Dia selalu suka masakanku, Ma."     

Ama menggumam dan menikmati makanannya sambil menonton televisi. Daisy juga ikut makan kue buatannya, tapi ia tidak terlalu ingin karena ia melihat usaha online-nya yang kini sudah dipindahtangankan ke Ama. Sukses dan berjalan lancar hingga Ama bisa sampai seperti saat ini.     

Berbagai macam baju tergantung di gantungannya dengan rapi karena pekerjaan Ama.     

"Usaha lancar ya, Ma?" tanya Daisy mencari topik.     

"Banget! Berkatmu, Dai, kalau nggak, aku nggak akan bisa sampai seperti ini," ujarnya.     

"Jangan merendah gitu, Ma. Bertahun-tahun kan kamu yang garap, aku cuma berapa bulan, kan?"     

Ama mengangguk. "Ya, memang benar. Tapi modal awal dan semua ilmu kan, kamu yang ngasih secara cuma-cuma, Dai. Kamu itu yang seharusnya jangan merendah!" timpalnya.     

Jika mereka sudah seperti itu, keduanya sama-sama tidak akan berhenti merendah. Jadi hanya canda tawa yang mereka lakukan di sela-sela Daisy menunggu Jeremy menjemput.     

Tak lama dentingan bel apartemen Ama berbunyi, Daisy membukanya dan ia tahu itu suaminya.     

"Masuk dulu, Jer. Aku membuatkan sesuatu untukmu," ujar Daisy dengan bahagia.     

Jeremy tersenyum melihat senyuman senang Daisy. Ia pun masuk dan menyapa Ama.     

Daisy membawa satu nampan berisikan kue buatannya beserta minumannya. Ia memberikannya pada Jeremy dengan senyum bahagianya.     

"Makan dan habiskan, ya. Buatanku!" ujar Daisy semangat.     

"Dia lagi kenapa, Ma? Kayaknya senang banget?" tanya Jeremy pada Ama.     

Ama tertawa. "Senang karena lihat suaminyalah, memangnya apalagi?"     

Jeremy tertawa dan ia pun langsung memakan kue buatan Daisy. Gumaman rasa yang nikmat terdengar jelas di telinga Daisy. Bahkan Ama memperhatikan bagaimana Jeremy memamakn kue itu. Masalahnya, Ama penasaran karena Jeremy adalah pemilik restoran dan tahu betul mana makanan yang enak dan tidak.     

"Daisy ... kenapa seenak ini nggak pernah kamu ajukan ke restoran?" tanya Jeremy dengan senyuman.     

Daisy merasa malu dipuji seperti itu. Tapi ia memang tidak ingin menawarkan kuenya ke restoran, kecuali ia membuka toko kue sendiri. Sayangnya Daisy belum begitu siap untuk terlalu lelah.     

"Ide bagus, tapi aku masih belum siap, Jer," jawab Daisy.     

"Hanya dua atau tiga macam, aku rasa nggak masalah. Kamu tinggal beri resep ke aku, biar bagian pastry yang melakukannya dan kamu nilai apakah sudah seenak kamu atau belum," jelas Jeremy.     

"Iya, Dai. Coba aja, deh," timpal Ama mendukung.     

"Nanti dulu deh. Aku juga bentar lagi mau lahiran, apa nggak merepotkan nantinya?"     

Jeremy mengusap-usap rambut kepala Daisy dan tersenyum. "Coba satu dulu ya, Sayang?"     

Dan saat itulah Daisy tahu bahwa ia tidak bisa untuk tidak menuruti keinginan suaminya.     

***     

Setelah pengakuan itu, sikap Aulin sedikit berubah. Ia jadi terlihat canggung dan seperti bukan dirinya sendiri. Zen tahu konsekuensi mengatakan hal itu akan membuatnya lebih sering dijauhkan.     

Seperti saat ini, Aulin menghindarinya dengan alasan ia sedang datang bulan. Padahal Zen ingin mengajaknya pergi bukan untuk bercinta.     

Jengah dan kesal sebab selama seminggu benar-benar tidak bertemu Aulin, Zen mendatangi rumahnya. Ia datang tanpa memberi kabar Aulin agar anak itu tidak ada alasan lagi untuk menghindarinya.     

Ketika mobilnya masuk ke dalam gerbang rumahnya yang dibukakan oleh satpam, Zen bisa melihat Aulin sedang menyirami tanaman bersama Ibunya.     

Setelah melihat Aulin walau masih dari balik kaca mobi,l ia cukup lega. Sampai Zen menemukan wajah Aulin terkejut karena kedatangannya yang tiba-tiba.     

"Loh, Zen ... tumben sekali datang nggak memberi kabar? Aulin nggak memberitahu Tante apa-apa," sapa Ibu Aulin, Anjar.     

"Iya, Tante. Tadi saya telepon Aulin, tapi sepertinya dia lagi nggak pegang hape," jawab Zen sambil mencium tangan Anjar dan menatap Aulin yang masih diam.     

"Aulin, buatkan minum sana," perintah Anjar pada anaknya.     

Tanpa menjawab perintah Anjar, Aulin langsung masuk dan membuatkan minuman untuk Zen.     

Zen tersenyum padanya. Senyuman yang tiba-tiba membuat jantung Aulin berdebar keras. Membuat perutnya terasa diisi oleh kupu-kupu yang berterbangan.     

"Oh ya, Tante. Mengenai masa lalu saya yang pernah kita bicarakan secara rahasia, apa Tante benar nggak masalah dengan latar belakang saya itu?" tanya Zen memastikan.     

Ia memang sempat bertemu dengan Anjar untuk menceritakan masa lalunya. Tentang memiliki anak dan pernah menikah.     

Di luar ekspektasi, Anjar malah tidak mempermasalahkan itu. Malah, beliau senang dengan kejujuran Zen.     

"Kenapa? Kamu datang karena merasa ragu Tante nggak percaya atau nggak merestui kamu?" tanya Anjar.     

Zen hanya diam dan belum bisa menjawab. Sebab sebenarnya ia tidak tahu kenapa hal itu ia bahas lagi.     

"Lagi pula, biar pun menurut Aulin kamu cuma kekasih palsunya, tapi Tante akan tetap merestui kalian," bisik Anjar terkekeh.     

Zen terkekeh. Ia juga mengatakan kejujuran kalau mereka hanya berpura-pura sebagai sepasang kekasih. Tentu saja Zen mengatakan alasannya juga.     

"Bicarain apa, sih, sampai tertawa begitu?" tanya Aulin yang muncul dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.     

Wajah juteknya tentu membuat Zen terpesona. Kini Zen hanya merasa Aulin-lah yang mencuri seluruh perhatiannya. Bukan Daisy. Walau masih ada sedikit celah untuk Daisy, tapi Zen ingin ia memiliki hubungan yang pasti juga. Untuk anaknya.     

"Bicara tentang kamu. Aku rindu kamu, Sayang," ucap Zen manis.     

Anjar terkekeh melihat Zen menggoda anaknya. Ia pun akhirnya pergi dari sana dan masuk ke dalam rumah. Sementara Zen dan Aulin tetap di gazebo taman.     

"Jangan menggoda Mamiku!" seru Aulin.     

"Aku nggak menggoda. Aku cuma meminta restu untuk menikahi putrinya," ucap Zen percaya diri.     

***     

Daisy merasakan perutnya seperti sedang kontraksi. Ia merasakan kesakitan sampai memegang Jeremy dengan kencang karena tidak tahan.     

Perjalanan menuju rumah sakit beberapa menit lagi akan sampai, tapi ia bisa merasakan bagaimana sakitnya Daisy ketika Daisy memegangnya erat.     

Keringat disertai air mata membasahi tubuh dan baju Daisy. Urat dipelipis dan dahinya tercetak jelas bahwa kontraksi itu benar-benar membuatnya sakit dengan hebat.     

Sampai rumah sakit, dokter dan perawat segera menangani dengan membawanya ke ruang persalinan.     

Ada Raka juga Reina yang mendampingi Jeremy ketika di mobil, turut cemas.     

Jeremy akhirnya mendapatkan izin dokter untuk bisa menemani Daisy dalam proses persalinannya. Pakaian steril ia kenakan dan Jeremy langsung memegang tangan Daisy dan mengusap dahi kepala Daisy.     

"Kuat ya, Dai. Kamu bisa kali ini! Ingag bagaimana Jason bisa lahir? Kamu bisa seperti saat kamu melahirkan Jason," dukung Jeremy.     

Jeremy sendiri tidak bisa untuk tidak menangis. Persalinan Daisy kali ini benar-benar membuat perasaannya bercampur aduk. Ada bahagia, sedih, dan ketakutan disertai cemas dan khawatir.     

"Sakit! Aaarrrghhhh!" teriak Daisy. Ia semakin mengeratkan pegangannya pada Jeremy. Jeremy tidak masalah jika Daisy harus melukainya, asal dia bisa melahirkan dengan selamat.     

Sementara itu dokter dan perawat mengarahkan Daisy untuk terus mendorong sang bayi keluar.     

"Sedikit lagi ya, Bu. Iya ... terus, Bu. Iya, benar begitu. Ayo, Ibu sedikit lagi, yak ... syukurlah!"     

"Selamat ya, Bu, Pak, anaknya cowok," kata dokter mengucapkan selamat.     

Usai sang bayi keluar dengan selamat, perawat pun langsung membersihkannya.     

Daisy mengatur nafasnya usai melahirkan. Matanya mengerjap-kerjap lelah sementara Jeremy terus berusaha menjaga kesadaran Daisy.     

"Sayang, Daisy ... hei, anak kita cowok. Kamu dengar, kan?" ujar Jeremy mengajaknya bicara.     

Daisy hanya bergumam karena ia masih lemas. "Ca ... pek," lirihnya.     

"Iya, habis ini kamu akan istirahat. Tapi tetap sadar demi aku dan anka kita, ya? Ok?"     

Belum sempat Daisy menjawab, Daisy sudah akan dipindahakan ke ruang perawatan.     

"Daisy ... katakan sesuatu agar aku nggak cemas, Sayang," pinta Jeremy.     

"Iya ... aku ... nggak akan ... pergi," kata Daisy dengan terbata-bata.     

Jeremy mengecup keningnya. Lalu ia membiarkan perawat membawa Daisy ke ruang perawatan.     

Setelah Jeremy keluar. Ia duduk di lantai dengan perasaan lega dan lelah yang bersamaan. Tak berhenti matanya menitikkan air mata.     

Perjuangan seorang Ibu melalui apa yang ia lihat dari Daisy, membuatnya semakin menyayanginya dan menghargainya apapun kesalahannya.     

"Mereka ... selamat. Cowok, anak gue cowok." ujar Jeremy terbata-bata pada Raka dan Reina.     

Raka memeluknya dan mengucapkan syukur juga selamat pada Jeremy. Begitu pun Reina melakukan hal yang sama. Namun Reina lebih dulu menemani Daisy setelah mengucapkan selamat pada Jeremy. Ia tahu Jeremy sedang merasa lelah.     

"Gue baru kali ini lihat seorang wanita melahirkan anak gue dengan perjuangan yang hebat," ucap Jeremy masih merasa terharu.     

Raka menepuk-nepuk bahu Jeremy dengan senyumannya. "Nah, sekarang lo benar-benar real laki kalau sampai merasa seperti ini, Jer. Sekarang, alam akan mengasah lo untuk mengurus anak itu sampai dia benar-benar bisa bertanggung jawab sama kehidupannya di masa yang akan datang," tutur Raka menasihatinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.